Kepemimpinan Hanya dalam Nama
Reputasi Erick Thohir sebagai spesialis penyelesaian masalah telah diketahui publik sebelum dia menjadi Ketua Umum PSSI. Akan tetapi, memperbaiki keran yang bocor merupakan hal remeh dibandingkan dengan tugas berat yang dia hadapi di dalam PSSI.Â
Perubahan yang sistematis membutuhkan dukungan dari para makelar kekuasaan yang mengakar kuat yang tidak memiliki minat untuk mengganggu status quo yang menguntungkan.Â
Parasit-parasit ini memandang Erick Thohir bisa saja justru menjadi boneka yang berguna untuk menjaga citra atau sebaliknya, orang luar yang berbahaya dan mengancam keuntungan haram mereka.Â
Meski niat Erick Thohir mungkin mulia, ia bisa saja mendapati dirinya dilemahkan, diisolasi, dan setiap gerakannya ditentang oleh orang-orang yang hanya peduli dengan kantong mereka sendiri di ruang lingkup PSSI.
Kegelapan Memberi Perlindungan: Transparansi sebagai Konsep Asing
Seperti vampir yang takut sinar matahari, PSSI tumbuh subur dalam bayang-bayang. Kesepakatan di belakang layar, sosok-sosok bayangan yang menyedot dana, dan kurangnya pengawasan menjadi ciri khas dari organisasi yang telah terbentuk bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka ini.Â
Salah urus dan pencurian merajalela, dengan segala upaya untuk menerangi tempat pembuangan sampah ini dihancurkan dengan kejam. Keburaman tidak hanya memungkinkan korupsi berkembang, tetapi juga merupakan tamparan di wajah setiap penggemar Indonesia yang rupiahnya mungkin membiayai gaya hidup mewah kelas elit PSSI. Sampai sorotan tanpa ampun disinari pada setiap transaksi keuangan, parasit akan terus berpesta.
Kritik? PSSI Mendefinisikan Intoleransi
PSSI memiliki kedewasaan emosional seperti anak kecil yang merajuk. Perbedaan pendapat dalam bentuk apa pun, baik dari jurnalis, mantan pemain, atau warga negara yang bersangkutan, tidak disambut dengan introspeksi tetapi dengan kemarahan.Â
Para kritikus dicap sebagai musuh, difitnah di depan umum, dan dikucilkan dari segala partisipasi dalam urusan sepak bola. Keengganan yang beracun terhadap kritik ini memastikan bahwa kesalahan yang sama akan diulang. Transformasi lengkap pola pikir PSSI diperlukan, dengan kritik seharusnya dianggap sebagai jalan menuju perbaikan daripada ancaman eksistensial.