Mohon tunggu...
Andika
Andika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Pamulang Jurusan Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sosiologi Sastra Ekstrinsik: Refleksi dan Kritik Politik di Indonesia

16 Desember 2024   21:50 Diperbarui: 16 Desember 2024   21:50 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Refleksi Waktu dan Pengetahuan dalam Karya Sastra (sumber: pixabay.com)

Sosiologi sastra adalah cabang kajian sastra yang menyoroti hubungan antara karya sastra dan realitas sosial, termasuk politik. Melalui pendekatan sosiologi sastra ekstrinsik, karya sastra dipahami tidak hanya dari isi atau estetikanya, tetapi juga dalam kaitannya dengan konteks sosial, budaya, dan politik yang melingkupinya. Di Indonesia, karya-karya sastra telah lama menjadi refleksi dan kritik terhadap dinamika politik, mulai dari era kolonial hingga era modern.  

Sosiologi Sastra Ekstrinsik: Memahami Latar Politik dalam Karya Sastra

Sosiologi sastra ekstrinsik memandang karya sastra sebagai produk sosial yang dipengaruhi oleh situasi politik tertentu. Di Indonesia, banyak karya sastra yang lahir sebagai respons terhadap kondisi politik zamannya. Misalnya, pada masa penjajahan Belanda, sastra digunakan untuk menumbuhkan kesadaran nasionalisme dan perlawanan terhadap kolonialisme.  

Contohnya adalah karya Max Havelaar (1860) karya Multatuli, yang meskipun ditulis oleh seorang Belanda, mengkritik keras praktik kolonialisme di Hindia Belanda. Novel ini membuka mata masyarakat Eropa terhadap penderitaan rakyat Indonesia di bawah sistem tanam paksa.  

Di era yang lebih modern, Pramoedya Ananta Toer melalui tetralogi Bumi Manusia 

Sastra Indonesia juga menjadi medium kritik

Pada masa Orde Lama, Chairil Anwar melalui puisi-puisinya seperti Aku dan Diponegoro merepresentasikan semangat perjuangan dan kebebasan individu. Puisi-puisi ini menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan, baik secara politik maupun kultural.  

Sementara itu, di era Orde Baru, karya sastra seperti Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma memberikan suara kepada mereka yang tertindas. Cerpen-cerpen dalam buku ini menyoroti pelanggaran HAM, seperti konflik di Timor Timur. Seno memanfaatkan sastra untuk melawan sensor ketat dan menyuarakan kebenaran di tengah represi.  

Selain itu, Wiji Thukul, seorang penyair sekaligus aktivis, menggunakan puisi-puisinya sebagai alat untuk melawan otoritarianisme Orde Baru. Puisinya yang terkenal, Peringatan, menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap kekuasaan yang represif. Hingga kini, Wiji Thukul menjadi ikon sastra perlawanan di Indonesia.  

Sastra dalam Dinamika Politik Masa Kini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun