Sosiologi sastra adalah cabang kajian sastra yang menyoroti hubungan antara karya sastra dan realitas sosial, termasuk politik. Melalui pendekatan sosiologi sastra ekstrinsik, karya sastra dipahami tidak hanya dari isi atau estetikanya, tetapi juga dalam kaitannya dengan konteks sosial, budaya, dan politik yang melingkupinya. Di Indonesia, karya-karya sastra telah lama menjadi refleksi dan kritik terhadap dinamika politik, mulai dari era kolonial hingga era modern. Â
Sosiologi Sastra Ekstrinsik: Memahami Latar Politik dalam Karya Sastra
Sosiologi sastra ekstrinsik memandang karya sastra sebagai produk sosial yang dipengaruhi oleh situasi politik tertentu. Di Indonesia, banyak karya sastra yang lahir sebagai respons terhadap kondisi politik zamannya. Misalnya, pada masa penjajahan Belanda, sastra digunakan untuk menumbuhkan kesadaran nasionalisme dan perlawanan terhadap kolonialisme. Â
Contohnya adalah karya Max Havelaar (1860) karya Multatuli, yang meskipun ditulis oleh seorang Belanda, mengkritik keras praktik kolonialisme di Hindia Belanda. Novel ini membuka mata masyarakat Eropa terhadap penderitaan rakyat Indonesia di bawah sistem tanam paksa. Â
Di era yang lebih modern, Pramoedya Ananta Toer melalui tetralogi Bumi ManusiaÂ
Sastra Indonesia juga menjadi medium kritik
Pada masa Orde Lama, Chairil Anwar melalui puisi-puisinya seperti Aku dan Diponegoro merepresentasikan semangat perjuangan dan kebebasan individu. Puisi-puisi ini menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan, baik secara politik maupun kultural. Â
Sementara itu, di era Orde Baru, karya sastra seperti Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma memberikan suara kepada mereka yang tertindas. Cerpen-cerpen dalam buku ini menyoroti pelanggaran HAM, seperti konflik di Timor Timur. Seno memanfaatkan sastra untuk melawan sensor ketat dan menyuarakan kebenaran di tengah represi. Â
Selain itu, Wiji Thukul, seorang penyair sekaligus aktivis, menggunakan puisi-puisinya sebagai alat untuk melawan otoritarianisme Orde Baru. Puisinya yang terkenal, Peringatan, menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap kekuasaan yang represif. Hingga kini, Wiji Thukul menjadi ikon sastra perlawanan di Indonesia. Â
Sastra dalam Dinamika Politik Masa Kini
Di era Reformasi dan digital, sastra tetap relevan dalam membahas isu-isu politik. Banyak penulis muda yang menggunakan karya sastra untuk mengkritik isu kontemporer seperti korupsi, intoleransi, hingga kerusakan lingkungan. Â
Contoh modern adalah novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, yang menggambarkan perjuangan aktivis mahasiswa pada era Orde Baru. Novel ini tidak hanya membangkitkan ingatan kolektif akan kekejaman rezim, tetapi juga mengingatkan pembaca tentang pentingnya memperjuangkan keadilan. Â
Di era digital, karya-karya puisi dan prosa sering kali diunggah di media sosial untuk mengkritik isu-isu politik yang sedang terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa sastra masih menjadi alat yang kuat dalam membentuk opini publik dan membangun kesadaran sosial. Â
KesimpulanÂ
Pendekatan sosiologi sastra ekstrinsik membantu kita memahami hubungan erat antara karya sastra dan konteks politik di Indonesia. Karya-karya sastra Indonesia tidak hanya menjadi cerminan zaman, tetapi juga menjadi alat kritik, perlawanan, dan perubahan. Â
Dari era kolonial hingga Reformasi, sastra telah memainkan peran penting dalam memperjuangkan keadilan dan kebebasan. Dengan mempelajari sosiologi sastra ekstrinsik, kita dapat lebih memahami bagaimana karya-karya ini tidak hanya menggambarkan sejarah politik, tetapi juga menginspirasi masyarakat untuk terus melawan ketidakadilan dan ketimpangan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H