Selain terkena hama serangga laba-laba, desa ini juga terkena wabah penyakit. Kurang jelas bagaimana awalnya dan warga pun tidak mengerti penyakit apa, namun banyak warga mulai mengalami kelumpuhan. Bahkan ini terjadi pada remaja dan anak muda. Tidak ada yang memastikan penyebabnya, dan bagaimana penyakit ini bisa menyerang serentak warga desa.
Ayahnya, kepala desa, dan beberapa orang telah tiga hari lalu pergi ke kota untuk mencari bantuan. Namun, mereka belum kembali. Orang-orang ingin membawa keluarga mereka yang sakit ke kota, namun akses jalan sangat tidak bersahabat dikarenakan musim hujan baru selesai dua minggu lalu, yang artinya jalanan yang dipelihara dengan baik oleh pemerintah itu tak dapat dilalui. Bahkan tidak bisa disebut jalan, tapi empang lele.
Lagipula untuk mencapai kota, warga desa harus melalui jalanan yang mirip empang lele itu sejauh berpuluh kilometer, belum lagi mereka harus menyebrangi sungai besar, lalu mereka harus menaiki gunung, lalu menuruni perbukitan dan barulah sampai di pinggir kota yang masih harus mencari angkot untuk sampai ke rumah sakit terdekat.
"Rindu, tolong minumkan ibumu kunyit merah ini, ini bisa membantu menyegarkan tubuh ibumu yang sudah jarang bergerak," ujar seorang kakek-kakek saat Rindu memasak air. Ia adalah kakak dari almarhum kakek Rindu, orang yang dikenal sebagai sesepuh di desa ini. Dia sudah seperti kakek Rindu, Rindu memanggilnya Mbah Surip. Rindu tidak tahu apa gunanya kunyit merah ini untuk kelumpuhan ibunya, namun Rindu enggan membantah dan menurut saja. Toh warga desa lain pun melakukannya.
"Bagaimana keadaan ibumu?"
"Masih sama, Mbah," kata Rindu pelan.
"Jangan lupa taburkan garam sebelum gelap, jangan menunggu malam karena malam datang lebih cepat dari yang seharusnya," ujar Mbah Surip nada lirih, Rindu hanya mengangguk pelan.
Orang-orang yang terkena penyakit misterius, tubuhnya tidak bisa digerakkan pada awalnya, seakan lemas dan lebih lembek dari biasanya. Yang terjadi selanjutnya adalah korban akan kesulitan berbicara, Rindu pernah mengecek mulut ibunya, lidah ibunya seakan memendek.
Rindu membantu ibunya meminum rebusan kunyit merah, menyuapkannya beberapa suap nasi dan lauk sederhana berupa tempe dan sayur, lalu sesaat kemudian ibunya itu menggeleng lemah, artinya dia sudah tidak nafsu makan. Tubuh ibunya itu kurus karena makan sedikit sekali. Lalu suara kentongan diketuk oleh beberapa orang, menandakan malam akan jatuh. Rindu buru-buru menabur garam ke sekitar rumahnya.
Rindu menyalakan lampu cempor ke beberapa titik di rumahnya. Sekitar rumah Rindu mulai perlahan gelap, padahal ini baru jam empat sore. Para tetangga Rindu yang memang saling berjauhan pun mulai menyalakan lampu cempor dan menabur garam di sekitar rumah mereka masing-masing. Titik-titik kuning menjadi pemandangan yang biasa di desa ini saat malam hari. Listrik belum masuk.
"Mbak Rindu?" Rindu agak terperanjat mendengar namanya dipanggil.