Mohon tunggu...
Andipati 2001
Andipati 2001 Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Suka nulis artikel random, cerpen dan puisi https://www.instagram.com/Andipati17/

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Berselimut Salambo

30 Agustus 2024   17:03 Diperbarui: 30 Agustus 2024   17:09 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.wattpad.com/Andipati2001

Dahulu, ada sebuah kisah yang tersembunyi dalam ingatan para tetua, terkubur bersama mereka yang telah meninggalkan dunia ini, baik karena usia yang menua atau penyakit yang tak terhindarkan. Kisah ini adalah warisan yang hampir terlupakan, tergerus oleh waktu dan perubahan zaman. Dulu, cerita ini sering kali digunakan oleh orang tua untuk meninabobokan anak-anak mereka sebelum tidur, namun seiring berjalannya waktu, kisah tersebut perlahan-lahan terabaikan.

Kisah ini berkisah tentang seorang pria yang hidup dalam kemiskinan yang mendalam. Dia adalah seorang buruh, bekerja keras di ladang milik seorang tuan tanah yang kaya raya. Setiap sore, setelah seharian bekerja, dia pergi ke sungai untuk memancing, berharap bisa membawa pulang ikan untuk mengisi perut keluarganya yang kelaparan. 

Pada malam hari, ketika kelelahan merenggut kesadarannya, pikirannya terus dipenuhi oleh satu pertanyaan yang menghantuinya: bagaimana caranya bisa menjadi kaya? Bagaimana caranya keluar dari jerat kemiskinan yang seolah tidak ada ujungnya?

Suatu hari, ketika ia sedang mencari dedaunan di hutan untuk meramu obat bagi istrinya yang sakit parah, dia menemukan sebuah gua yang tersembunyi di jantung hutan. Hujan gerimis turun dengan lembut, memaksanya mencari perlindungan di mulut gua yang gelap dan mencekam itu. Meski hatinya diliputi rasa takut, rasa penasaran yang tak terbendung membuatnya tidak segera pergi. Suara-suara aneh yang berbisik dari kegelapan gua membuatnya semakin tergoda untuk mendekati tempat itu.

Cerita berkembang dengan berbagai versi, namun ada satu hal yang selalu menjadi inti dari kisah tersebut: pria itu dikatakan telah membuat perjanjian dengan iblis. Sejak saat itu, hidupnya berubah drastis. Dia tiba-tiba memiliki ladang yang luas, penuh dengan tanaman yang subur dan hasil panen yang melimpah. 

Hewan ternaknya bertambah banyak, dan ia mempekerjakan banyak orang untuk bekerja di tanahnya. Kekayaan yang datang dengan cepat membuatnya semakin serakah; dia menikah lagi dan lagi, hingga akhirnya memiliki sepuluh istri.

Konon, iblis tersebut berjanji bahwa pria itu tidak akan pernah merasakan kelaparan atau kekurangan. Bahkan, kekayaannya begitu melimpah sehingga dia kebingungan bagaimana cara menghabiskan hartanya. Namun, seperti halnya semua perjanjian dengan kekuatan gelap, harga yang harus dibayar ternyata lebih mahal dari yang pernah dibayangkannya.

Seperti halnya semua perjanjian dengan iblis, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Tidak ada yang datang dengan cuma-cuma, terutama ketika berurusan dengan kekuatan gelap. Iblis itu tidak hanya meminta satu hal sederhana, melainkan sesuatu yang besar, sesuatu yang akan mengguncang seluruh kehidupan pria itu. Iblis tersebut menginginkan rumah, bukan sekadar rumah dalam arti bangunan, tetapi seluruh desa beserta penghuninya. Ia ingin menjadikan desa itu sebagai tempat tinggal, sebuah sarang bagi dirinya dan teman-temannya---makhluk-makhluk yang siap mengisi dan menguasai wilayah tersebut.

Pria itu, dalam ambisinya yang buta akan kekayaan, setuju dengan syarat tersebut tanpa benar-benar memahami konsekuensinya. Maka dimulailah perubahan mengerikan di desa tersebut. Pada awalnya, para penduduk mulai merasa sakit dan lemah, hingga akhirnya banyak yang lumpuh tanpa alasan yang jelas. Tapi, penyakit aneh itu tidak berhenti di situ. Lambat laun, tubuh mereka mengalami perubahan yang tidak dapat dijelaskan oleh akal sehat. 

Orang-orang yang lumpuh itu mulai menumbuhkan dua kaki baru, kemudian empat mata tambahan muncul di wajah mereka, dan di bagian punggung atau pantat mereka, tumbuh gumpalan daging hijau yang aneh. Gumpalan itu, mirip seperti kantong telur laba-laba, mampu menyemburkan jaring lengket seperti benang sutra.

Seiring waktu, desa yang dulunya tenang berubah menjadi tempat yang mengerikan. Para penduduk yang berubah kini berjalan dengan empat kaki, menggunakan dua tangan mereka yang lain untuk merayap di tanah. Enam mata mereka bersinar dalam kegelapan, sementara gumpalan di punggung mereka terus memproduksi jaring laba-laba yang mereka semburkan ke sekeliling desa. 

Jaring-jaring putih itu menyelimuti seluruh desa, menciptakan pemandangan yang menyerupai badai salju yang tidak pernah mencair. Matahari, yang dulu bersinar hangat di atas desa, tampaknya semakin enggan untuk muncul. Siang hari menjadi sangat singkat, sementara malam semakin panjang, mendominasi desa yang kini seolah terperangkap di bawah kubah hitam yang mengerikan.

Sadar akan bahaya yang mengintai, sebagian kecil penduduk yang masih selamat memilih untuk melarikan diri dari desa. Mereka lari meninggalkan rumah mereka, meninggalkan segala sesuatu yang mereka miliki, dan bersumpah untuk tidak pernah kembali. 

Desa itu akhirnya hanya dihuni oleh pria yang melakukan perjanjian tersebut beserta keluarganya yang hidup dalam kemewahan, namun dikelilingi oleh makhluk-makhluk yang dulu adalah tetangganya, kini telah berubah menjadi hibrida manusia-laba-laba yang menakutkan. Meskipun mereka tidak agresif, makhluk-makhluk itu hidup layaknya laba-laba: mereka membangun sarang, menunggu mangsa berupa serangga yang tersesat, dan berkembang biak dengan cara yang tidak wajar. Anak-anak mereka lahir dari telur-telur yang menjijikkan, bentuknya tak jauh berbeda dengan induknya.

Tahun-tahun berlalu, dan perlahan makhluk-makhluk aneh itu mulai mengecil. Proses yang misterius itu akhirnya mengubah mereka menjadi laba-laba biasa, yang kemudian menghilang entah ke mana. Desa itu pun menjadi sepi dan terlupakan, hanya menyisakan bekas-bekas keanehan yang pernah terjadi di sana.

Namun, desa yang ditinggalkan tak pernah benar-benar kosong. Seiring waktu, warga baru mulai datang, mengisi kembali desa yang pernah menjadi sarang kegelapan. Mereka mendirikan rumah-rumah baru, menanam ladang-ladang baru, seolah menghapus jejak masa lalu yang kelam. 

Cerita tentang manusia yang berubah menjadi laba-laba menjadi kisah penghantar tidur untuk anak-anak mereka, sebuah dongeng yang mungkin hanya dipercaya sebagai legenda. Namun, entah sejak kapan, seiring berjalannya waktu, cerita itu pun mulai menghilang, terkubur oleh waktu dan perubahan zaman, hanya meninggalkan bayangan samar dalam ingatan yang hampir terlupakan.

Puluhan tahun setelah desa itu dihuni oleh warga-warga yang baru.

Pagi itu Rindu menemukan kumpulan laba-laba di depan rumahnya, saat ia pergi menimba air, ternyata teman-temannya pun menceritakan hal yang sama. Ternyata, banyak yang menemukan laba-laba yang berkerumun di sekitar mereka, dapat disimpulkan desa itu entah kenapa menjadi banyak laba-laba, bahkan banyak jaring laba-laba dimana-mana. Berkerumunnya laba-laba tanpa alasan yang jelas adalah sebuah keganjilan. Laba-laba adalah hewan soliter, berkumpul seperti semut ataupun lebah adalah bukan kebiasaannya.

Desa itu berada di perbukitan dan masuk ke dalam hutan, sekeliling desa mereka adalah perbukitan. Jadi saat pagi, mereka telat mendapat sinar matahari dan akan lebih cepat menerima malam. Itu sebuah terjadi karena desa mereka ada di sebuah lembah yang dikelilingi perbukitan tinggi dan pegunungan. Udara di desa ini pun selalu sejuk. Namun, beberapa minggu terakhir, malam jadi lebih lama dari biasanya.

Rindu memasak air untuk ibunya mandi, karena laba-laba yang sudah meresahkan warga desa, Rindu jadi harus sering membersihkan tempat masak ataupun alat makannya, karena jaring laba-laba hampir ada dimana-mana.

Selain terkena hama serangga laba-laba, desa ini juga terkena wabah penyakit. Kurang jelas bagaimana awalnya dan warga pun tidak mengerti penyakit apa, namun banyak warga mulai mengalami kelumpuhan. Bahkan ini terjadi pada remaja dan anak muda. Tidak ada yang memastikan penyebabnya, dan bagaimana penyakit ini bisa menyerang serentak warga desa.

Ayahnya, kepala desa, dan beberapa orang telah tiga hari lalu pergi ke kota untuk mencari bantuan. Namun, mereka belum kembali. Orang-orang ingin membawa keluarga mereka yang sakit ke kota, namun akses jalan sangat tidak bersahabat dikarenakan musim hujan baru selesai dua minggu lalu, yang artinya jalanan yang dipelihara dengan baik oleh pemerintah itu tak dapat dilalui. Bahkan tidak bisa disebut jalan, tapi empang lele.

Lagipula untuk mencapai kota, warga desa harus melalui jalanan yang mirip empang lele itu sejauh berpuluh kilometer, belum lagi mereka harus menyebrangi sungai besar, lalu mereka harus menaiki gunung, lalu menuruni perbukitan dan barulah sampai di pinggir kota yang masih harus mencari angkot untuk sampai ke rumah sakit terdekat.

"Rindu, tolong minumkan ibumu kunyit merah ini, ini bisa membantu menyegarkan tubuh ibumu yang sudah jarang bergerak," ujar seorang kakek-kakek saat Rindu memasak air. Ia adalah kakak dari almarhum kakek Rindu, orang yang dikenal sebagai sesepuh di desa ini. Dia sudah seperti kakek Rindu, Rindu memanggilnya Mbah Surip. Rindu tidak tahu apa gunanya kunyit merah ini untuk kelumpuhan ibunya, namun Rindu enggan membantah dan menurut saja. Toh warga desa lain pun melakukannya.

"Bagaimana keadaan ibumu?"

"Masih sama, Mbah," kata Rindu pelan.

"Jangan lupa taburkan garam sebelum gelap, jangan menunggu malam karena malam datang lebih cepat dari yang seharusnya," ujar Mbah Surip nada lirih, Rindu hanya mengangguk pelan.

Orang-orang yang terkena penyakit misterius, tubuhnya tidak bisa digerakkan pada awalnya, seakan lemas dan lebih lembek dari biasanya. Yang terjadi selanjutnya adalah korban akan kesulitan berbicara, Rindu pernah mengecek mulut ibunya, lidah ibunya seakan memendek.

Rindu membantu ibunya meminum rebusan kunyit merah, menyuapkannya beberapa suap nasi dan lauk sederhana berupa tempe dan sayur, lalu sesaat kemudian ibunya itu menggeleng lemah, artinya dia sudah tidak nafsu makan. Tubuh ibunya itu kurus karena makan sedikit sekali. Lalu suara kentongan diketuk oleh beberapa orang, menandakan malam akan jatuh. Rindu buru-buru menabur garam ke sekitar rumahnya.

Rindu menyalakan lampu cempor ke beberapa titik di rumahnya. Sekitar rumah Rindu mulai perlahan gelap, padahal ini baru jam empat sore. Para tetangga Rindu yang memang saling berjauhan pun mulai menyalakan lampu cempor dan menabur garam di sekitar rumah mereka masing-masing. Titik-titik kuning menjadi pemandangan yang biasa di desa ini saat malam hari. Listrik belum masuk.

"Mbak Rindu?" Rindu agak terperanjat mendengar namanya dipanggil.

"Kusno!? Bikin Mbak kaget saja," Rindu mengelus dadanya pelan. "Kenapa, No?"

"Ada nasi tidak Mbak? Kusno dan Bapak dari kemarin belum makan," tatapan Kusno, anak berumur sepuluh tahun itu sangat mengiris hati Rindu. Rindu menggigit bibir pelan, beras di rumahnya pun mulai menipis. Jika ia terus-terusan memberikan nasi pada Kusno, lalu bagaimana dengan dia dan ibunya? Sudah begitu ayahnya juga belum pulang dari kota.

"Nanti Mbak ke sana ya, kamu tunggu saja di rumah," akhirnya Rindu menyerah dengan perasaannya. Sudah seminggu ini Kusno meminta makan pada Rindu. Ibunya Kusno sudah pergi sebulan lalu setelah mengetahui bapaknya terkena penyakit misterius dan tidak bisa pergi ke ladang lagi. Yang paling menyakitkan adalah ibunya itu pergi karena diserbu warga karena tengah melakukan tindakan yang tak senonoh dengan tetangganya. Mereka berdua pun diusir warga.

Rindu melenguh pelan, malam ini ia harus berpuasa lagi. Keadaan memang sedang susah. Kata orang-orang, di kota sana sedang terjadi kekacauan yang mengguncang negara. Rindu dan warga desa mana peduli, hidup di sini saja sudah susah, mana sempat memikirkan urusan negara. Biar orang kota dan orang pintar saja yang mengurusi! Tapi kekacauan negara berdampak besar bagi Rindu, sekarang apa-apa itu mahal, beras pun susah didapat. Bahkan sudah sejak lima tahun lalu, warga desa kesulitan memakan daging.

Rindu mengambil obornya dan berjalan dengan hati-hati menuruni jalanan berbatu di desanya, ia menyapa beberapa orang yang ia kenal. Suara serangga malam, suara deras arus air dari sungai yang tak jauh dari desa, dan suara burung susul menyusul mengiringi Rindu berjalan. Setelah sampai, rupanya Kusno sudah duduk-duduk di teras rumah kayunya.

"Bapak kamu bagaimana kabarnya?" tanya Rindu setelah memberikan bungkusan nasi dan lauk ke Kusno yang disambut dengan mata berbinar.

"Bapak aneh, Mbak," kata Kusno pelan.

"Aneh? Aneh kenapa?"

"Masa Kaki bapak ada empat, matanya ada enam, dan pantatnya hijau," kata Kusno dengan serius yang disambut tertawa kecil oleh Rindu.

"Kamu ini ada-ada saja, ya sudah Mbak pulang dulu," Kusno memang dikenal anak yang imajinatif. Dia sering mengarang cerita untuk mendapatkan perhatian.

selengkapnya bisa ke wattpad!! 

https://www.wattpad.com/1473325537-catatan-para-setan-berselimut-salambo-part-1 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun