Pada suatu hari, di saat Samsul tengah sibuk membersihkan meja di warung nasi milik keluarganya, suasana sekeliling terasa begitu akrab dan hangat. Ibunya sedang asyik menumis buncis di dapur, sementara bapaknya tekun membetulkan kaki meja yang goyah. Di salah satu sudut warung, tiga orang penggosip desa yang sudah menjadi langganan, Pak Jaka, Pak Dani, dan Pak Tarpan, tengah menghabiskan makan siang mereka. Setelah piring-piring mereka kosong, obrolan yang tadinya ringan pun mulai mengarah ke topik yang lebih serius.
"Jarene uwong... (katanya orang...)" Pak Dani memulai dengan nada yang pelan namun penuh misteri, seperti sedang membuka pintu ke rahasia besar. Samsul, yang sudah terbiasa dengan obrolan mereka, hanya memutar bola matanya, seakan berkata, "Ah, mulai lagi deh."
"Katanya, menabur bunga tujuh rupa ke rumah-rumah warga itu adalah syarat awal untuk melakukan pesugihan pocong. Jadi, sekarang semua masuk akal, kan? Ada yang ngelihat pocong, terus rumah orang-orang juga ditaburi bunga tujuh rupa. Ya, itu syaratnya!" Pak Dani melanjutkan dengan nada semakin meyakinkan.
Pak Tarpan, yang duduk di sebelahnya, mengangguk dengan penuh keyakinan. "Oh pantesan, umah sing ditaburi kembang tujuh rupa iku, umah wong sing due duit (rumah yang ditaburi bunga tujuh rupa itu, rumah orang yang punya duit.)"
Samsul memperhatikan dari kejauhan sambil terus membersihkan meja. Pak Jaka dan Pak Dani juga tampak setuju dengan pernyataan Pak Tarpan, menganggukkan kepala seolah meneguhkan hipotesis baru yang mereka yakini.
"Nah, iya kan? Rumah Pak Jaka, rumah Pak Haji Somad, rumah Pak Udin semalam, kalian semua memang punya duit. Bisnis sampean juga lancar, kan Pak Jaka?" Pak Dani menegaskan teorinya dengan lebih bersemangat.
Pak Jaka yang tadinya hanya mendengarkan, kini tampak resah. "Wah, bisa gawat kalau di desa ini ada pesugihan," gumamnya pelan, namun penuh kekhawatiran.
Pak Udin, yang sedari tadi sibuk memegang beberapa paku di mulutnya sambil membetulkan meja, ikut berbicara meskipun suaranya agak teredam. "Sudah dari dulu kali, di desa ini memang banyak orang pesugihan, cuma ga ada bukti aja. Lagian gimana coba buat laporan ke polisi?"
Pak Jaka tampak semakin tegang, janggut putihnya bergoyang saat ia berbicara. "Ga perlu melapor, geruduk aja rumahnya kalau sudah ada bukti. Usir dia dari desa ini!"
Namun, Pak Udin tak begitu saja setuju. Ia menatap ketiga temannya dengan wajah serius. "Halah, yang sudah-sudah juga kita ga punya bukti. Alhasil mereka bebas pesugihan. Gimana caranya orang biasa kaya kita nyari bukti pesugihan?"
Perkataan Pak Udin membuat ketiga temannya terdiam dan merenung. Samsul yang dari tadi mendengarkan dengan seksama, ikut memikirkan pertanyaan itu. Benar juga, bagaimana cara menemukan bukti pesugihan?