Mohon tunggu...
Andini AprysheilaRahmi
Andini AprysheilaRahmi Mohon Tunggu... Jurnalis - Seorang Mahasiswa

Sometimes we win, sometimes we learn. So, never guilty to choose yourself.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Intimidasi terhadap Pers Mahasiswa di Tengah Ketidakpastian Hukum

21 September 2021   23:17 Diperbarui: 6 Oktober 2021   18:01 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Satu kasus lain yang dapat kita ambil pada tahun 2019, yang menyebutkan kasus pemecatan awak Pers Mahasiswa Suara Universitas Sumatera Utara (USU) oleh pihak rektorat. Hal ini membuktikan bahwa kasus intimidasi terhadap pers mahasiswa tidak hanya dilakukan oleh aparat tetapi pihak kampus yang seharusnya mendukung, memfasilitasi dan menciptakan generasi mahasiswa yang kritis, juga ikut serta dalam pembredelan dan pembungkaman yang dialami kawan-kawan pers mahasiswa.

Kalau saja kita pahami, di dalam UU Pers menyebutkan pers mahasiswa yang digerakkan oleh mahasiswa, meskipun tidak berbadan hukum, tetaplah merupakan lembaga yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. Memang, UU Pers tidak memberikan kepastian perlindungan terhadap Lembaga Pers Mahasiswa. Pasal 18 ayat 1 UU Pers, bahwa memang perlindungan yang disebutkan hanya lah diperuntukkan bagi perusahaan pers.

Sebaiknya kita jangan kaku terhadap pengertian dan substansi dari pers itu sendiri bukannya sekadar perspektif atau normatif belaka, tetapi juga menyangkut tentang nilai. Seperti halnya pengakuan media alternatif seperti LPM oleh AJI (Aliansi Jurnalis Independen) menyebutkan bahwa jurnalis itu dilihat berdasarkan karya dan kerja. Padahal pada faktanya, dibandingkan media mainstream lain, yang kendatipun sudah terverifikasi oleh Dewan Pers, tak sedikit kasus yang membuktikan bahwa pers mahasiswa lebih jauh beretika dan berpihak pada kepentingan masyarakat.

Studi kasus yang juga menjadi bukti bahwa rawannya posisi pers mahasiswa adalah kasus yang terjadi pada akhir tahun 2018 lalu yaitu perihal pemanggilan awak BPPM Balairung oleh kepolisian. Pemanggilan tersebut terkait dengan tulisan yang mereka muat tentang kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus UGM pada tahun 2017.

Yang menjadi pertanyaan adalah proses pemanggilan mereka oleh kepolisian tidaklah fokus pada kasus kekerasan seksual yang dialami A (korban pelecehan seksual) tetapi mengarah kepada tulisan wartawan dan proses reportasenya, yang pada intinya meragukan kebenaran informasi yang dimuat media tersebut. Polisi tidak seharusnya melakukan pemanggilan tersebut untuk meminta keterangan sebagai saksi, karena posisi penulis adalah seorang wartawan yang mendapat informasi dari korban. Pada kasus pemanggilan ini polisi dinilai telah keluar jalur, karena membuat berita yang ditulis wartawan sebagai alat untuk mempertanyakan kasus yang ditulisnya.

Dari penjelasan tentang hukum yang melibatkan pers mahasiswa, kasus di atas akan merujuk pada UU Pers Nomor 40 tahun 1999 Pasal 8, yang berbunyi bahwasanya wartawan mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan profesinya. Maka hal tersebut juga akan berkaitan juga dengan bunyi dari Pasal 18 yang menyebutkan, pihak yang menghalang-halangi tugas seorang jurnalis masuk pelanggaran hukum pidana.

Penyebab terjadinya kasus kekerasan hingga tindakan preventif dari aparat yang menimpa para pelaku kegiatan pers mahasiswa dapat kita uraikan menjadi beberapa faktor. 

Salah satunya terkait tidak adanya perlindungan hukum dimana UU Pers tidak memberikan kepastian perlindungan terhadap Lembaga Pers Pahasiswa. 

Dalam Pasal 18 ayat 1 UU Pers, perlindungan yang disebutkan hanya lah diperuntukkan 'bagi perusahaan pers'. Kedudukan Lembaga Pers Mahasiswa yang hanya sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa tentunya mempersulit mahasiswa dalam memperoleh status badan hukum. Ditambah, mayoritas Lembaga Pers Mahasiswa masih bergantung pada pendanaan kampus. 

Sehingga hal ini kerap kali menjadi kegelisahan para awak media dari pers mahasiswa, mereka sering kali mendapatkan intimidasi dari pihak Universitas, kemudian pembredelan, bahkan hingga ancaman DO atau drop out. Faktor selanjutnya ialah kurangnya pengakuan keberadaan pers mahasiswa yang ada oleh masyarakat, sehingga hal tersebut mengakibatkan para wartawan pers mahasiswa menjadi banyak dipertanyakan ketika melakukan liputan ke luar kampus.

Lembaga Pers Mahasiswa memang tidak dipayungi dengan hukum atau undang-undang kebebasan pers. Tidak disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Tetapi kegiatan penyelenggaraan yang dilakukan pers mahasiswa juga dapat dikatakan sebagai kegiatan jurnalistik, yang mana berpangku pada prinsip kerja dan karya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun