Di era Reformasi dan digital, sastra tetap relevan dalam membahas isu-isu politik. Banyak penulis muda yang menggunakan karya sastra untuk mengkritik isu kontemporer seperti korupsi, intoleransi, hingga kerusakan lingkungan. Â
Contoh modern adalah novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, yang menggambarkan perjuangan aktivis mahasiswa pada era Orde Baru. Novel ini tidak hanya membangkitkan ingatan kolektif akan kekejaman rezim, tetapi juga mengingatkan pembaca tentang pentingnya memperjuangkan keadilan. Â
Di era digital, karya-karya puisi dan prosa sering kali diunggah di media sosial untuk mengkritik isu-isu politik yang sedang terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa sastra masih menjadi alat yang kuat dalam membentuk opini publik dan membangun kesadaran sosial. Â
KesimpulanÂ
Pendekatan sosiologi sastra ekstrinsik membantu kita memahami hubungan erat antara karya sastra dan konteks politik di Indonesia. Karya-karya sastra Indonesia tidak hanya menjadi cerminan zaman, tetapi juga menjadi alat kritik, perlawanan, dan perubahan. Â
Dari era kolonial hingga Reformasi, sastra telah memainkan peran penting dalam memperjuangkan keadilan dan kebebasan. Dengan mempelajari sosiologi sastra ekstrinsik, kita dapat lebih memahami bagaimana karya-karya ini tidak hanya menggambarkan sejarah politik, tetapi juga menginspirasi masyarakat untuk terus melawan ketidakadilan dan ketimpangan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H