"Saya melihat sendiri, Pak!" seru Pak Jaka sambil membuat gerakan yang hampir mencolok kedua mata dengan jarinya, seakan ingin menegaskan bahwa penglihatannya masih tajam dan betul-betul ia melihat dengan matanya sendiri. "Ada orang yang menaburkan bunga tujuh rupa di teras rumah saya! Mau saya kejar, tapi dia keburu lari jauh!"
Pak Udin, bapaknya Samsul, tampak semakin marah mendengar cerita itu. Wajahnya merah padam seolah-olah dialah yang menyaksikan peristiwa itu sendiri. "Sayang banget nggak ketangkep! Kalau ketangkep kan bisa langsung diarak warga," geramnya dengan nada penuh amarah, membayangkan betapa leganya jika pelaku itu tertangkap.
Meskipun cerita-cerita yang beredar semakin nyata dan intens, Samsul tetap meragukannya. Baginya, semua itu masih sulit untuk dipercaya sampai suatu malam, sebuah kejadian mengubah pandangannya.
Malam itu, Samsul terbangun dengan tenggorokan yang kering. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. Setelah memuaskan dahaganya, ia berniat kembali ke kamar. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melewati jendela yang langsung menghadap ke teras rumah. Sesuatu di luar menarik perhatiannya---sebuah bayangan samar sedang menaburkan sesuatu di teras rumahnya.
Jantung Samsul berdegup kencang, ia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tanpa berpikir panjang, ia berteriak memanggil orang tuanya. Teriakannya membangunkan seluruh rumah dan membuat sosok misterius di luar teras tergagap. Sosok itu segera lari terbirit-birit, tak sempat terlihat jelas oleh Samsul karena gelapnya malam.
"Tadi ada orang di teras, Pak!" Samsul berteriak dengan panik saat bapaknya tergesa-gesa keluar dari kamar. Pak Udin, yang segera meraih parang dari dapur, bergegas membuka pintu depan dengan penuh kemarahan. Namun, orang misterius itu sudah lari terlalu jauh, hanya meninggalkan jejak samar di dalam kegelapan.
"Setan!" umpat Pak Udin, merasa kecewa karena tak sempat menangkap pelaku. Parangnya masih tergenggam erat, siap membacok siapa pun yang mendekat. Setelah memastikan tak ada lagi yang mencurigakan, ia mengunci pintu depan dan memandang Samsul yang masih berdiri di sana, gemetar.
"Sudah, sana tidur lagi," perintah Pak Udin sambil berusaha menenangkan Samsul. Namun, Samsul tetap diam di tempatnya, wajahnya pucat dan penuh kecemasan.
"Pien? Wedi turu dewek? (Kenapa? Takut tidur sendiri?)" tanya Pak Udin, sedikit melembutkan suaranya. Samsul mengangguk perlahan, merasa malu tapi tak bisa menutupi ketakutannya.
Pak Udin menghela napas panjang, lalu dengan lengan kekarnya yang gempal, ia merangkul kepala Samsul dan menyeretnya perlahan ke kamar. Samsul merasa terjepit di antara tubuh besar bapaknya dan lengan yang keras, mencium bau ketiak yang membuatnya hampir muntah.
"Wong lanang kok wedi turu dewek. Ya wis, ayo! (Laki-laki kok takut tidur sendiri. Ya sudah, ayo!)" Pak Udin tertawa kecil, mengejek rasa takut Samsul. Meski begitu, ia menuntun anaknya ke kamar dan memastikan Samsul bisa tidur dengan tenang, walau rasa takut itu masih membayangi. Bahkan di ranjang, Samsul didekap erat yang justru membuatnya tak nyaman tidur. Samsul agak menyesal.