Mohon tunggu...
Aldo
Aldo Mohon Tunggu... Lainnya - Pengungkap informasi, perangkai cerita, dan pengagum tata visual

Everyone says that words can hurt. But have they ever been hurt by the deafening silence? It lingers like the awkward echo after a bad joke, leaving you wondering if you've been forgotten, ostracized, or simply become so utterly uninteresting that even crickets find your company unbearable.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerita Sukses Indonesia dalam Multikulturalisme

27 Agustus 2020   12:00 Diperbarui: 27 Agustus 2020   17:38 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak sedikit cerita sejarah yang menunjukkan betapa dunia hampir tidak pernah berpihak pada kesuksesan negara yang beragam dalam budaya. Runtuhnya Kekaisaran Romawi, Kekaisaran Ottoman, Imperium Britania, dan Uni Soviet menjadi bukti dari masa lalu yang mencoba 'mengajarkan' umat manusia bahwa negara multikultural tidak akan bisa bertahan.

Dalam sejarah kontemporer, umat manusia juga terus dihadapkan pada 'pembelajaran' yang sama dengan adanya konflik berkepanjangan di kawasan Timur Tengah, gerakan separatisme di kawasan Eropa Timur, hingga perang saudara yang masif di kawasan Afrika akibat aspek multikulturalisme yang terdapat pada kawasan-kawasan tersebut. Bahkan, Amerika Serikat dan India yang sering dijadikan 'simbol' kesuksesan multikulturalisme tidak lepas dari 'kutukan' ini sekalipun tidak sampai menyebabkan kedua negara tersebut runtuh. Akan tetapi, 'hampir tidak pernah' bukan berarti 'tidak mungkin' atau 'tidak sama sekali'.

Indonesia mungkin menjadi salah satu dari sedikit negara di dunia yang tidak terkena 'kutukan' multikulturalisme, setidaknya hingga saat ini. Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan budaya yang sangat beragam, ditunjukkan dengan jumlah etnis hingga 633 kelompok besar menurut Sensus Penduduk 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan jumlah bahasa established (tidak termasuk immigrant) hingga 707 menurut SIL International.

Data ini 'diperparah' dengan adanya fakta lain berupa jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 270.625.568 jiwa -- menurut estimasi Perserikatan Bangsa-bangsa -- yang merupakan terbanyak keempat di dunia dan tersebar pada sekitar 6.000 pulau dengan luas daratan hingga 1.811.569 km2 (terluas keempatbelas di dunia, tidak termasuk inland waters dan laut teritorial). Namun demikian, Indonesia memiliki ethnic polarization index sebesar 0,529 untuk periode yang sama, tidak jauh berbeda dengan sejumlah negara besar lainnya seperti Amerika Serikat sebesar 0,691; Inggris sebesar 0,571; Thailand sebesar 0,582; ataupun Meksiko sebesar 0,654.

Indonesia Memiliki Democracy Index yang Tergolong Flawed Democracy. Sumber: democracywithoutborders.org
Indonesia Memiliki Democracy Index yang Tergolong Flawed Democracy. Sumber: democracywithoutborders.org
Sebagai catatan, ethnic polarization index (EPI) didasarkan pada distribusi pendapatan, evolusi, stabilitas sosial, dan  keberadaan konflik di antara kelompok etnis yang berbeda pada suatu wilayah. Indonesia juga merupakan negara yang tergolong demokratis. Dengan kata lain, tanpa adanya tekanan yang besar dari pemerintah melalui kebijakan terkait dengan multikulturalisme, Indonesia tetap mampu untuk tidak terpolarisasi.

Konteks ini akan relevan jika kita melihat sejumlah negara multikulturalis dengan EPI yang tidak jauh berbeda atau bahkan lebih baik dibandingkan Indonesia meskipun memiliki potensi konflik antar-etnis yang jauh lebih tinggi, seperti Irak yang memiliki EPI sebesar 0,665; Tiongkok sebesar 0,661; Angola sebesar 0,572; Sudan sebesar 0,699; dan Suriah sebesar 0,373.

Menurut Montalvo dan Reynal-Querol dalam World Bank Policy Research Working Paper 4192 (2007), suatu negara dengan proporsi hutan dan pegunungan yang lebih tinggi pada wilayah yang dikuasai akan memiliki probabilitas yang juga lebih tinggi dalam aspek terbentuknya rebel group yang utamanya didasarkan pada identitas etnis. Menurut CIA World Factbook, Indonesia memiliki hutan terluas kedelapan di dunia (944.320 km2) yang menutupi 49,6% dari luas wilayah yang menjadi kedaulatan Indonesia.

Selain itu, seluas 60% dari keseluruhan wilayah Indonesia merupakan wilayah pegunungan. Meskipun demikian, konflik atau gerakan separatisme yang terjadi di Indonesia dan didasarkan pada identitas etnis terbilang tidak banyak. Tercatat, sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, konflik atau gerakan separatisme atas dasar supremasi atau 'ketidaksesuaian' identitas etnis tertentu dengan identitas kebangsaan 'Indonesia' hanya meliputi Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan, dan Organisasi Papua Merdeka.

Sumpah Pemuda sebagai Fondasi Awal

Meskipun baru merdeka pada 17 Agustus 1945, konsep kebangsaan Indonesia telah diciptakan sejak 28 Oktober 1928 pada Kongres Pemuda Kedua yang dituangkan dalam Sumpah Pemuda. Bahkan, lagu kebangsaan 'Indonesia Raya' telah ada pada kongres ini meskipun negara Indonesia sendiri baru ada lebih dari 16 tahun kemudian.

Secara singkat, Sumpah Pemuda mendeskripsikan keberadaan 'Indonesia' sebagai suatu identitas kesatuan yang diwujudkan dalam bentuk 'konsep tanah air', 'identitas kebangsaan', dan 'bahasa'.

Di satu sisi, kondisi ini terlihat mencoba menghilangkan konsep multikulturalisme yang ada di Indonesia sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha (yang diakui sebagai awal sejarah Indonesia) dengan 'memaksa' setiap etnis dan kultur yang ada di Indonesia untuk melebur menjadi satu dan menjadi identitas baru yang harus diakui oleh setiap 'orang Indonesia'. Akan tetapi, konsep ini sebenarnya hanya ingin mencoba membangun identitas kebangsaan yang bersatu untuk mengalahkan 'penjajah' sehingga Indonesia bisa merdeka. Dengan kata lain, Sumpah Pemuda menjustifikasi bahwa Indonesia telah ada sebagai suatu bangsa sejak 1928 walaupun baru menjadi negara berdaulat pada 1945.

Konsep serupa sebenarnya telah banyak diciptakan sebelumnya oleh sejumlah bangsa atau negara lain di dunia. Uni Soviet terdiri dari sejumlah kelompok bangsa (Russians, Georgians, Azerbaijanis, Ukrainians, Uzbeks, dan Tajiks) untuk bersatu dalam suatu identitas nasional. Britania Raya 'menciptakan' suatu identitas kesatuan bernama 'British' atau 'Britons' dari sejumlah kelompok bangsa, yang meliputi English, Scottish, dan Irish. Bahkan, konsep English juga sebenarnya berasal dari persatuan antara sejumlah kelompok, yang meliputi Mercia, Wessex, dan lima kelompok lainnya.

Chinese yang merupakan bangsa yang utamanya mendiami Republik Rakyak Tiongkok juga terdiri dari 56 kelompok etnis, seperti Han, Zhuang, Hui, Man, Uygur, Miao, Yi, Tujia, dan sebagainya. Akan tetapi, berbeda dengan Rusia, Inggris, dan Tiongkok, Indonesia mendirikan negara bukan didasarkan pada kelompok etnis mayoritas di wilayah yang dikuasai. Rusia, Inggris, dan Tiongkok dinamakan demikian karena kelompok etnis mayoritas di negara tersebut masing-masing terdiri dari Russians, English, dan Chinese. Indonesia sendiri sekalipun didominasi oleh kelompok etnis Jawa tidak menamakan diri sebagai negara Jawa atau sejenisnya.

Bhinneka Tunggal Ika, Bukan Melting Pot

'Bhinneka Tunggal Ika' merupakan suatu semboyan nasional Indonesia yang selalu dijadikan sebagai 'pengingat' pentingnya persatuan bagi masyarakat Indonesia yang multikultural. Akan tetapi, konsep ini relatif unik dibandingkan dengan konsep persatuan yang diterapkan oleh sejumlah negara di dunia. Sekalipun selalu menyuarakan persatuan sebagai bangsa dan negara, masyarakat Indonesia tetap diingatkan tentang keberagaman sebagai kekayaan yang harus selalu dijaga. Dengan kata lain, setiap orang Indonesia bisa mengidentifikasi diri sebagai bangsa yang sama dengan orang Indonesia lain, tetapi juga berbeda karena berasal dari kelompok etnis yang berbeda.

Sebagai contoh, orang Batak bisa menyamakan dirinya dengan orang Sunda sebagai orang Indonesia, tetapi tetap mempertahankan identitas ke-Batak-an atau ke-Sunda-an. Dengan demikian, terdapat identitas etnis yang telah lama ada untuk tetap dipertahankan, sekaligus identitas baru yang akan selalu dibanggakan.

Konsep tersebut berbeda dengan melting pot yang banyak terjadi di Amerika Serikat, di mana kelompok etnis yang beragam lama-lama menjadi homogen atas dasar kesatuan sebagai American people. Selain itu, kelompok etnis yang jauh berbeda 'dipaksa' menjadi suatu identitas baru, terbukti dengan etnis White yang tercatat sebagai kelompok mayoritas sekalipun White people sebenarnya terdiri dari German, English, French, Italian, dan etnis lainnya. Kelompok etnis yang berbeda-beda dari Asia dinamakan Asian American padahal kelompok tersebut terdiri dari Chinese, Filipino, Vietnamnese, dan lainnya dengan karakteristik kultur yang jauh berbeda.

'Manipulasi' Sistematis Terkait dengan Pluralisme

Indonesia didirikan sejak awal atas dasar kesamaan yang dialami oleh setiap kelompok etnis dari Sabang sampai Merauke sebagai orang-orang yang terbelenggu 'penjajahan' oleh bangsa asing. Ide kultural ini dijadikan sebagai 'alat' untuk 'memanipulasi' semua kelompok etnis untuk tetap bersatu sebagai bangsa Indonesia.

Konsep ini tidak hanya mampu menyatukan kelompok-kelompok etnis yang jauh berbeda, tetapi juga mampu mempertahankan persatuan yang ada hingga saat ini. Bahkan, gerakan separatisme yang muncul atas dasar 'kesadaran' bahwa mereka berbeda mampu 'dibelenggu' dengan adanya mayoritas dari kelompok etnis terkait untuk tetap bergabung sebagai bangsa Indonesia. Itu sebabnya, Gerakan Aceh Merdeka dan Republik Maluku Selatan dapat 'ditumpaskan' oleh Indonesia, sedangkan Organisasi Papua Merdeka hanya 'jalan di tempat'.

Karakteristik Masyarakat Indonesia yang Relatif Dewasa

Dengan adanya etnis hingga lebih dari 600 kelompok besar, kehidupan multikulturalisme di Indonesia diwarnai dengan stereotip yang sebenarnya bersifat ofensif terhadap kelompok etnis yang dituju. Akan tetapi, masyarakat Indonesia secara umum melihat stereotip tersebut sebagai suatu kebanggaan, bukan serangan.

Kelompok etnis Batak yang dianggap 'kasar' atau Jawa yang dianggap 'lambat' sebenarnya muncul sebagai serangan dari kelompok etnis tertentu, tetapi kelompok etnis Batak dan Jawa selalu menanggapi secara dewasa. Terbukti, konsep 'kasar' di antara orang Batak ditanggapi dengan alasan 'wajar karena merupakan orang pegunungan' dan konsep 'lambat' di antara orang Jawa bahkan ditanggapi dengan peribahasa yang lama-lama jadi falsafah hidup: "Biar Lambat, Asal Selamat".

Oleh karena itu, jika ada yang menganggap bahwa isu-isu terkait etnis, pluralisme, ataupun multikulturalisme merupakan hal-hal yang tabu untuk dibicarakan di Indonesia, bukan berarti bahwa akan ada konflik yang muncul ketika isu-isu tersebut dibahas. Akan tetapi, konsep 'ketabuan' untuk membicarakan isu-isu terkait etnis, pluralisme, ataupun multikulturalisme lebih dikarenakan orang-orang Indonesia secara umum tidak terlalu 'peduli' dengan identitas yang dimiliki sebagai bagian dari kelompok etnis tertentu dalam forum 'multikultural'.

Setiap orang selalu mencoba menjaga warisan budaya masing-masing dan di saat yang bersamaan selalu mengedepankan persatuan sebagai bangsa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun