Di Indonesia, sekalipun adanya trias politica, Presiden memiliki kewenangan eksekutif yang cukup signifikan dibandingkan dua cabang pemerintahan lainnya dan dapat memengaruhi legislatif dan yudikatif sekalipun struktur pemerintahan yang mengakui kesetaraan ketiga cabang tersebut.Â
Dalam praktik sebagai contoh, Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Cipta Kerja pada tahun 2020 tanpa persetujuan DPR. Sistem ini memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih cepat dan efisien, namun berpotensi memicu konsentrasi kekuasaan pada eksekutif semata.Â
Selain itu, praktik kekuasaan di Indonesia pada tingkat nasional akan diturunkan ke tingkat pemerintahan provinsi, kota/kabupaten, kecamatan, dan seterusnya. Hal ini tentu berbeda di AS yang memiliki struktur institusi yang berbeda-beda ketika diturunkan ke tingkat negara bagian, daerah, atau kota.Â
Dengan kata lain, konsistensi dalam menjalankan fungsi pemerintah akan relatif mudah diawasi dibandingkan di Indonesia dibandingkan AS, tetapi menjadikan Indonesia rawan akan praktik-praktik dengan check and balance yang kurang dapat dijalankan secara optimal dibandingkan AS.
Dominasi Partai Politik: Sistem Dua Partai vs. Multi-Partai
Lanskap politik AS didominasi oleh dua partai utama, Demokrat dan Republik, yang menawarkan stabilitas politik tetapi membatasi keragaman pandangan dan memicu polarisasi.Â
Sebagai contoh, perdebatan tentang isu aborsi dan kontrol senjata seringkali terpolarisasi dengan keberadaan dua partai tersebut yang memiliki haluan yang saling bertentangan. Sistem ini dapat membuat frustasi pada pemilih yang tidak merasa terwakili oleh ideologi yang dianut oleh kedua partai utama.Â
Di Indonesia, sistem multi-partai dengan belasan partai politik yang terdaftar memungkinkan representasi yang lebih beragam dan fleksibilitas dalam pembentukan koalisi. Sistem ini menghasilkan pemerintahan yang lebih mengedepankan kerja sama dan responsif terhadap berbagai kepentingan, sehingga dominasi ideologi ekstrim tidak mungkin terjadi.
Dimensi Partisipasi Politik dan Budaya Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Tingkat partisipasi pemilih di AS yang rendah (50-60%) menimbulkan pertanyaan tentang representasi dan akuntabilitas pejabat terpilih. Faktor yang berkontribusi meliputi kompleksitas proses pemilu, kurangnya informasi bagi pemilih, dan kampanye politik yang relatif selalu negatif dan apatis terhadap ideologi lainnya.Â
Di Indonesia, partisipasi pemilih yang umumnya tinggi (lebih dari 70%) menunjukkan tingkat engagement masyarakat yang juga tinggi dalam proses demokrasi. Akan tetapi, terdapat kekhawatiran dalam aspek kualitas informasi dan pengaruh uang dalam politik, serta munculnya politik identitas dan kampanye yang menjadi lebih agresif.Â