Mohon tunggu...
Andini Safitri
Andini Safitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syari'ah dan Hukum, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Konflik Nilai antara Hukum Adat dan Hukum Islam dalam Masyarakat Pluralis

17 Desember 2024   01:05 Diperbarui: 17 Desember 2024   01:05 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia dengan keberagaman budaya dan agama yang kaya, merupakan rumah bagi beragam sistem hukum. Di satu sisi, kita mengenal hukum adat yang telah mengakar kuat dalam masyarakat sejak zaman nenek moyang. Di sisi lain, hukum Islam juga memiliki pengaruh yang signifikan, terutama di kalangan masyarakat Muslim. Pertemuan antara kedua sistem hukum ini seringkali memunculkan dinamika yang menarik, termasuk konflik nilai.

Konflik nilai antara hukum adat dan Islam bukanlah hal yang baru di Indonesia. Perbedaan dari nilai-nilai dasar, pandangan tentang kehidupan, dan cara menyelesaikan masalah seringkali menjadi sumber perselisihan. Misalnya, dalam hal hukum waris, hukum adat mungkin lebih menekankan pada garis keturunan matrilineal atau patrilinear, sementara hukum Islam memiliki aturan yang lebih baku. Perbedaan ini dapat memicu konflik, terutama dalam keluarga yang menganut kedua sistem hukum tersebut.

Masyarakat pluralis seperti Indonesia, dengan beragam suku, agama, dan budaya, menjadi arena yang subur bagi munculnya konflik nilai. Di satau sisi, masyarakat menghargai keberagaman dan kebebasan beragama. Di sisi lain, adanya perbedaan dalam nilai-nilai dapat memicu perpecahan dan konflik. Konflik nilai antara hukum adat dan hukum Islam seringkali salah satu pemicu terjadinya konflik sosial.

Dalam negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan, konflik nilai antara hukum adat dan hukum Islam menjadi tantangan yang serius. Di satu sisi, negara perlu mengakui dan menghormati keberadaan hukum adat sebagai bagian dari warisan budaya bangsa. Di sisi lain, negara juga memiliki kewajiban untuk menjaga ketertiban dan keadilan bagi seluruh warga negara, termasuk mereka yang menganut hukum Islam.

Konsep Hukum Islam dan Hukum Adat

Kajian mengenai hubungan antara hukum Islam dan hukum adat menjadi topik yang menarik dalam studi hukum, terutama karena keduanya sering berinteraksi dalam mengatur perilaku masyarakat. Dalam banyak kasus, terdapat irisan antara keduanya, bahkan tidak jarang terjadi kolaborasi dalam penerapannya. Namun, tanpa pemahaman yang mendalam, potensi konflik atau kontraproduktivitas dapat muncul, sehingga menciptakan kebingungan di kalangan masyarakat dalam memilih untuk mngikuti hukum Islam atau hukum adat. Oleh karena itu, penting untuk memahami kedua sistem hukum ini secara menyeluruh agar harmoni antara keduanya tercapai.

Dalam literatur hukum Islam, sejak masa lalu telah dikenal kajian mengenai 'urf atau al-'adah. Kajian ini membahas tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat, di mana tradisi yang dianggap baik akan dikategorikan sebagai 'urf. Jika tradisi tersebut dinilai sesuai dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam, maka tradisi tersebut dapat diakui dan diangkat statusnya menjadi bagian dari hukum Islam.[1]

Hukum Islam dan hukum adat merupakan bagian dari sistem hukum yang berlaku di Indonesia selain hukum perundang-undangan. Konsep hukum Islam berbeda dari konsep hukum perundang-undangan, karena ajaran Islam meyakini hukum-hukumnya sebagai aturan yang bersumber dari wahyu Illahi, dan dengan demikian, hukum perundang-undangan yang merupakan konsep hukum karya manusia memiliki ciri khas yang berbeda dari hukum Islam.

Abd. Shomad mengungkapkan bahwa hukum Islam memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari sistem hukum lainnya, salah satunya adalah adanya dua jenis sumber hukum. Pertama, sumber hukum Naqly yang meliputi al-Qur'an dan As-Sunnah, sebagai pedoman utama. Kedua, sumber hukum Aqly, yaitu hasil pemikiran rasional melalui berbagai metode untuk menentukan hukum. Hukum Islam sendiri telah menjadi bagian penting dalam pembangunan hukum nasional, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Namun, pada masa kolonial, beberapa aspek hukum Islam dilebur dalam hukum adat, sehingga di beberapa daerah seperti Gorontalo, Minangkabau, dan Bolaang Mongondow muncul istilah "adat bersendi syara'."[2]

Hukum adat secara sederhana adalah kumpulan aturan-aturan yang terbentuk secara alami dari kebiasaan sehari-hari masyarakat. Aturan-aturan ini bukan berasal dari undang-undang tertulis, melainkan dari tradisi dan nilai-nilai yang diwariskan turun-temurun. R. Soepomo, seorang tokoh hukum Indonesia, melihat hukum adat sebagai sebuah sistem yang unik. Beliau berpendapat bahwa hukum adat itu sebagian besar terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang sudah lama ada, dan sebagian kecil dipengaruhi oleh ajaran Islam. Uniknya, hukum adat ini seringkali digunakan sebagai pelengkap dalam menyelesaikan perkara-perkara hukum, terutama di daerah-daerah yang masih kuat memegang tradisi. Berdasarkan rumusan ini, hukum adat adalah hukum tidak tertulis yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil adalah hukum Islam, dan diterapkan dalam peradilan adat (adatrechtspraak).[3]

Sumber-Sumber Konflik Nilai

Konflik nilai antara hukum adat dan hukum Islam merupakan fenomena kompleks yang kerap muncul dalam masyarakat Indonesia yang heterogen. Perbedaan mendasar dalam sumber hukum, cara penerapan, dan ruang lingkup pengaturan menjadi akar utama perselisihan. Hukum adat, sebagai produk kearifan lokal,memiliki karakteristik yang khas dan fleksibel, sementara hukum Islam membawa nilai-nilai universal yang bersifat rigid. Perbedaan ini seringkali menimbulkan pertentangan, terutama dalam konteks regulasi kehidupan sehari-hari seperti perkawinan, warisan, dan penyelesaian sengketa.

Salah satu sumber konflik yang signifikan adalah perbedaan dalam tata cara perkawinan dan warisan.[4] Hukum adat, dengan beragam sistem kekerabatan (matrilineal, patrilineal, bilateral), memiliki aturan yang lebih fleksibel dan disesuaikan dengan adat istiadat setempat. Sebaliknya, hukum Islam memiliki ketentuan yang lebih baku dan bersifat universal. Perbedaan ini seringkali menjadi titik perselisihan dalam keluarga yang menganut  kedua sistem hukum tersebut. Hal ini diperparah dengan adanya perbedaan penafsiran terhadap hukum Islam yang beragam, sehingga menimbulkan berbagai interprestasi mengenai hukum waris dan pernikahan.

Selain itu, konflik nilai juga muncul dalam konteks penyelesaian sengketa. Hukum adat cenderung lebih menekankan pada restorasi hubungan sosial dan mediasi, sementara hukum Islam lebih formal dan berorientasi pada penegakan hukum. Perbedaan pendekatan ini dapat menyebabkan ketidakpuasan di antara pihak-pihak yang bersengketa, terutama ketika nilai-nilai dan kearifan lokal tidak terakomodasi dalam proses peradilan.

Perkembangan zaman dan modernisasi semakin memperumit permasalahan ini. Globalisasi dan pengaruh budaya asing dapat menggeser nilai-nilai tradisional yang terkandung dalam hukum adat. Di sisi lain, interprestasi terhadap hukum Islam yang beragam juga dapat memicu perbedaan pendapat. Fenomena ini diperparah dengan adanya pluralisme hukum yang diakui dalam sistem hukum Indonesia, di mana hukum adat dan hukum agama memiliki kedudukan yang setara dengan hukum negara.

Dampak Konflik Nilai

Konflik nilai antara hukum adat dan hukum Islam tidak hanya menimbulkan perselisihan semata, namun juga memiliki dampak yang luas terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari sosial, budaya, hingga politik dan ekonomi. 

1) Terganggunya Kohesivitas Sosial dan Polarisasi Masyarakat

Konflik nilai yang berkepanjangan dapat memicu perpecahan dalam masyarakat, terutama dalam kelompok-kelompok yang memiliki pandangan berbeda mengenai penerapan hukum adat dan hukum Islam. Hal ini dapat mengikis rasa solidaritas dan kepercayaan antar anggota masyarakat, serta memicu munculnya konflik horizontal yang berkelanjutan. Polarisasi sosial yang semakin tajam akan mempersulit upaya untuk mencapai kesepakatan konsensus.

2) Ketidakpastian Hukum dan Lemahnya Penegakan Hukum

Keberadaan dua sistem hukum yang berbeda dan seringkali bertentangan menyebabkan ketidakpastian hukum. Masyarakat menjadi bingung mengenai hukum mana yang harus ditaati dalam situasi tertentu. Hal ini dapat menghambat proses penyelesaian sengketa dan penegakan hukum, serta memunculkan praktik-praktik hukum yang tidak adil. Selain itu, lemahnya penegakan hukum akan mendorong masyarakat untuk mengambil tindakan di luar hukum untuk menyelesaikan masalah mereka.

3) Hambatan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi

Konflik sosial yang disebabkan oleh perbedaan nilai dapat menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi  investasi dan pembangunan. Investor akan enggan menanamkan modalnya di daerah yang dianggap tidak stabil. Selain itu, konflik juga dapat mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat, seperti pertanian, perdagangan, dan pariwisata.

4) Radikalisme dan Ekstremisme

Konflik nilai yang berkepanjangan dapat menjadi pemicu munculnya gerakan radikalisme dan ekstrimisme. Kelompok-kelompok yang merasa nilai-nilainya terancam dapat melakukan tindakan-tindakan kekerasan untuk mempertahankan keyakinan mereka. Radikalisme dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta menghambat upaya untuk membangun masyarakat yang damai dan harmonis.

5) Hilangnya Kearifan Lokal dan Lemahnya Identitas Budaya

Konflik nilai dapat menyebabkan terkikisnya nilai-nilai luhur yang terkandung dalam hukum adat. Generasi muda cenderung lebih tertarik pada budaya modern dan meninggalkan tradisi leluhur. Hal ini dapat melemahkan identitas budaya masyarakat dan menyebabkan hilangnya kekayaan budaya yang tak ternilai.

Menurut para ahli seperti yang dikemukakan oleh Nursyam Centre dalam penelitiannya, konflik nilai antara hukum adat dan hukum Islam dapat berdampak sangat kompleks dan multidimensi. Ketidakmampuan untuk mengakomodasi perbedaan dan mencari titik temu dapat menyebabkan disintegrasi sosial dan menghambat pembangunan nasional.

Upaya Penyelesaian Konflik

Konflik nilai antara hukum adat dan hukum Islam kerap muncul dalam masyarakat pluralis Indonesia. Keberagaman budaya dan agama yang kaya seringkali memicu perbedaan pandangan dan kepentingan. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan upaya-upaya yang komprehensif dan melibatkan berbagai pihak.

Pertama, dialog interkultural menjadi kunci utama dalam menyelesaikan konflik. Melalui dialog, masyarakat adat dan umat Islam dapat saling memahami nilai-nilai, keyakinan, dan praktik masing-masing. Proses ini akan membuka ruang untuk mencari titik temu dan menemukan solusi yang paling menguntungkan. Seperti yang dikatakan oleh para ahli seperti Clifford Geertz, dialog antar budaya adalah upaya untuk memahami makna yang terkandung dalam praktik-praktik sosial yang berbeda.[5]

Kedua, penegakan hukum yang adil dan berkeadilan juga sangat penting. Pemerintah perlu memastikan bahwa sistem hukum yang berlaku mengakomodasi nilai-nilai both hukum adat dan hukum Islam. Prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan harus menjadi landasan dalam penyelesaian sengketa. Hal ini sejalan dengan pandangan hukum Islam yang menekankan pentingnya keadilan dalam segala aspek kehidupan.

Ketiga, pendidikan menjadi salah satu instrumen yang efektif dalam merendam konflik. Pendidikan tentang nilai-nilai toleransi, keberagaman, dan saling menghormati perlu diberikan sejak dini. Selain itu, pendidikan tentang hukum adat dan hukum Islam juga penting agar masyarakat memahami akar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana diungkapkan oleh para sosiolog pendidikan[6], pendidikan berperan penting dalam membentuk karakter dan sikap individu.

Keempat, pelibatan tokoh agama dan masyarakat sangat krusial. Tokoh agama memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka perlu berperan aktif dalam menjembatani perbedaan dan mempromisikan nilai-nilai persatuan. Sementara itu, tokoh masyarakat dapat membantu dalam mengidentifikasi akar permasalahan dan mencari solusi yang sesuai dengan konteks lokal.

Kelima, harmonisasi hukum. Harmonisasi adalah upaya untuk mengharmonisasikan dan menyatukan sehingga tercipta satu keberhasilan. Harmonisasi yang dimaksud adalah upaya untuk menyelaraskan antara hukum adat dan hukum Islam dalam satu sistem Hukum Nasional. Bagaimana hukum adat dan hukum Islam berbaur dalam praktik dapat bervariasi. Dalam beberapa kasus, masyarakat menggabungkan unsur-unsur hukum adat dengan prinsip-prinsip hukum Islam dalam pengambilan keputusan.[7]

KESIMPULAN

Konflik antara hukum adat dan hukum Islam dalam masyarakat pluralis merupakan pengumpulan nilai yang kompleks dan berakar dalam perbedaan sejarah, budaya, dan pandangan dunia. Hukum adat, sebagai sistem norma yang tumbuh organik dari masyarakat, sering kali memiliki nilai-nilai yang unik dan spesifik terkait dengan lingkungan, sosial, dan kepercayaan lokal. Di sisi lain, hukum Islam sebagai sistem hukum agama membawa nilai-nilai universal yang bersifat transendental dan ingin diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Perbedaan ini seringkali memicu konflik, terutama dalam isu-isu seperti perkawinan, warisan, hukum pidana, dan status pribadi. Konflik nilai ini berdampak luas, mulai dari disintegrasi sosial, ketidakpastian hukum, hingga menghambat pembangunan. Untuk mencapai harmoni, diperlukan upaya-upaya penyelesaian yang komprehensif, seperti dialog interkultural, akomodasi terhadap nilai-nilai lokal dalam kerangka hukum nasional, serta pemahaman yang mendalam tentang kedua sistem hukum tersebut. Tantangan ini menuntut negara untuk berperan aktif dalam menciptakan kebijakan hukum yang adil, inklusif, dan mengakomodasi kepentingan semua pihak.

Referensi:

[1] Kasjim Salenda dan Sudirman Lukman Mappadeceng, Hukum Islam dan Hukum Adat Di Indonesia (Implementasi Kasuistik dalam Perkawinan), (Depok: Rajawali Pers, 2022), hlm. 33.

[2] Abdurrahman Konoras, Eksistensi Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Sistem Hukum Nasional, Jurnal Ilmiah Al-Syari'ah, Vol. 14, No. 2 (2016), hlm. 6-7

[3] Ibid, hlm. 7.

[4] Mevy Eka Nurhalizah, "Pluralisme Hukum di Indonesia: Antara Islam dan Adat", Nursyam Centre, 02 Desember 2024, https://nursyamcentre.com/artikel/riset_sosial/pluralisme_hukum_di_indonesia_antara_islam_dan_adat

[5] Ahmad Sugeng Riady, "Agama dan Kebudayaan Masyarakat Perspektif Clifford Greertz", Jurnal Sosiologi Agama Indonesia, Vol. 2, No. 1 (Maret 2021), hlm. 17.

[6] Santika Virdi, dkk. "Sosiologi Pendidikan dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik di Sekolah", Jurnal Bahasa, sastra, Budaya, dan Pengajarannya (Protasisi), Vol. 2, No. 1 (Juni 2023), hlm. 171.

[7] Muhammad Ali Fauzi, dkk. "Harmonisasi Hukum adat dengan Hukum Islam", Comserva: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Vol. 3, No. 7 (November 2023), hlm. 2487.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun