Semalam saya mendapatkan sebuah curhatan dari seorang guru sekolah menengah pertama. Beliau sudah berumur. Tapi boleh dibilang ngenomi. Beliau ini bingung ngadepin anak-anak gen z, katanya jaraknya terlalu jauh.
Andai saja jarak yang dimaksud ini bisa dikomentari, "Ayo-ayo yang jauh mendekat, yang dekat merapat." Tapi saya yakin, kalau saya komentari begitu, saya bisa kuwalat. Jelas saya tidak mau.
Beliau bercerita mengenai pengalamannya beberapa hari yang lalu menyita HP beberapa siswa. Beliau bersepakat dengan mereka untuk menyita HP itu tiga hari. Hingga pada Jumat kemarin anak-anak yang disita HP nya itu tiba-tiba datang ke rumah Beliau.
Ajibnya, mereka minta dimarahi lagi dengan nasehat!
Lha yo opo ngene iki, wes diseneni neng sekolah, malah tambah moro neng omah, njaluk diseneni meneh. Ya Allah, Gen Zii, Gen Zii (menirukan gaya Pak Prabowo bilang Mas Anisss, Mas Aniss). Coba deh kalau kalian bisa menebak apa yang ada dipikiran anak-anak ini. Saya acungi jempol. Tapi setelah itu ada lagi.
"Mereka datang semua (berdelapan, laki-laki perempuan) jam 8 datang ke rumah. Sampai jam 11 saya usir karena harus jumatan." tulis Beliau.
"Ternyata habis jumatan, mereka datang lagi. Kebetulan saya ada perlu. Ini artinya apa?" tambah Beliau.
"Kurangkah siraman rohani di sekolah? Keringkah jiwa mereka?"
Saya yang saat itu bingung harus membalas apa, hanya mengirimkan emoticon.
"Olahrasa memang harusnya ada, sebanding dengan olah raga."
Beliau melanjutkan dengan mengirimkan screenshot sebuah grup wa. Grup itu beranggotakan 9 orang. Di dalamnya ada 4 putri dan 4 putra ditambah Beliau. Ajibnya, nama grupnya adalah INGAT DOSA. Pakai capslock semua. Grup itu dibuat pukul 10.21 wib. Artinya saat mereka sedang diceramahi di rumah beliau karena ketahuan pacaran.
"Artinya, mereka, anak-anak (gen z) ini masih bisa dikandani." tulis Beliau.
Saya sangat sepakat dengan beliau bahwa anak-anak ini masih bisa dinasehati. Tapi tentu syarat dan ketentuan berlaku. Saya yakin tidak semua guru bisa menasehati anak-anak semacam ini.
Mungkin ada yang nggah-nggeh tapi ora kepanggeh. Atau ada yang memperhatikan seksama guru yang nerocos di depannya, tapi saat guru berbalik badan dia menirukan dengan gaya nyenyenye sambil mulutnya monyong-monyong.
Saya yakin, kalau guru itu tahu, pasti kepingin nampek cangkeme. Tapi tidak jadi dilakukan karena takut papan Sekolah Ramah Anak di sekolahnya ambruk.
Padahal sekolah ramah anak ini perlu dibatasi dengan konsep yang jelas mengenai kekerasan dan kejahatan. Bagi saya, terkadang keras itu boleh asal pada taraf mendidik. Yang tidak boleh adalah kejahatan.
Tentu pendapat ini tidak popular dan akan banyak dihujat. Tapi jangan disalah artikan akan main kaplok terus. Tentu itu tidak bagus dan tidak sampai seperti itu.
Saya punya pengalaman saat nyantai dengan guru senior. Beliau seorang guru sekolah menengah atas. Momen itu saya upload di story wa. Ndilalah, teman saya komen dan titip salam buat Beliau. Kemudian salam itu saya sampaikan.
Beliau ternyata masih ingat dengan teman saya yang satu ini. Katanya pernah di kaplok dengan sepatu pantofel tepat di pipinya. Beliau juga menceritakan berbagai kejadian betapa mbedut-nya teman saya yang satu ini. Yang membuat saya kaget adalah tidak berangkat sekolah hampir satu semester. Tentu dengan berbagai kelihaian mengarang surat. Kadang ijin, kadang sakit. Kadang pamit berangkat tapi kemudian colo (mbolos) begitu saja. Katanya mumet kalau di sekolah.
Pernah suatu waktu, Beliau mendatangi rumah teman saya ini. Di sana Beliau bertemu dengan Ibu teman saya. Beliau bilang kalau teman saya hari ini tidak masuk sekolah, bahkan sudah sering tidak masuk sekolah. Sudah berkali-kali sekolah mengirimkan surat undangan untuk orang tua tapi orang tuanya tidak pernah datang ke sekolah. Ibu teman saya kaget, karena tadi sudah minta uang saku dan pamit berangkat sekolah. Selain itu, tidak ada surat dari sekolah yang pernah sampai ke rumah.
Ibu teman saya ini tentu malu. Sampai-sampai bilang ke guru itu untuk dinasehati dan bila perlu dikerasi supaya sadar. Dari ijin itulah, awal mula sepatu pantofel melayang ke pipi teman saya.
Saat ini, setelah beberapa tahun lulus, teman saya justru berterima kasih karena pernah dikaplok dengan pantofel.
Saya juga ada pengalaman yang kurang mengenakkan saat menjadi guru di sekolah menengah pertama. Saya termasuk orang yang sulit menghafalkan nama. Apalagi nama siswa yang jumlahnya ratusan dan wajahnya hampir mirip-mirip karena mengenakan seragam. Walaupun setelah beberapa bulan hafal juga.
Pernah suatu saat, di dalam kelas, saya salah sebut nama anak. Dia anak perempuan kelas delapan. Duduk di pojok belakang ruang kelas. Entah kenapa, wajahnya yang semula ceria. Langsung merah padam. Dia berdiri dan bilang begini,
"Guru-guru ke podo kabeh. Apale seng pinter tok. Apale seng melu OSIS tok."
Dia berjalan keluar kemudian membanting pintu kelas. Suasana tiba-tiba hening. Saya merasakan rasa bersalah yang amat dalam.
Tentu salah sebut nama ini tidak termasuk kekerasan. Berbeda dengan mengaplok wajah menggunakan pantofel. Tapi tidak mengenali siswa satu per satu, tidak memahami kondisi dan perasaan mereka, apapun alasannya adalah sebuah kejahatan. Apalagi sampai membeda-bedakan si A pintar, si B goblok, si C nakal, si D anak pejabat, si E aktif, si F manutan, si G ganteng, dsb.
Jadi memang betul sepertinya kita perlu adakan mata pelajaran olahrasa. Untuk bisa memahami anak-anak sebagai manusia yang utuh. Serta membedakan mana kekerasan dan kejahatan.
Pekalongan, 6 Januari 2024
Andika Nugraha Firmansyah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H