Mohon tunggu...
Andipati 2001
Andipati 2001 Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Suka nulis artikel random, cerpen dan puisi https://www.instagram.com/Andipati17/

Selanjutnya

Tutup

Horor

13 Agustus 2019

19 Agustus 2024   17:12 Diperbarui: 19 Agustus 2024   17:26 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.wattpad.com/1470544090-catatan-para-setan-13-8-2019

Pagi itu adalah ke tujuh kalinya Rehan menyiram air bunga yang sudah diberi doa tahlilan para tetangganya semalam. Ia membawa toples besar yang sudah kosong itu dan menyimpannya ke kantong kresek. Ada beberapa bunga basah yang masih membekas di dalamnya, potongan daun pandan juga beberapa tangkai melati yang masih tersisa bersama beberapa tetes air yang menggenang di sudut toples. Rehan menatap kelima makam yang masih segar itu, bahkan bongkahan tanahnya masih belum terbiasa tersiram cahaya matahari.

Di situlah terbaring adiknya, kakaknya, ibunya, ayahnya, dan pamannya. Berjejer. Mereka mengalami kecelakaan lalu lintas sepulang dari menjenguk Rehan di bumi perkemahan seminggu lalu. Mata rehan yang masih merah nan sembab itu sudah berkali-kali menangis. Tapi, mungkin matanya pun sudah lelah menangis, dadanya pun sudah letih naik turun, air matanya pun mungkin sudah habis, di hari ketujuh kematian keluarganya, Rehan hanya terdiam beberapa saat sembari bertatapan kosong.

Sepulang dari makam, Rehan masih melihat di rumahnya ada beberapa orang yang mengambil peralatan masak mereka masing-masing yang dipinjamkan ke Rehan untuk mengadakan tahlilan selama tujuh hari. Ada yang meminjamkan panci, dandang besar, kompor besar, pisau dan sebagainya yang kini mulai diangkut kembali oleh pemiliknya masing-masing.

"Kamu yang tegar ya Rehan, yang sabar, kalo perlu apa-apa tinggal ke rumah saja, ya?" kata seorang ibu paruh baya, istri Pak RT. Dia yang paling terakhir mengambil barangnya di rumah Rehan. Rehan hanya tersenyum mengangguk.

"Eh itu masih ada yang kotor, biar aku bersihkan saja, Bu RT!" Rehan melihat noda hitam di kuali besar milik Bu RT. Tidak enak jika kuali itu kurang bersih, padahal tadi pagi-pagi sekali ia sudah pastikan semuanya bersih. Masih saja ada yang kelewat.

"Eh? Bukan, ini tanda kalo wajan ini milik saya. Kan repot kalo ga ditandain?" Bu RT tertawa tipis. Yang Rehan lihat itu bukan tanda biasa, noda itu bergambar tiga buah batang tombak dengan ujung tombaknya masing-masing menembus tengkorak. Tanda yang aneh, Rehan pikir.

"Oh iya, tadi ada paket, udah ditaruh di ruang tamu, katanya buat paman kamu." Kata Bu RT, lalu pergi dengan peralatan masaknya.

Paket? Rehan tidak tahu jika akan datang paket ke rumahnya. Terlebih itu untuk pamannya yang baru saja meninggal. Rehan lalu kembali mengangguk dan memasuki rumahnya yang lenggang, hanya dia sendiri di rumah itu. Rasanya aneh bagi Rehan, rumah ini selalu ramai oleh kebisingan adiknya yang berlarian, kakaknya yang selalu bersenandung sembari menyisir rambut, pamannya yang sibuk dengan perkakas kayu di halaman belakang, ibunya yang memasak dan ayahnya yang sibuk teleponan dengan bos dan klien. Saat ini, rasanya begitu sunyi nan kosong.

Paket yang dimaksud adalah sebuah persegi yang tipis berukuran A1, mungkin sebuah bingkai? Paket itu terbungkus koran lama. Rehan melihat sudut koran itu bertanggal 13/8/2019, di sudutnya ada busa dan tali yang mengikat dari sisi ke sisi. Rehan menyobek koran demi koran dan berusaha mengeluarkan isinya. Sebuah lukisan dengan cat akrilik bergambarkan wanita berkulit pucat, berbaju merah kusam dan berbibir hitam, matanya merah dan bibirnya berekspresi datar, satu matanya tertutup rambut keriting yang panjang dengan background lukisan cenderung cokelat kusam dan dibuat dengan goresan seadanya. Lukisan itu terlihat sangat kusam, meski Rehan pikir itu adalah lukisan yang baru, namun terlihat kusam.

Rehan tidak tahu harus diapakan lukisan ini. Ia sandarkan saja di ruang tengah untuk sementara waktu, tapi saat ita berniat memindahkan lukisan itu dari ruang tamu ke ruang tengah Rehan melihat tulisan 13/8/2019 menggunakan spidol hitam di belakang kanvas lukisan itu. Rehan mengerutkan dahinya. Tidak asing dengan tanggal itu. Apa itu tanggal pemesanan lukisan ini? Tapi kenapa bisa sama dengan tanggal kematian lima anggota keluarganya? Rehan hanya menggeleng pelan dan tidak memikirkan kebetulan itu. Setelah ia pikir-pikir, lebih baik menaruh lukisan ini ke kamar pamannya bersama barang-barang artistik lainnya.

Pamannya itu memang tukang patung kayu, kamarnya digunakan sebagai penyimpanan beberapa karyanya. Pamannya itu suka membentuk patung dengan menggabungkan dua unsur menjadi satu. Seperti patung kuda bertubuh manusia, manusia bertangan kepiting, singa berkepala burung dan sebagainya. Rehan pun tidak mengerti di mana letak estetikanya.

Setelah meletakan lukisan yang Rehan juga tidak paham dimana letak keindahannya itu, Rehan hendak keluar dari kamar pamannya dan berniat untuk membereskan dapur. Saat ini dia tinggal sendirian, jadi segalanya harus ia lakukan sendiri. Tidak bisa lagi bagi-bagi tugas dengan kakak dan adiknya seperti dulu.

Saat membereskan dapur, keheningan kembali merambat di dinding rumahnya, mengisi tiap sudut rumahnya yang cukup besar. Rehan hampir saja menangis jika dia tidak segera mengalihkan perhatiannya. Kenapa dia jadi sering melamun dan memikirkan keluarganya? Apa dia belum rela mereka semua pergi? Jelas! Rehan pun jika ditanya, jelas tidak akan rela. Tapi, mereka sudah pergi. Mau tidak mau harus diterima.

Saat Rehan akan mengelap tempat kompor yang terbuat dari beton dan keramik yang masih agak kotor karena kemarin digunakan untuk memasak bumbu untuk tujuh harian keluarganya, Rehan melihat tulisan setelah ia mengelapnya dengan bersih. Rehan menelan ludah, terdapat tulisan 13/8/2019 mungkin lebih tepatnya ukiran. Ukiran di keramik tempat kompor di dapurnya, sejak kapan ukiran ini ada? Rehan tidak mengingatnya. Jika ukiran ini dibuat menandakan pembuatan tempat kompor, jelas tidak mungkin karena tempat kompor ini usianya sama dengan adiknya yang baru tujuh tahun itu. Sementara 13/8/2019 adalah baru tujuh hari kemarin, tepat keluarganya terlibat kecelakaan lalu lintas dan meninggal di tempat.

Rehan tertegun, perasaan takut dan bingung mulai menjalari tubuhnya. Ia memandangi ukiran itu dengan lebih seksama, berusaha mencari penjelasan rasional. "Mungkin ini hanya kebetulan," pikirnya. Tapi, kenapa tanggal yang sama terus muncul? Ia mencoba mengalihkan pikirannya, namun pikirannya terus kembali ke ukiran, tulisan dan lukisan yang ditemukannya tadi.

Keesokan paginya, Rehan membersihkan kamar ibu dan ayahnya, kemarin sudah datang Pak RT untuk meminta barang-barang yang sudah tidak terpakai agar bisa disumbangkan untuk warga lain yang lebih membutuhkan. Tidak perlu merasa tidak etis dengan tindakan Pak RT, warga di sini sudah mengerti. Daripada barang-barang seperti pakaian dan lainnya menganggur dan berdebu, lebih baik diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan. Rehan pun paham dan berniat menyisakan barang keluarganya untuk ia simpan, dan selebihnya akan ia sumbangkan melalui Pak RT.

Setelah membereskan kamar orangtuanya, ia sudah mengepakkan pakaian orangtuanya yang hendak disumbangkan. Dan tak lama kemudian Pak RT datang. "Kemarin katanya ada polisi ya Mas Rehan?" kata Pak RT, Rehan mengangguk, itu adalah polisi yang mengurus kecelakaan keluarganya.

"Katanya suruh mengurus ini itu Pak," jawab Rehan dengan ramah.

"Orang kecelakaan pun masih diberi repot ya Mas Rehan? Ya seenggaknya bantu meringankan keluarga yang ditinggalkan gitu lho, kok malah disuruh mengurus ini itu," Rehan hanya tersenyum sebagai jawaban dari Pak RT yang mengomel sembari ikut membantu Rehan menggotong dua kardus besar.

"Lho? Pak RT punya tato ya?" Rehan baru menyadarinya.

"Eh, iya Mas, biarlah Mas, pengen ikutan kaya anak muda," wajah Pak RT memerah dan tertawa canggung. Mungkin malu karena tatonya dilihat anak muda. Sesaat Rehan melihat tato itu bergambar tiga buah batang tombak dengan ujung tombaknya masing-masing menembus tengkorak. Tato itu terletak di sekitar pergelangan tangan Pak RT.

Rehan menghembuskan napas berat, ia resah sekali. Kemarin saat polisi datang, tidak hanya meminta Rehan untuk mengurus sesuatu mengenai mobil keluarganya yang sudah tidak berbentuk itu. Tapi, ada hal lain yang disampaikan oleh polisi yang membuatnya resah.

"Apa Mas Rehan sering mendengar pertengkaran di keluarga Mas Rehan?" Rehan mengerutkan dahinya, pertengkaran adalah kata yang asing di keluarganya. Keluarga mereka selalu membagi keceriaan dan kebahagiaan. Mereka mencoba saling mengerti dan sangat dekat satu sama lain. Rehan tersentak, kecuali pamannya dengan kakak dan adiknya. Mereka tidak terlalu dekat.

"Memangnya kenapa, Pak? Keluarga kami baik-baik saja, bahkan sebelum saya pergi berkemah, kami mengadakan pesta BBQ kecil-kecilan, dan bahkan pemanggannya pun masih belum dibersihkan," Rehan bertanya-tanya apa sebabnya polisi bertanya demikian? Apa kerja polisi sekarang adalah mencampuri urusan orang lain?

"Maaf Mas Rehan, kami menemukan tikaman di beberapa tubuh korban. Semua korban mendapatkan luka tikaman di bagian leher dan perut. Kami baru menyampaikannya dikarenakan kami tidak ingin mengganggu Mas Rehan yang tengah berduka," Rehan tertunduk, hampir menangis, pantas saja saat itu Pak RT melarangnya untuk melihat jenazah keluarganya. Yang Rehan tahu, mereka sudah terbungkus kain kafan dengan rapi. Rehan juga tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi mereka.

"Begini Mas Rehan, bukan maksud kami membuat Mas Rehan kembali berduka," polisi yang satunya merasa tidak enak begitu melihat Rehan yang hampir menangis, namun Rehan menggeleng pelan. "Mas Rehan, kecelakaan yang keluarga Mas Rehan alami bukan berakibat dari kelalaian pengendara, malfungsinya mobil, ataupun kelalaian dari truk yang menabraknya, melainkan akibat luka tusuk yang dialami pengendara dan semua penumpang di mobil itu. Pengendara mengalami luka tusuk, tewas ditempat, sehingga menyebabkan kecelakaan."

"Dengan bertanya begitu, maksud Bapak keluarga saya saling tikam di mobil?" Rehan tidak mengerti, itu adalah kalimat paling aneh yang ia ucapkan. Keluarganya? Yang harmonis itu, saling tikam?

"Ini yang membuat kami pusing, Mas Rehan. Dalam mobil itu, kami tidak menemukan pisau. Di tempat kecelakaan, di bagian tubuh korban, di mobil yang sudah tak berbentuk karena tertabrak truk di jalan tol, di sungai dekat jalan tol, semua sudah kami periksa dan tidak menemukan pisau apapun atau benda tajam apapun yang bisa digunakan untuk menikam sesorang," Rehan terbelalak, apa maksudnya itu? Polisi itu mendekat ke arah Rehan, berbisik begitu samar, "apa Mas Rehan tidak berpikir jika mereka disantet?" Rehan semakin bingung, polisi mana yang mengurus santet?

selengkapnya bisa cek di wattpad: https://www.wattpad.com/1470544090-catatan-para-setan-13-8-2019 

https://www.wattpad.com/1470544090-catatan-para-setan-13-8-2019
https://www.wattpad.com/1470544090-catatan-para-setan-13-8-2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun