Mohon tunggu...
Aldo
Aldo Mohon Tunggu... Lainnya - Detektif informasi, pemintal cerita, dan pemuja mise-en-scène

Everyone says that words can hurt. But have they ever been hurt by the deafening silence? It lingers like the awkward echo after a bad joke, leaving you wondering if you've been forgotten, ostracized, or simply become so utterly uninteresting that even crickets find your company unbearable.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

PSSI: Kubangan Inkompetensi, Dapatkah Erick Thohir Membersihkan Kotoran Ini?

28 Februari 2024   21:53 Diperbarui: 28 Februari 2024   22:10 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelompok Pendukung PSPS yang Memprotes Suatu Regulasi PSSI (PALTI SIAHAAN/TRIBUNPEKANBARU.COM)

Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) bukan sekadar organisasi yang disfungsional; tetapi juga merupakan karikatur kegagalan institusional yang mengerikan di negeri ini. 

Inkompetensi merembes dari pori-porinya, nepotisme mengalir deras di nadinya, dan minimnya akuntabilitas adalah jantungnya. Indonesia, negara berpenduduk lebih dari 270 juta dengan semangat membara untuk sepak bola, hanya memiliki sekitar 10.500 pemain elite muda yang terdaftar. 

Di sisi lain, tim nasional Indonesia juga secara konsisten berada di luar peringkat 100 besar dunia, suatu dakwaan menyedihkan atas kebusukan yang selalu buruk di dalam PSSI. 

Bahkan, pada turnamen sekelas Asia Tenggara seperti Kejuaraan AFF yang telah digelar sejak 1996, prestasi terbaik Indonesia hanya sampai menjadi runner-up sebanyak enam kali, sedangkan negara kecil Singapura dengan jumlah penduduk yang setara dengan Sumatera Barat (provinsi terbesar kelima di Pulau Sumatera dari segi jumlah penduduk) telah memenangkan kejuaraan regional tersebut sebanyak empat kali (1998, 2004, 2007, 2012). 

Kedatangan Erick Thohir, seorang pengusaha dan politisi terpandang, menawarkan secercah harapan, tetapi bau busuk begitu menyebar sehingga orang bertanya-tanya apakah ia memiliki kemampuan untuk membersihkan kotoran ini. Artikel ini akan mengungkap bagian PSSI yang busuk dan memaparkan tantangan berat yang terbentang di jalan menuju kesuksesan.

Budaya yang Kebal terhadap Kemajuan

Budaya toksik PSSI bukanlah fenomena baru; hal ini merupakan puncak dari dekade kepuasan diri yang mendarah daging dan alergi yang tak tergoyahkan terhadap segala bentuk kemajuan. 

Para pejabat memandang posisi mereka sebagai wilayah kekuasaan pribadi, kesempatan untuk memperkaya diri, alih-alih wadah memajukan sepak bola Indonesia. 

Nepotisme bukan sekedar hal yang disukai, melainkan modus operandi. Kronisme memastikan bahwa posisi diisi oleh loyalis dan kerabat, terlepas dari kemampuan, sementara mereka yang memiliki bakat dan visi asli dikucilkan. 

Mentalitas mementingkan diri sendiri ini telah menghambat kehidupan PSSI dan merupakan tumor ganas pertama yang harus diangkat jika organisasi ingin menjadi maju dan menjadi tulang punggung kebanggan bangsa.

Kepemimpinan Hanya dalam Nama

Reputasi Erick Thohir sebagai spesialis penyelesaian masalah telah diketahui publik sebelum dia menjadi Ketua Umum PSSI. Akan tetapi, memperbaiki keran yang bocor merupakan hal remeh dibandingkan dengan tugas berat yang dia hadapi di dalam PSSI. 

Perubahan yang sistematis membutuhkan dukungan dari para makelar kekuasaan yang mengakar kuat yang tidak memiliki minat untuk mengganggu status quo yang menguntungkan. 

Parasit-parasit ini memandang Erick Thohir bisa saja justru menjadi boneka yang berguna untuk menjaga citra atau sebaliknya, orang luar yang berbahaya dan mengancam keuntungan haram mereka. 

Meski niat Erick Thohir mungkin mulia, ia bisa saja mendapati dirinya dilemahkan, diisolasi, dan setiap gerakannya ditentang oleh orang-orang yang hanya peduli dengan kantong mereka sendiri di ruang lingkup PSSI.

Kegelapan Memberi Perlindungan: Transparansi sebagai Konsep Asing

Seperti vampir yang takut sinar matahari, PSSI tumbuh subur dalam bayang-bayang. Kesepakatan di belakang layar, sosok-sosok bayangan yang menyedot dana, dan kurangnya pengawasan menjadi ciri khas dari organisasi yang telah terbentuk bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka ini. 

Salah urus dan pencurian merajalela, dengan segala upaya untuk menerangi tempat pembuangan sampah ini dihancurkan dengan kejam. Keburaman tidak hanya memungkinkan korupsi berkembang, tetapi juga merupakan tamparan di wajah setiap penggemar Indonesia yang rupiahnya mungkin membiayai gaya hidup mewah kelas elit PSSI. Sampai sorotan tanpa ampun disinari pada setiap transaksi keuangan, parasit akan terus berpesta.

Kritik? PSSI Mendefinisikan Intoleransi

PSSI memiliki kedewasaan emosional seperti anak kecil yang merajuk. Perbedaan pendapat dalam bentuk apa pun, baik dari jurnalis, mantan pemain, atau warga negara yang bersangkutan, tidak disambut dengan introspeksi tetapi dengan kemarahan. 

Para kritikus dicap sebagai musuh, difitnah di depan umum, dan dikucilkan dari segala partisipasi dalam urusan sepak bola. Keengganan yang beracun terhadap kritik ini memastikan bahwa kesalahan yang sama akan diulang. Transformasi lengkap pola pikir PSSI diperlukan, dengan kritik seharusnya dianggap sebagai jalan menuju perbaikan daripada ancaman eksistensial.

Tugas yang Sangat Berat: Dari Rawa Menjadi Mercusuar yang Gemilang

Merevitalisasi PSSI lebih dari sekadar mengubah beberapa aturan atau menyewa pelatih baru. Tugas ini mirip dengan mengeringkan rawa bernanah yang penuh dengan ular berbisa. Jujur saja: tidak ada yang lebih baik daripada pembersihan mereka yang terlibat dalam korupsi, perombakan total dalam struktur tata kelola, dan komitmen kuat terhadap transparansi yang bahkan akan mulai mengatasi malaise tersebut.

PSSI membutuhkan auditor eksternal yang memiliki otoritas, pengungkapan publik atas keuangannya, dan program perlindungan pelapor yang mendorong orang untuk maju tanpa takut akan pembalasan. 

Nepotisme harus diganti dengan penunjukan berbasis prestasi, menciptakan jalur yang tulus bagi individu-individu berbakat untuk naik pangkat dan menanamkan ide-ide segar ke dalam PSSI. 

Akhirnya, PSSI perlu memahami bahwa kritik adalah bahan bakar untuk perbaikan. Menerima suara-suara yang berbeda, melakukan survei penggemar, dan secara aktif mencari umpan balik sangat penting untuk membina organisasi yang sehat dan responsif.

Transformasi PSSI: Mampukah Erick Thohir Mengubah Raksasa Berkepala Banyak Ini?

Mentransformasi PSSI tentu merupakan tantangan raksasa, yang kemungkinan melebihi bahkan keahlian seseorang sehebat Erick Thohir. Hal ini akan membutuhkan raungan jijik kolektif dari penggemar sepak bola Indonesia, dukungan tak tergoyahkan dari pemerintah, dan individu pemberani di dalam PSSI sendiri yang muak dengan kebusukan. 

Bisakah itu terjadi? Mungkin, tetapi kemungkinannya panjang. Kepentingan yang mengakar sangat kuat, budayanya sangat beracun, dan kesabaran publik menipis. Penebusan PSSI masih jauh dari pasti, tetapi satu hal yang pasti – status quo adalah penghinaan terbesar bagi Indonesia dan para penggemar sepak bolanya yang bersemangat.

Penafian: Saya menulis artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi ketika bekerja bersama dengan karyawan PSSI. Saya juga merupakan sukarelawan dalam dunia sepak bola yang telah mengikuti program hingga ke Piala Dunia FIFA Qatar 2022 dan akan berpartisipasi pada Euro 2024. Anda juga dapat mendukung perjalanan saya dan rekan-rekan saya hingga ke Jerman untuk menjadi sukarelawan Euro 2024, dengan menghubungi kami melalui andi.ronaldo.marbun@gmail.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun