Indonesia, negara kepulauan yang luas, berada di lokasi strategis antara Asia dan Oseania. Banyak orang Indonesia percaya bahwa posisi ini membuat negara ini sebagai kandidat utama dalam perkembangan industri penerbangan dunia, terutama penerbangan dengan hak 'kebebasan kelima'.Â
Akan tetapi, faktanya justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Tampak jelas bahwa terlihat jumlah penerbangan yang memanfaatkan kebebasan udara jenis ini yang beroperasi baik dari maupun ke kota-kota di Indonesia sangat minim atau bahkan tidak ada sama sekali.Â
Artikel ini akan mendalami konsep kebebasan udara dalam industri penerbangan, mengeksplorasi berbagai jenisnya, dan menganalisis alasan di balik paradoks ini dalam lanskap penerbangan Indonesia.
Memahami Konsep Kebebasan Udara
Kebebasan udara merupakan serangkaian hak penerbangan komersial yang memberikan peluang kepada maskapai penerbangan suatu negara untuk memasuki dan mendarat di ruang udara negara lain.Â
Hak tersebut dirumuskan sebagai hasil dari ketidaksepakatan atas taraf liberalisasi penerbangan dalam Konvensi Penerbangan Sipil Internasional tahun 1944 di Chicago, Amerika Serikat (AS).Â
Kebebasan ini secara spesifik mendikte hak maskapai penerbangan dalam hal menaikkan dan menurunkan penumpang, kargo, atau keduanya, di berbagai titik pada suatu rute. Ada sembilan jenis kebebasan udara yang dikenal saat ini, tetapi terdapat lima yang paling relevan dalam diskusi ini.
Kebebasan pertama adalah hak untuk terbang di atas suatu negara tanpa mendarat.
Kebebasan kedua adalah hak untuk mendarat di suatu negara untuk alasan teknis, seperti pengisian bahan bakar tanpa adanya embarkasi/disembarkasi penumpang dan kargo.
Kebebasan ketiga adalah hak untuk membawa penumpang dan kargo dari negara asal maskapai penerbangan ke negara lain.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!