Mohon tunggu...
Andipati 2001
Andipati 2001 Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Suka nulis artikel random, cerpen dan puisi https://www.instagram.com/Andipati17/

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Anomali Pocong

27 Agustus 2024   14:12 Diperbarui: 27 Agustus 2024   14:21 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 1997, di sebuah desa di Kabupaten Indramayu, terjadi pembantaian dalam satu malam.

Saat itu, Samsul baru berusia tiga belas tahun, namun tangannya sudah cekatan membantu ibu dan bapaknya yang berjualan nasi di warung sederhana di ujung jalan desa. Setiap hari, selepas pulang sekolah, ia tak segan membereskan gelas, piring, atau sekadar mengelap meja yang habis dipakai pelanggan. Warung mereka menjadi tempat persinggahan favorit bagi para petani yang baru pulang dari sawah, letaknya memang strategis, dekat dengan tanggul dan sungai yang mengairi persawahan di desa itu.

Hari itu, suasana di warung cukup ramai seperti biasa. Namun ada yang berbeda, para pelanggan yang biasanya bersenda gurau dengan riang kini terlihat agak tegang. Mereka sedang membicarakan sesuatu yang membuat bulu kuduk meremang. Dari pembicaraan mereka, Samsul menangkap kabar yang membuatnya penasaran. Katanya, ada teror pocong yang sedang mengganggu warga desa. Semakin malam, semakin banyak pocong yang mengetuk pintu rumah-rumah penduduk.

"Ih, beneran ini, Pak Udin," ucap seorang bapak paruh baya dengan nada serius, "Kata Pak Joni, yang sering nyari kodok malem-malem itu, pocongnya terlihat di depan rumah Pak Haji Somad. Malam itu, Pak Joni tadinya mau basa-basi karena pikirnya mungkin tamu Pak Haji, tapi ternyata yang dilihatnya malah sosok pocong sedang mengetuk pintu. Tok, tok, tok... gitu, Pak!" Ia bergidik, seakan membayangkan kembali momen seram yang diceritakan Pak Joni.

Pak Udin, bapaknya Samsul ikut bergidik mendengar cerita itu. "Tingeling, serem pisan (anjir, serem banget) Dan," katanya dengan nada khawatir sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Mendengar percakapan itu, Pak Udin langsung menoleh ke arah putranya yang sedang sibuk membereskan gelas-gelas kotor. "Tuh, Sul, makanya kalau keluar rumah jangan malam-malam! Bandel sih kamu, malah main petasan terus," tegur Pak Udin dengan nada mengingatkan, namun Samsul merasa ada nada marah yang tersembunyi.

Samsul hanya menghela napas, seakan bapaknya selalu punya alasan untuk memarahinya. "Mana ada pocong bisa mengetuk pintu, Pak," gumamnya pelan sambil meletakkan gelas yang sudah dilap ke tempatnya. Ia lalu melempar kotak tisu yang baru diisi ke atas meja yang tadi sudah dilap bersih. Ada beberapa meja dan kursi di warung nasi orang tuanya, tapi tidak ada yang seramai meja tempat para bapak-bapak itu bergunjing.

"Ngetuknya pake kepala, Sul!" kata Pak Dani sambil menundukkan kepalanya ke meja, menirukan pocong yang mengetuk pintu, membuat suasana semakin tegang sekaligus konyol.

Samsul mengernyit, tak tertarik dengan cerita itu. "Kamu ini kalau dibilangin sama orang tua, ngeyel bae! (ngeyel terus!)" sergah Pak Udin dengan nada kesal. Tapi Samsul sudah tak ingin meladeni, apalagi dengan cerita yang menurutnya hanya omong kosong.

Setelah berpamitan pada ibunya yang tengah sibuk mengaduk sambal goreng di wajan, Samsul memutuskan untuk meninggalkan warung dan menuju ruang tengah, mencari hiburan di televisi. Namun, cerita tentang pocong itu masih terngiang-ngiang di benaknya. Sesekali, ia menoleh ke arah pintu rumah, membayangkan suara tok-tok yang diceritakan tadi. Meskipun ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya, rasa penasaran dan sedikit ketakutan mulai menyelinap di dalam hatinya.

Di hari lain, Samsul kembali mendengar percakapan yang menyeramkan di warung nasi orang tuanya. Kali ini, bukan hanya tentang pocong yang mengetuk pintu, tetapi ada cerita lain yang membuat bulu kuduk berdiri. Cerita ini datang dari Pak Tarpan, seorang lelaki tambun yang sering singgah di warung itu untuk makan siang setelah bekerja di sawah. Wajahnya serius saat bercerita, meski ujung bibirnya berbusa karena sudah terlalu lama berbicara tanpa henti.

"Katanya sekarang banyak rumah di desa ini yang paginya berserakan bunga tujuh rupa di terasnya," ujar Pak Tarpan dengan nada penuh keyakinan. "Orang-orang mulai curiga, mungkin ada seseorang yang sengaja menebarkan bunga-bunga itu saat malam tiba."

Pak Udin, yang duduk di seberang meja, terperangah mendengar cerita tersebut. "Sing bener sira, Pan? (Yang benar kamu, Pan?)" tanyanya sambil mengerutkan dahi, tak percaya. Wajahnya yang biasanya tenang kini sedikit pucat. Bapaknya Samsul ini, meski berbadan besar dan terlihat garang, namun soal cerita seram begini, ia tetap bergidik ketakutan.

Pak Tarpan mengangguk mantap. "Bener, Pak Udin. Masa reang bobad sih? (Masa saya bohong sih?)" Ia meyakinkan Pak Udin, bapaknya Samsul, yang sejak tadi menyimak dengan cermat.

Samsul yang sedang sibuk mengelap gelas, piring, dan sendok yang sudah dicuci, mendengarkan percakapan itu dengan setengah hati. Meski tampak cuek, ia tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Bunga tujuh rupa? Apa itu ada hubungannya dengan pocong yang dibicarakan kemarin?

Pak Dani, yang baru saja selesai makan siangnya, ikut nimbrung dalam percakapan. "Oh, pantesan tadi saya lewat rumah Pak Haji Somad, lihat beliau ngomel-ngomel ke pembantunya. Katanya, kok ada bunga tujuh rupa di terasnya. Pak Haji pikir itu ulah orang iseng," katanya sambil mengingat kejadian pagi tadi.

"Ih, serem pisan, wong ngilmu nantu ya? (Ih, serem banget, orang ngilmu kali ya?)" Pak Tarpan menambahkan, suaranya pelan, seolah takut ada yang mendengar.

Pak Jaka, yang paling tua di antara mereka, tampak terpana. Ia bahkan hampir menyemburkan nasi yang sedang dikunyahnya. "Wah, betul tuh! Jangan-jangan emang ada orang mau belajar ilmu hitam," ujarnya dengan nada was-was.

Keempat bapak-bapak itu, yaitu Pak Jaka, Pak Tarpan, Pak Dani, dan Pak Udin, segera terlibat dalam perbincangan panjang tentang hal-hal mistis yang membuat suasana warung semakin mencekam. Mereka saling melempar cerita dan dugaan, semakin membuat suasana siang itu terasa aneh dan penuh ketegangan.

Samsul menghembuskan napas panjang, merasa kesal. Apa yang lebih buruk dari mendengarkan bapak-bapak bergosip siang-siang? Samsul enggan menjawab pertanyaannya sendiri.

Kabar tentang adanya orang yang sedang mempraktikkan ilmu hitam atau memulai pesugihan dengan menaburkan bunga tujuh rupa di teras rumah-rumah warga desa menyebar dengan cepat. Desas-desus itu membuat warga semakin resah, takut jika hal-hal buruk akan menimpa mereka. Namun, di tengah kecemasan yang melanda, Samsul tetap skeptis. Baginya, cerita-cerita semacam itu hanya karangan orang iseng yang ingin menakut-nakuti.

Namun, keraguan Samsul mulai terkikis ketika ia mendengar kisah yang lebih mendetail dari tetangga-tetangga sekitar. Pada suatu hari, desas-desus tentang penaburan bunga di rumah warga kembali mencuat. Kali ini, ceritanya berasal dari Pak Jaka.

"Saya melihat sendiri, Pak!" seru Pak Jaka sambil membuat gerakan yang hampir mencolok kedua mata dengan jarinya, seakan ingin menegaskan bahwa penglihatannya masih tajam dan betul-betul ia melihat dengan matanya sendiri. "Ada orang yang menaburkan bunga tujuh rupa di teras rumah saya! Mau saya kejar, tapi dia keburu lari jauh!"

Pak Udin, bapaknya Samsul, tampak semakin marah mendengar cerita itu. Wajahnya merah padam seolah-olah dialah yang menyaksikan peristiwa itu sendiri. "Sayang banget nggak ketangkep! Kalau ketangkep kan bisa langsung diarak warga," geramnya dengan nada penuh amarah, membayangkan betapa leganya jika pelaku itu tertangkap.

Meskipun cerita-cerita yang beredar semakin nyata dan intens, Samsul tetap meragukannya. Baginya, semua itu masih sulit untuk dipercaya sampai suatu malam, sebuah kejadian mengubah pandangannya.

Malam itu, Samsul terbangun dengan tenggorokan yang kering. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. Setelah memuaskan dahaganya, ia berniat kembali ke kamar. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melewati jendela yang langsung menghadap ke teras rumah. Sesuatu di luar menarik perhatiannya---sebuah bayangan samar sedang menaburkan sesuatu di teras rumahnya.

Jantung Samsul berdegup kencang, ia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tanpa berpikir panjang, ia berteriak memanggil orang tuanya. Teriakannya membangunkan seluruh rumah dan membuat sosok misterius di luar teras tergagap. Sosok itu segera lari terbirit-birit, tak sempat terlihat jelas oleh Samsul karena gelapnya malam.

"Tadi ada orang di teras, Pak!" Samsul berteriak dengan panik saat bapaknya tergesa-gesa keluar dari kamar. Pak Udin, yang segera meraih parang dari dapur, bergegas membuka pintu depan dengan penuh kemarahan. Namun, orang misterius itu sudah lari terlalu jauh, hanya meninggalkan jejak samar di dalam kegelapan.

"Setan!" umpat Pak Udin, merasa kecewa karena tak sempat menangkap pelaku. Parangnya masih tergenggam erat, siap membacok siapa pun yang mendekat. Setelah memastikan tak ada lagi yang mencurigakan, ia mengunci pintu depan dan memandang Samsul yang masih berdiri di sana, gemetar.

"Sudah, sana tidur lagi," perintah Pak Udin sambil berusaha menenangkan Samsul. Namun, Samsul tetap diam di tempatnya, wajahnya pucat dan penuh kecemasan.

"Pien? Wedi turu dewek? (Kenapa? Takut tidur sendiri?)" tanya Pak Udin, sedikit melembutkan suaranya. Samsul mengangguk perlahan, merasa malu tapi tak bisa menutupi ketakutannya.

Pak Udin menghela napas panjang, lalu dengan lengan kekarnya yang gempal, ia merangkul kepala Samsul dan menyeretnya perlahan ke kamar. Samsul merasa terjepit di antara tubuh besar bapaknya dan lengan yang keras, mencium bau ketiak yang membuatnya hampir muntah.

"Wong lanang kok wedi turu dewek. Ya wis, ayo! (Laki-laki kok takut tidur sendiri. Ya sudah, ayo!)" Pak Udin tertawa kecil, mengejek rasa takut Samsul. Meski begitu, ia menuntun anaknya ke kamar dan memastikan Samsul bisa tidur dengan tenang, walau rasa takut itu masih membayangi. Bahkan di ranjang, Samsul didekap erat yang justru membuatnya tak nyaman tidur. Samsul agak menyesal.

Pada suatu hari, di saat Samsul tengah sibuk membersihkan meja di warung nasi milik keluarganya, suasana sekeliling terasa begitu akrab dan hangat. Ibunya sedang asyik menumis buncis di dapur, sementara bapaknya tekun membetulkan kaki meja yang goyah. Di salah satu sudut warung, tiga orang penggosip desa yang sudah menjadi langganan, Pak Jaka, Pak Dani, dan Pak Tarpan, tengah menghabiskan makan siang mereka. Setelah piring-piring mereka kosong, obrolan yang tadinya ringan pun mulai mengarah ke topik yang lebih serius.

"Jarene uwong... (katanya orang...)" Pak Dani memulai dengan nada yang pelan namun penuh misteri, seperti sedang membuka pintu ke rahasia besar. Samsul, yang sudah terbiasa dengan obrolan mereka, hanya memutar bola matanya, seakan berkata, "Ah, mulai lagi deh."

"Katanya, menabur bunga tujuh rupa ke rumah-rumah warga itu adalah syarat awal untuk melakukan pesugihan pocong. Jadi, sekarang semua masuk akal, kan? Ada yang ngelihat pocong, terus rumah orang-orang juga ditaburi bunga tujuh rupa. Ya, itu syaratnya!" Pak Dani melanjutkan dengan nada semakin meyakinkan.

Pak Tarpan, yang duduk di sebelahnya, mengangguk dengan penuh keyakinan. "Oh pantesan, umah sing ditaburi kembang tujuh rupa iku, umah wong sing due duit (rumah yang ditaburi bunga tujuh rupa itu, rumah orang yang punya duit.)"

Samsul memperhatikan dari kejauhan sambil terus membersihkan meja. Pak Jaka dan Pak Dani juga tampak setuju dengan pernyataan Pak Tarpan, menganggukkan kepala seolah meneguhkan hipotesis baru yang mereka yakini.

"Nah, iya kan? Rumah Pak Jaka, rumah Pak Haji Somad, rumah Pak Udin semalam, kalian semua memang punya duit. Bisnis sampean juga lancar, kan Pak Jaka?" Pak Dani menegaskan teorinya dengan lebih bersemangat.

Pak Jaka yang tadinya hanya mendengarkan, kini tampak resah. "Wah, bisa gawat kalau di desa ini ada pesugihan," gumamnya pelan, namun penuh kekhawatiran.

Pak Udin, yang sedari tadi sibuk memegang beberapa paku di mulutnya sambil membetulkan meja, ikut berbicara meskipun suaranya agak teredam. "Sudah dari dulu kali, di desa ini memang banyak orang pesugihan, cuma ga ada bukti aja. Lagian gimana coba buat laporan ke polisi?"

Pak Jaka tampak semakin tegang, janggut putihnya bergoyang saat ia berbicara. "Ga perlu melapor, geruduk aja rumahnya kalau sudah ada bukti. Usir dia dari desa ini!"

Namun, Pak Udin tak begitu saja setuju. Ia menatap ketiga temannya dengan wajah serius. "Halah, yang sudah-sudah juga kita ga punya bukti. Alhasil mereka bebas pesugihan. Gimana caranya orang biasa kaya kita nyari bukti pesugihan?"

Perkataan Pak Udin membuat ketiga temannya terdiam dan merenung. Samsul yang dari tadi mendengarkan dengan seksama, ikut memikirkan pertanyaan itu. Benar juga, bagaimana cara menemukan bukti pesugihan?

Pak Dani tiba-tiba mendapatkan ide dan berseru dengan semangat. "Begini saja, bagaimana kalau kita bikin jadwal ronda lagi? Ajukan ke Pak Kades. Sudah berapa tahun desa kita ga bikin jadwal ronda lagi? Desa kita ga ada yang jaga!"

Namun, Pak Udin langsung menimpali dengan nada skeptis. "Tapi, kalau begitu, nanti si orang misterius itu tahu, terus dia berhenti menabur bunga. Kalau begitu, kita ga bisa tangkap basah dia."

Pak Dani terdiam, merenungkan ulang rencananya yang terlihat cemerlang tadi. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Pak Tarpan mengusulkan ide lain dengan antusias. "Begini saja, bagaimana kalau kita bisik-bisik saja ke tetangga?"

Pak Udin langsung memotongnya dengan sedikit keras. "Ya sama saja dong, goblok! Orang itu pasti bakal tahu juga. Mending kita berempat saja yang memergoki orang itu."

Pak Jaka yang tadinya ragu, kini tampak setuju dengan Pak Udin. "Betul juga, ga perlu rame-rame."

Namun tiba-tiba, Pak Udin mengangkat alisnya dan mengajukan pertanyaan yang membuat suasana mendadak tegang. "Tapi, bagaimana kalau orang itu salah satu di antara kita?"

Sejenak, mereka berempat terdiam, hening melingkupi mereka. Ketegangan makin terasa, dan Pak Dani tiba-tiba menggebrak meja dengan marah. "Ga mungkin!"

Pak Jaka, yang lebih tenang, menatap Pak Dani dengan tatapan serius. "Loh, benar kata bapaknya Samsul, bisa saja salah satu dari kita memang melakukan pesugihan!"

Pak Dani segera membantah. "Ya ga mungkin lah! Orang kita semua miskin. Pak Jaka sama Pak Udin punya duit pun cuma buat bertahan hidup, ga bisa foya-foya, kan?"

Suasana kembali hening setelah Pak Dani memperjelas ucapannya. Dalam hati, masing-masing dari mereka mulai berpikir, iya juga ya, itu masuk akal.

Pak Udin, yang tak ingin berlarut dalam keraguan, akhirnya berkata, "Akhhh, yang jelas, kita berempat saja yang coba memergoki orang itu. Kalau malam ini orang itu ga keluar, artinya salah satu dari kita yang melakukannya, atau salah satu dari kita bermulut ember dan membocorkan rencana ini."

Pak Jaka mengangguk mantap, setuju dengan rencana tersebut. "Saya setuju, dan saya bisa jaga rahasia kok!"

Pak Tarpan dengan cepat menambahkan, "Saya juga!"

Pak Dani pun menegaskan, "Apalagi saya!"

Mereka bertiga lalu menatap Samsul, yang dari tadi mendengarkan tanpa banyak bicara. Samsul hanya menghembuskan napas pelan dan menggelengkan kepalanya, memberi isyarat bahwa ia pun akan merahasiakan rencana mereka. Warung itu kembali sunyi, sementara di luar, malam mulai merambat, seolah bersiap menyambut aksi mereka yang penuh misteri.

Samsul merasa dirinya benar-benar bodoh mengikuti rencana bapak-bapak desa yang tampaknya lebih suka berpetualang dalam gelap daripada menikmati kenyamanan di rumah. Malam itu, mereka bersembunyi di dekat sebuah rumah yang diduga belum pernah ditaburi bunga oleh sosok misterius yang hingga kini belum juga terungkap identitasnya. Rencana ini adalah ide dari Pak Udin, bapaknya Samsul, yang beralasan bahwa daripada mereka harus bergerak mencurigakan dan justru membuat sang pelaku lari ketakutan, lebih baik mereka menunggu di rumah yang belum pernah ditaburi bunga oleh si pelaku.

Waktu terus berjalan. Detik berubah menjadi menit, dan menit seolah merangkak menjadi jam. Rasa kantuk mulai menyerang Samsul, matanya berulang kali terpejam sebentar lalu terbuka lagi. Para bapak lainnya juga tampak lelah, ditambah lagi dengan gigitan nyamuk yang tak henti-hentinya menyerang mereka. Suasana semakin tak nyaman, dan Samsul mulai merasa benar-benar tak betah. Akhirnya, dia memutuskan untuk pulang sendirian, meninggalkan bapaknya dan yang lainnya yang masih setia mengawasi dari balik semak-semak dan pekarangan penuh pohon pisang.

Samsul baru saja melangkah beberapa meter dari tempat persembunyian ketika Pak Dani mengeluh dengan suara pelan, "Lama-lama darahku ini habis digigit nyamuk."

Pak Jaka, yang selalu bisa menemukan humor di setiap situasi, nyaris tertawa ketika menanggapi, "Tinggal ngisi di rumah sakit, ga usah repot."

Namun, tawa Pak Jaka terhenti ketika Samsul tiba-tiba berhenti di jalannya. Dalam keremangan malam, di antara bayangan pepohonan, Samsul melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya merinding. Di depan salah satu rumah besar di desa, rumah Pak Haji Somad yang dikenal sebagai orang kaya, Samsul melihat sesosok pocong. Bukan pocong yang sekadar berdiri kaku seperti dalam cerita-cerita yang biasa ia dengar, tetapi pocong itu bersujud, bangkit, lalu bersujud lagi, mengulang gerakan itu berulang-ulang. Setiap kali bangkit, wajah pocong itu menyala merah menyala, seperti bara api yang sedang berkobar, dan kain kafan yang membungkusnya tampak lusuh dan kotor, seolah telah terkubur dalam tanah selama bertahun-tahun.

Samsul tak bisa bergerak. Tubuhnya kaku, dan pikirannya dipenuhi rasa takut. Namun, tiba-tiba dia teringat bahwa rumah Pak Haji Somad termasuk salah satu rumah yang sudah ditaburi bunga oleh sosok misterius itu. Hatinya semakin berdebar kencang. Tanpa berpikir panjang, dia segera berlari kembali ke tempat bapaknya dan yang lainnya bersembunyi.

"Anu Pak... itu... po... pocong! Di rumah Pak Haji Somad!" Samsul berteriak dengan napas terengah-engah, hampir tidak bisa berbicara dengan jelas karena panik dan ketakutan yang menyelimutinya.

Pak Udin, yang awalnya terkejut melihat anaknya kembali dengan begitu tergesa-gesa, segera memberi kode kepada yang lainnya untuk segera bergerak ke rumah Pak Haji Somad. Mereka bergegas menuju rumah itu, berusaha tidak membuat suara yang bisa mengundang perhatian. Namun, ketika mereka tiba di sana, tidak ada pocong yang terlihat. Halaman rumah itu kosong, sepi, seperti tidak pernah ada apapun di sana.

Samsul merasa bingung, ia yakin benar apa yang dilihatnya. Wajah merah menyala, kain kafan lusuh dan kotor, pocong yang bersujud berulang-ulang---semuanya terbayang jelas di pikirannya. Namun kini, semuanya lenyap, seolah hanya ilusi.

silahkan cek  part 2nya di wattpad: https://www.wattpad.com/1472642036-catatan-para-setan-anomali-pocong-part-2 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun