Saat ini, setelah beberapa tahun lulus, teman saya justru berterima kasih karena pernah dikaplok dengan pantofel.
Saya juga ada pengalaman yang kurang mengenakkan saat menjadi guru di sekolah menengah pertama. Saya termasuk orang yang sulit menghafalkan nama. Apalagi nama siswa yang jumlahnya ratusan dan wajahnya hampir mirip-mirip karena mengenakan seragam. Walaupun setelah beberapa bulan hafal juga.
Pernah suatu saat, di dalam kelas, saya salah sebut nama anak. Dia anak perempuan kelas delapan. Duduk di pojok belakang ruang kelas. Entah kenapa, wajahnya yang semula ceria. Langsung merah padam. Dia berdiri dan bilang begini,
"Guru-guru ke podo kabeh. Apale seng pinter tok. Apale seng melu OSIS tok."
Dia berjalan keluar kemudian membanting pintu kelas. Suasana tiba-tiba hening. Saya merasakan rasa bersalah yang amat dalam.
Tentu salah sebut nama ini tidak termasuk kekerasan. Berbeda dengan mengaplok wajah menggunakan pantofel. Tapi tidak mengenali siswa satu per satu, tidak memahami kondisi dan perasaan mereka, apapun alasannya adalah sebuah kejahatan. Apalagi sampai membeda-bedakan si A pintar, si B goblok, si C nakal, si D anak pejabat, si E aktif, si F manutan, si G ganteng, dsb.
Jadi memang betul sepertinya kita perlu adakan mata pelajaran olahrasa. Untuk bisa memahami anak-anak sebagai manusia yang utuh. Serta membedakan mana kekerasan dan kejahatan.
Pekalongan, 6 Januari 2024
Andika Nugraha Firmansyah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H