Dengan adanya etnis hingga lebih dari 600 kelompok besar, kehidupan multikulturalisme di Indonesia diwarnai dengan stereotip yang sebenarnya bersifat ofensif terhadap kelompok etnis yang dituju. Akan tetapi, masyarakat Indonesia secara umum melihat stereotip tersebut sebagai suatu kebanggaan, bukan serangan.
Kelompok etnis Batak yang dianggap 'kasar' atau Jawa yang dianggap 'lambat' sebenarnya muncul sebagai serangan dari kelompok etnis tertentu, tetapi kelompok etnis Batak dan Jawa selalu menanggapi secara dewasa. Terbukti, konsep 'kasar' di antara orang Batak ditanggapi dengan alasan 'wajar karena merupakan orang pegunungan' dan konsep 'lambat' di antara orang Jawa bahkan ditanggapi dengan peribahasa yang lama-lama jadi falsafah hidup: "Biar Lambat, Asal Selamat".
Oleh karena itu, jika ada yang menganggap bahwa isu-isu terkait etnis, pluralisme, ataupun multikulturalisme merupakan hal-hal yang tabu untuk dibicarakan di Indonesia, bukan berarti bahwa akan ada konflik yang muncul ketika isu-isu tersebut dibahas. Akan tetapi, konsep 'ketabuan' untuk membicarakan isu-isu terkait etnis, pluralisme, ataupun multikulturalisme lebih dikarenakan orang-orang Indonesia secara umum tidak terlalu 'peduli' dengan identitas yang dimiliki sebagai bagian dari kelompok etnis tertentu dalam forum 'multikultural'.
Setiap orang selalu mencoba menjaga warisan budaya masing-masing dan di saat yang bersamaan selalu mengedepankan persatuan sebagai bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H