Hal tersebut yang membuat Gajah Mada bergegas menyelamatkan para ratu dan putri kedaton ke tempat yang aman, meskipun beberapa dari mereka tidak serta merta memercayai ucapan Gajah Mada. Ini yang membuat saya agak emosi kalau bertemu dengan orang yang ngeyel.
Sepanjang membaca novel ini pun, saya terheran-heran dan bertanya-tanya siapa sebenarnya Menjer Kawuryan ini, karena dia muncul secara tiba-tiba, tetapi siapa sangka sosok misterius ini yang pada akhirnya menjadi tokoh favorit saya di novel Gajah Mada seri pertama ini. Menjer Kawuryan memang jarang muncul, tetapi di pertengahan cerita saya langsung bisa menebak siapa dia dan sangat tidak menyangka setelah mengetahui kenyataannya.
Penulis memaparkan dengan epik, dialog dan narasi yang tersaji seakan hidup sehingga saya bisa turut membayangkan suasana yang terjadi di dalam cerita. Meskipun masih ada kekurangannya seperti penulisan istilah-istilah Jawa yang tidak tersaji secara lengkap, sehingga ketika mendapati kata yang tidak saya mengerti mau tidak mau mencari tahu sendiri. Sedihnya, acapkali arti dari kata tersebut tidak ditemukan melalui pencarian di Google.
Novel ini memiliki alur yang ringan, tidak seperti fiksi sejarah yang pernah saya baca yang harus berpikir keras menerka-nerka bagaimana alurnya. Saya malah beranggapan, bahwa pemberontakan Ra Kuti ini sebenarnya bukan atas kemauan Ra Kuti sendiri, tetapi dia hanya dijadikan sebagai boneka oleh seseorang. Apalagi tidak dijelaskan secara gamblang mengapa sosok Menjer Kawuryan ini mau memberi tahu Gajah Mada mengenai tindakan makar tersebut.
Ketika membaca novel ini pun, ada satu tokoh yang tidak saya suka-yaitu Jayanegara. Ya, kenapa saya tidak suka dengan raja kedua Majapahit ini? Saya membayangkan seorang raja yang pada saat ini adalah pemimpin sebuah negara seharusnya memiliki sikap tegas, berwibawa, dan mampu membuat keputusan dalam keadaan mendesak sekalipun. Entah memang seperti itu atau tidak karakter Jayanegara karena ini hanya karangan fiksi, tetapi penulis berhasil mengubek-ubek batin saya untuk tidak menyukai tokoh Jayanegara.
Dalam novel ini Jayanegara digambarkan sebagai sosok pemimpin yang tidak cekatan, tidak cakap dalam mengambil keputusan atau melakukan sebuah tindakan, plin-plan, dan lebih banyak mengeluh dengan dalih dia adalah seorang raja. Jayanegara malah menggambarkan, bahwa seorang raja harus selalu diagung-agungkan dan ditandu apa pun keadaannya. Menurut saya Jayanegara tidak bisa membaca situasi dan penulis berhasil membuat saya merasa sangat jengkel dengan lakon raja kedua Majapahit ini. Tidak memiliki sifat bijak sebagai sosok raja.
Untung saja peran Gajah Mada dan pasukan bhayangkara mampu menghapus rasa jengkel saya dengan tokoh Jayanegara. Saya amat terharu ketika membaca bagian di mana Gajah Mada memperlakukan Jayanegara seperti bukan seorang raja, tetapi tetap mengedepankan etika bahwa Jayanegara ini adalah seorang raja. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasa takut yang menggebu-gebu menyelimuti Gajah Mada dan para anak buahnya kala itu, saat ingin menyelamatkan Jayanegara dari pasukan Ra Kuti.
Gajah Mada memang tokoh yang selalu diagung-agungkan oleh siapa pun, dan saya mengakui itu. Melalui novel ini saya menyatakan layak Gajah Mada menjadi tokoh sejarah yang patut mendapat apresiasi luar biasa. Gajah Mada digambarkan sebagai sosok yang cerdas, cekatan, dan sopan santun padahal kala itu dia hanya seorang prajurit berpangkat bekel. Tak heran kalau Gajah Mada diberi wewenang untuk membentuk pasukan prajurit sendiri yang kita kenal sebagai pasukan bhayangkara.
Novel Gajah Mada ini memberikan banyak pelajaran bagi saya, meskipun saya sendiri tidak pernah tahu peristiwa yang pernah terjadi benar seperti itu atau tidak, bahkan masih menjadi perdebatan sengit para sejarawan dalam menguak sejarah Nusantara. Banyak plot twist yang terjadi di sini. Seperti salah satunya adalah ada sosok pengkhianat pada pasukan bhayangkara-pengkhianat yang menjadi tangan kanan Ra Kuti, sehingga ke mana pun Gajah Mada membawa pergi Jayanegara keberadaannya selalu terendus oleh para Rakrian Winehsuka. Sosok pengkhianat ini yang membuat saya terus bertanya-tanya siapa pengkhianat itu? Ternyata si pengkhianat adalah dia yang memiliki banyak topeng serta dia yang paling lantang bersuara ketika Jayanegara dalam keadaan bahaya.
Banyak belajar dari novel ini, meskipun ada kesalahan sangat fatal yang ditulis oleh penulis pada bagian ini, yaitu salah satunya adalah keterangan tempat persembunyian Jayanegara bukan ditulis di Bedander, melainkan Kudadu-sebuah desa yang ada di ujung utara Kotaraja, serta Panji Anabrang yang seharusnya sudah tewas pada saat pemberontakan di Tuban, tetapi pada novel ini dijelaskan Panji Anabrang sedang berada di Bali. Kekurangan dari novel ini adalah ada banyak narasi yang diulang-ulang, mungkin saya sampai bosan membacanya dan pernah berpikir untuk berhenti tidak melanjutkan membaca novel ini. Salah satu contohnya adalah penjelasan tentang sosok Kalagemet atau Jayanegara.
Namun, saya maklum penulis hanya manusia biasa, manusia tempatnya membuat kesalahan. Kurang nyaman pada narasi dan penjelasan yang terus diulang-ulang tidak membuat saya lantas memutuskan berhenti membaca di tengah jalan. Saya merekomendasikan kepada sahabat kompasiana untuk membaca novel ini, selain bisa dijadikan sebagai sarana belajar sejarah, bisa juga menjadi detektif dadakan untuk mencari tahu sejarah yang sebenarnya terjadi itu seperti apa.