Mohon tunggu...
Andini.
Andini. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Human.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengalaman Membaca Novel Gajah Mada - Langit Kresna Hariadi

19 Maret 2023   10:54 Diperbarui: 19 Maret 2023   15:08 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 [Pengalaman Membaca Novel Gajah Mada-Langit Kresna Hariadi].

            Membaca bagi saya merupakan sebuah pencapaian yang patut untuk diapresiasi untuk diri sendiri. Pasalnya, membaca bukan perkara yang mudah sama halnya dengan menulis atau membuat cerita. Membaca dibutuhkan waktu yang tidak sebentar serta kondisi batin yang prima, kalau sedang tidak mood membaca tentu saja tidak akan mendapatkan apa-apa dari buku yang dibaca.

            Oleh sebab itu, mampu menyelesaikan membaca sebuah novel atau buku apalagi yang memiliki ketebalan hingga mencapai 600 halaman lebih, merupakan sesuatu yang pantas untuk saya banggakan.

Perjalanan sejarah berlangsung dengan sangat panjang dan tidak tahu di mana ujungnya. Pun membicarakan tentang sejarah tidak akan pernah ada habisnya, sejarah berjalan tanpa dilahap oleh waktu, sejarah akan terus tercetak selama dunia masih menjalankan perannya dan sejarah mungkin akan berakhir ketika dunia tidak lagi menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

            Langit Kresna Hariadi (LKH) merupakan bungsu dari sebuah keluarga besar dan satu-satunya anggota keluarga yang memilih menjadi seorang penulis.  Lahir di Banyuwangi 1959. Baginya menulis bagaikan memetik senar gitar, banyak karya-karya yang sudah ditulis dan diterbitkan. Salah satunya adalah novel Gajah Mada Makar Dharmaputra. Novel ini merupakan seri pertama dari rangkaian novel Gajah Mada yang terdapat lima buku-yaitu Takhta dan Angkara, Hamukti Palapa, Perang Bubat, dan Hamukti Moksa.

            Dari sekian banyak novel fiksi sejarah yang menceritakan sosok Gajah Mada, saya langsung tertarik untuk membaca seri yang ditulis oleh Langit Kresna Hariadi. Memiliki jumlah 582 halaman dan pertama kali diterbitkan pada 2004 lalu. Covernya yang menggelitik mata, sehingga memutuskan untuk membaca sampai tuntas.

            Sebenarnya novel Gajah Mada Makar Dharmaputra ini menceritakan tentang apa, sih? Apakah awal mula berdirinya kerajaan bernama Majapahit atau menceritakan tentang sepak terjang Gajah Mada?

            Jika diberi pertanyaan seperti itu, maka saya akan menjawab, bahwa novel ini bukan menceritakan tentang berdirinya Majapahit kendati pada beberapa bagian diterangkan secara singkat bagaimana Majapahit terbentuk, tetapi bukan perihal tersebut pokok permasalahannya di sini.

          Gajah Mada Makar Dharmaputra merupakan novel yang menceritakan tentang pemberontakan para Dharmaputra Winehsuka yang dipimpin oleh Rakrian Kuti atau Ra Kuti sepeninggalnya Raden Wijaya---Raja pertama Majapahit. Pemberontakan tersebut terjadi ketika Majapahit dipimpin oleh Jayanegara yang merupakan keturunan Raden Wijaya dari seorang selir bernama Dara Petak. Saat fajar masih membeku, Ra Kuti dan pasukkannya memonopoli politik sehingga tembang duka pun terdengar di seluruh wilayah Majapahit. Serta perjuangan pasukan bhayangkara yang saat itu di bawah kepimpinan Gajah Mada berusaha menyelamatkan Jayanegara sampai ke sebuah desa di utara pegunungan kapur yang disebut sebagai desa Bedander.

Gajah Mada Makar Dharmaputra diawali dengan kabut tebal yang menyelimuti wilayah Kotaraja---Ibu kota Majapahit yang saat itu masih berada di tarik. Para sesepuh atau penduduk menduga-duga kabut tebal tersebut merupakan pertanda buruk di mana akan terjadi peristiwa tidak baik. Hal tersebut mereka yakini lantaran kabut tebal dan suara gagak yang saling sahut menyahut pernah terjadi ketika Ken Angkrok---Raja pertama kerajaan Tumapel mangkat di tangan seorang abdi dalem dari desa Batil. Fenomena kabut tebal seperti itu sering muncul dan setelahnya dibarengi oleh peristiwa mengerikan yang tidak terduga.

Gajah Mada yang saat itu masih berpangkat sebagai seorang bekel mendapat peringatan dari sosok lelaki tinggi dan tampan, yang mengaku bernama Menjer Kawuryan---sosok misterius ini yang memberi tahu Gajah Mada, bahwa akan pasukan segelar sasapan yang siap menggilas istana. Rencana pemberontakan Ra Kuti mulai terendus sejak Gajah Mada bertemu dengan sosok misterius tersebut.

Hal tersebut yang membuat Gajah Mada bergegas menyelamatkan para ratu dan putri kedaton ke tempat yang aman, meskipun beberapa dari mereka tidak serta merta memercayai ucapan Gajah Mada. Ini yang membuat saya agak emosi kalau bertemu dengan orang yang ngeyel.

Sepanjang membaca novel ini pun, saya terheran-heran dan bertanya-tanya siapa sebenarnya Menjer Kawuryan ini, karena dia muncul secara tiba-tiba, tetapi siapa sangka sosok misterius ini yang pada akhirnya menjadi tokoh favorit saya di  novel Gajah Mada seri pertama ini. Menjer Kawuryan memang jarang muncul, tetapi di pertengahan cerita saya langsung bisa menebak siapa dia dan sangat tidak menyangka setelah mengetahui kenyataannya.

Penulis memaparkan dengan epik, dialog dan narasi yang tersaji seakan hidup sehingga saya bisa turut membayangkan suasana yang terjadi di dalam cerita. Meskipun masih ada kekurangannya seperti penulisan istilah-istilah Jawa yang tidak tersaji secara lengkap, sehingga ketika mendapati kata yang tidak saya mengerti mau tidak mau mencari tahu sendiri. Sedihnya, acapkali arti dari kata tersebut tidak ditemukan melalui pencarian di Google.

Novel ini memiliki alur yang ringan, tidak seperti fiksi sejarah yang pernah saya baca yang harus berpikir keras menerka-nerka bagaimana alurnya. Saya malah beranggapan, bahwa pemberontakan Ra Kuti ini sebenarnya bukan atas kemauan Ra Kuti sendiri, tetapi dia hanya dijadikan sebagai boneka oleh seseorang. Apalagi tidak dijelaskan secara gamblang mengapa sosok Menjer Kawuryan ini mau memberi tahu Gajah Mada mengenai tindakan makar tersebut.

Ketika membaca novel ini pun, ada satu tokoh yang tidak saya suka-yaitu Jayanegara. Ya, kenapa saya tidak suka dengan raja kedua Majapahit ini? Saya membayangkan seorang raja yang pada saat ini adalah pemimpin sebuah negara seharusnya memiliki sikap tegas, berwibawa, dan mampu membuat keputusan dalam keadaan mendesak sekalipun. Entah memang seperti itu atau tidak karakter Jayanegara karena ini hanya karangan fiksi, tetapi penulis berhasil mengubek-ubek batin saya untuk tidak menyukai tokoh Jayanegara.

Dalam novel ini Jayanegara digambarkan sebagai sosok pemimpin yang tidak cekatan, tidak cakap dalam mengambil keputusan atau melakukan sebuah tindakan, plin-plan, dan lebih banyak mengeluh dengan dalih dia adalah seorang raja. Jayanegara malah menggambarkan, bahwa seorang raja harus selalu diagung-agungkan dan ditandu apa pun keadaannya. Menurut saya Jayanegara tidak bisa membaca situasi dan penulis berhasil membuat saya merasa sangat jengkel dengan lakon raja kedua Majapahit ini. Tidak memiliki sifat bijak sebagai sosok raja.

Untung saja peran Gajah Mada dan pasukan bhayangkara mampu menghapus rasa jengkel saya dengan tokoh Jayanegara. Saya amat terharu ketika membaca bagian di mana Gajah Mada memperlakukan Jayanegara seperti bukan seorang raja, tetapi tetap mengedepankan etika bahwa Jayanegara ini adalah seorang raja. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasa takut yang menggebu-gebu menyelimuti Gajah Mada dan para anak buahnya kala itu, saat ingin menyelamatkan Jayanegara dari pasukan Ra Kuti.

Gajah Mada memang tokoh yang selalu diagung-agungkan oleh siapa pun, dan saya mengakui itu. Melalui novel ini saya menyatakan layak Gajah Mada menjadi tokoh sejarah yang patut mendapat apresiasi luar biasa. Gajah Mada digambarkan sebagai sosok yang cerdas, cekatan, dan sopan santun padahal kala itu dia hanya seorang prajurit berpangkat bekel. Tak heran kalau Gajah Mada diberi wewenang untuk membentuk pasukan prajurit sendiri yang kita kenal sebagai pasukan bhayangkara.

Novel Gajah Mada ini memberikan banyak pelajaran bagi saya, meskipun saya sendiri tidak pernah tahu peristiwa yang pernah terjadi benar seperti itu atau tidak, bahkan masih menjadi perdebatan sengit para sejarawan dalam menguak sejarah Nusantara. Banyak plot twist yang terjadi di sini. Seperti salah satunya adalah ada sosok pengkhianat pada pasukan bhayangkara-pengkhianat yang menjadi tangan kanan Ra Kuti, sehingga ke mana pun Gajah Mada membawa pergi Jayanegara keberadaannya selalu terendus oleh para Rakrian Winehsuka. Sosok pengkhianat ini yang membuat saya terus bertanya-tanya siapa pengkhianat itu? Ternyata si pengkhianat adalah dia yang memiliki banyak topeng serta dia yang paling lantang bersuara ketika Jayanegara dalam keadaan bahaya.

Banyak belajar dari novel ini, meskipun ada kesalahan sangat fatal yang ditulis oleh penulis pada bagian ini, yaitu salah satunya adalah keterangan tempat persembunyian Jayanegara bukan ditulis di Bedander, melainkan Kudadu-sebuah desa yang ada di ujung utara Kotaraja, serta Panji Anabrang yang seharusnya sudah tewas pada saat pemberontakan di Tuban, tetapi pada novel ini dijelaskan Panji Anabrang sedang berada di Bali. Kekurangan dari novel ini adalah ada banyak narasi yang diulang-ulang, mungkin saya sampai bosan membacanya dan pernah berpikir untuk berhenti tidak melanjutkan membaca novel ini. Salah satu contohnya adalah penjelasan tentang sosok Kalagemet atau Jayanegara.

Namun, saya maklum penulis hanya manusia biasa, manusia tempatnya membuat kesalahan. Kurang nyaman pada narasi dan penjelasan yang terus diulang-ulang tidak membuat saya lantas memutuskan berhenti membaca di tengah jalan. Saya merekomendasikan kepada sahabat kompasiana untuk membaca novel ini, selain bisa dijadikan sebagai sarana belajar sejarah, bisa juga menjadi detektif dadakan untuk mencari tahu sejarah yang sebenarnya terjadi itu seperti apa.

Ending dari novel Gajah Mada ini cukup menggantung menurut saya, tetapi dari ending inilah saya jadi memiliki gambaran siapa sebenarnya sosok Bagaskara Menjer Kawuryan.

"Keparat!" teriak Bekel Gajah Mada.

            Ra Tanca yang siap mati telah mempersiapkan diri menyongsongnya. Sepenuh hati Ra Tanca memejamkan mata menunggu saat-saat nyawa oncat dari raganya. Ra Tanca memejamkan mata untuk menikmati rasa sakit yang menyergapnya, sisa tenaga yang ada digunakan untuk berbisik, "Bagaskara Menjer Kawuryan." -- hlm 576.

            Salah satu pesan moral dari novel ini adalah-Jangan mudah membuat keputusan saat sedang dalam keadaan marah, kalau tidak mau bernasib seperti Gagak Bongol. Jangan mudah terprovokasi oleh sekelompok orang dengan iming-iming yang menggiurkan, kalau tidak mau bernasib seperti Singa Parenpen. Jangan suka mengadu domba kalau tidak mau berakhir seperti Ra Kuti. Intinya teruslah merasa haus untuk belajar sejarah karena keberlangsungan negeri ini ada di tangan kita, generasi penerus bangsa yang harus terus melestarikan budaya dan peninggalan para leluhur. Dengan membaca, melihat, atau mendengarkan hal-hal tentang sejarah salah satu cara bagaimana kita melestarikan budaya peninggalan para leluhur di masa lalu.

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun