Pendahuluan
Pada suatu pagi di antara pepohonan rimbun kampus IPB Dramaga, seekor monyet panjang (Macaca fascicularis) sedang bergelantungan dengan lincah dan menarik perhatian mahasiswa-mahasiswa yang sedang berjalan (Pusat Studi Satwa Primata IPB 2019). Bagi mereka, monyet-monyet ini adalah bagian dari kehidupan di kampus hijau. Bagi diriku sendiri, monyet-monyet ini adalah kesempatan bagiku untuk melihat satwa di tempat yang tidak umum. Hal itu membuat suasana kampus yang dekat dengan alam dan menjadi salah satu keunikan dari kampus IPB Dramaga. Namun sayangnya, dibalik keseharian monyet-monyet ini, terdapat realita yang mengkhawatirkan.
Kehidupan kerabat monyet ekor panjang di luar sana tidak seberuntung dengan kerabatnya yang hidup di kampus. Kenyataannya habitat asli dari monyet-monyet ini telah berkurang akibat aktivitas manusia. Penelitian yang dilakukan oleh Oriza et al. (2019), menunjukkan bahwa berkurangnya habitat para monyet menyebabkan mereka untuk pindah dekat dengan pemukiman dan menyebabkan konflik dengan manusia. Monyet ekor panjang yang hidup di habitat aslinya menghadapi tekanan besar akibat perbuatan-perbuatan manusia seperti pembangunan masif di hutan-hutan habitat mereka. Perubahan-perubahan ini akan berdampak negatif dan memengaruhi gaya hidup monyet-monyet itu. Apabila hal ini dibiarkan berlanjut, monyet ekor panjang dapat menghadapi ancaman kepunahan yang serius dalam waktu singkat.Â
Kisah ini hanyalah salah satu contoh dari ancaman yang dihadapi keanekaragaman hayati Indonesia. Flora dan fauna yang merupakan identitas negara, seperti badak bercula satu dan tanaman bunga Rafflesia arnoldii, saat ini mengalami penurunan jumlah akibat perkembangan peradaban yang tak seimbang dengan pelestarian alam. Keindahan hayati Indonesia yang seharusnya menjadi ciri khas dan kebanggaan bangsa, kini perlahan memudar dan menghilang. Lama kelamaan, keanekaragaman hayati Indonesia bisa berubah menjadi sekadar cerita legenda yang tercatat dalam sejarah kegagalan manusia. Apakah kita akan diam saja dan membiarkan warisan ini hilang begitu saja? Â
Keanekaragaman Hayati Indonesia
Hal pertama yang harus kita lakukan untuk menjawab pertanyaan itu adalah mempelajari lebih dalam mengenai keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia. Tanah air kita memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Indonesia terdiri atas 22 tipe ekosistem alami yang merupakan ekosistem yang terbentuk secara alami tanpa campur tangan manusia. Ekosistem ini dapat diklasifikasi lebih lanjut menjadi 4 kategori seperti ekosistem marin, limnik, semi-terestrial, dan terestrial darat. Selain itu, Indonesia juga memiliki jenis vegetasi yang beragam, tepatnya 75 jenis vegetasi berbeda yang bertindak sebagai tutupan lahan di seluruh nusantara sesuai data BRIN pada tahun 2023.
Maka dari itu, wajar saja bila Indonesia menjadi rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna. Data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 1.821 spesies burung, 786 spesies mamalia, dan 66.361 spesies serangga, 3.478 spesies ikan, 1.639 spesies pakis, 24.995 spesies angiospermae atau tumbuhan berbunga, 871 spesies fungi, dan 75 spesies mangrove (Violleta 2024). Data tersebut dapat disandingkan dengan data dari BRIN terkait persentase flora dan fauna dunia yang berada di Indonesia seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Meskipun luas daratan Indonesia hanya 1,3% dari total daratan di dunia, Indonesia memiliki sekitar 10% dari spesies tumbuhan yang diketahui secara global (Sutrisna 2017). Selain itu, menurut Prof. Satyawan Pudyatmoko, seorang Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem dalam Kementerian LHK, kekayaan alam Indonesia menempatkannya sebagai salah satu negara megabiodiversitas terbesar, tepatnya terbesar kedua di dunia setelah negara Brazil. Keanekaragaman hayati di pulau Kalimantan saja dapat dikatakan setara dengan benua Eropa atau Australia.
Tentunya keanekaragaman hayati Indonesia yang melimpah ini disebabkan oleh berbagai faktor. Letak geografis Indonesia yang strategis, tepatnya di antara dua benua dan dua samudra dapat menciptakan titik temu yang sempurna antara flora dan fauna dari kawasan Asia dan Australia. Kawasan ini dipisahkan oleh garis khayal yang dikenal dengan garis wallace. Garis ini dinamakan sesuai dengan nama penemunya yaitu Alfred Russel Wallace, seorang naturalis dan ahli biologi. Garis ini menandakan perbedaan antara flora dan fauna bagian Barat Indonesia yang memiliki tipikal Asia dan bagian Timur Indonesia yang memiliki tipikal Australia. Selain itu, garis khatulistiwa yang lewat melalui Indonesia menyebabkan Indonesia untuk memiliki iklim tropis dengan karakteristik curah hujan tinggi dan sinar matahari melimpah sepanjang tahun. Tentunya kondisi ini mempromosikan pertumbuhan untuk berbagai jenis vegetasi sehingga banyak organisme dapat menghasilkan biomassa dalam jumlah yang tinggi.
Faktor lain seperti kondisi topografi Indonesia yang beragam seperti daerah pegunungan hingga dataran rendah, serta kondisi daratan berupa archipelago atau kepulauan, menciptakan habitat unik dan spesifik bagi flora dan fauna untuk melakukan spesiasi dan beradaptasi sesuai dengan kondisi habitatnya. Tentunya hal tersebut juga dilengkapi dengan fakta bahwa Indonesia berapa pada Ring of Fire yang memiliki karakteristik berupa banyak gunung berapi yang menghasilkan abu vulkanik yang kaya akan zat hara. Seluruh faktor-faktor ini berkontribusi terhadap tingginya tingkat endemisme dan keanekaragaman hayati Indonesia.
Namun, di balik kenyataan membanggakan terkait kekayaan alam Indonesia, ancaman terhadap keanekaragaman hayati Indonesia semakin nyata. Menurut laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada 4 Oktober 2022, terdapat 1.217 spesies hewan di Indonesia atau sekitar 2,94% dari total spesies global terancam punah (Widi 2022). Tanpa upaya pelestarian dan konservasi berkelanjutan, kekayaan hayati Indonesia berisiko hilang dan punah. Hal tersebut tidak hanya berdampak pada ekosistem lokal, tapi juga dapat memengaruhi keseimbangan ekosistem global. Meskipun begitu, tetap terdapat banyak masyarakat awam yang bertanya, memangnya kenapa kalau beberapa flora dan fauna di Indonesia punah?