Mohon tunggu...
Andi Ihsandi
Andi Ihsandi Mohon Tunggu... -

@andiihsandi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Keseimbangan Perspektif Waktu

2 Oktober 2013   05:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:07 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Apa yang baru aja terjadi?”

“Apa yang sedang terjadi?”

“Apa yang nanti terjadi?”

Ketiga pertanyaan tersebut selalu berputar di otak kita, baik secara sadar atau tidak sadar. Meskipun nggak selalu dalam format seperti itu dan tergantung kondisi apa yang sedang kita hadapi. Kalau dalam kehidupan sehari-hari saya kira-kira kayak gini contohnya:

Ketika saya bangun tidur, normalnya saya bakal menerka ulang ingatan jangka pendek saya; “Mimpi apa barusan?”, “Udah berapa lama saya tertidur?”. Kemudian, otak saya akan langsung menganalisa lingkungan sekitar; “Jam berapa ini?”,”Ini dimana?”,”Apa yang terjadi di sekeliling saya?”. Dan akhirnya, otak saya bakal nyusun rencana; “Apa yang mau saya lakukan hari ini?”, “Apa yang harus saya lakukan sebelumnya?”, “Apa yang akan saya lakukan setelahnya?”

Kemudian saya berangkat ke halte bus untuk pergi ke kampus. Normalnya, otak saya akan menerka ulang; “Apa ada yang tadi ketinggalan di rumah?”, “Berapa menit yang saya habiskan buat jalan ke halte?”. Sesampainya di halte, saya akan menganalisa; “Apa saya tepat waktu?”, “Apa ini halte yang betul?”, “Apa saya udah punya tiket?”. Setelah bisnya datang, saya akan merencakan; “Di halte mana saya akan turun?”, “Kelas dosen mana yang harus saya hadiri?

Semua pertanyaan diatas punya persamaan. Dalam kejadian apapun, entah itu kejadian yang cuman selewat aja atau kejadian yang puenting buanget, ketiga hal itu selalu diproses oleh otak kita. Kalo kejadiannya tidak rumit, ketiga pertanyaan itu bisa selesai dalam sepersekian detik. Jika kejadiannya sangat rumit, mungkin kita butuh bantuan kertas buat mencatatnya.

Filosofi ini baru aja saya sadari. Manusia enggak pernah bisa lepas dari masa lalu, masa kini dan masa depan. Ketika seseorang ada di dalam sebuah waktu, maka dia adalah “produk” dari waktu yang udah berlalu, dan dia adalah “bahan baku” untuk mengkonstruksi waktu yang akan datang. Saya tertarik untuk mencari tahu soal ini lebih lanjut,dan banyak hal-hal menarik yang saya dapetin.

Menurut ilmu psikologis, meskipun “enggak bisa lepas” dari ketiga masa itu, manusia normalnya akan lebih condong ke dalam satu masa aja, sehingga kesetimbangan perspektif akan bergeser ke satu sisi. Ketiga klasifikasinya adalah:

A. Past-Oriented:

Orang yang memprioritaskan masa lalu, biasanya konservatif banget & memuliakan tradisi dan budaya mereka. Mereka juga cenderung untuk inget keberhasilan atau kesalahan yang udah lewat, entah milik mereka maupun milik orang lain. Mereka enggak suka jika apabila ada pihak yang mencoba memodifikasi/menghilangkan nilai-nilai/cara mereka yang udah “ditetapkan”. Apa yang dilakukan sekarang adalah untuk melanjutkan momen yang sudah lewat. (Kalo kata abege: susah move-on.)

B. Present-Oriented:

Orang yang memprioritaskan masa kini, biasanya super peduli dengan hasil yang didapetin sekarang. Apa yang harus dikerjain sekarang, maka kerjain sekarang. Apa yang harus dikerjakan besok, maka kerjakan besok. Tipe ini cenderung lalai dalam mengantisipasi resiko. Apa yang dilakukan sekarang adalah untuk momen ini. (Kalo kata remaja labil: live this moment, you only live once, etc.)

C. Future-Oriented:

Tipe perencana. Kebalikan dengan tipe Past & Present-Oriented, tipe ini sangat cinta perubahan, biasanya untuk mengkoreksi hal-hal yang sebelumnya/saat ini masih jauh sempurna. Tipe ini normalnya sangat mengejar kesempurnaan. Selain itu, tipe ini cenderung mengamankan waktu yang akan datang, sehingga dapat meminimalisir resiko yang ada. Apa yang dilakukan sekarang adalah agar dari semua kemungkinan, yang akan datang adalah kemungkinan terbaik. (Kalo kata guru TK: bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.)

Setelah tahu tentang ketiga tipe ini, entah mengapa saya enggak pengen menjadi tipe manapun. Saya pengen jadi tipe yang fleksibel dan bisa merubah-rubah perspektifnya, sesuai dengan kejadian yang “sudah”, “sedang” atau “akan” terjadi. Umumnya saya cenderung memprioritaskan masa kini, dengan mempertimbangkan masa yang sudah lalu. Saya diajarin untuk melakukan apapun, dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang sudah ditetapkan (moral, agama, tradisi, budaya, dll). Saya yakin, banyak orang Indonesia yang orientasi waktu-nya mirip dengan saya, karena memang Indonesia selalu megang tinggi ajaran leluhur, agama, tradisi dan budaya.

Pertama kali saya tertarik sama tipe Future-Oriented itu ketika saya membaca suatu cerpen yang setting waktu-nya sekitar 500 tahun dari sekarang. Kita tahu bahwa mustahil untuk menghasilkan efisiensi energi 100% (Untuk detailnya silahkan baca hukum termodinamika). Sumber energi yang dipakai akan selalu lebih besar daripada energi yang dihasilkan. Ini berarti sumber energi akan selalu habis. (Tidak hilang, tapi berubah ke wujud lain.)

Nah, setelah tahu prinsip itu, coba bayangkan. Sekarang belum terwujud sih, tapi kemungkinan besar 300-500 tahun kedepan, umat manusia bakal bergantung 70% setiap saat pada energi matahari. Kalo anda hidup pada masa itu, apakah akan terpikir oleh anda:

“5 milyar tahun lagi, ketika Matahari akan mati, umat manusia mau bergantung sama sumber energi apa?”

Ini pertanyaan yang sangat menarik, dan jawaban yang umumnya muncul adalah:

“Ah, kita kan udah mati saat itu. Bukan urusan kita.”

Nah, yang ada di pikiran saya adalah hal yang sama selalu terjadi di masyarakat. History repeats itself. Beberapa ratus tahun yang lalu ketika revolusi industri terjadi, tentu orang-orang bertanya, “Apa yang terjadi nanti kalo lingkungan tercemar?”. Dan saya yakin jawabannya adalah, “Ah. Kita kan nanti udah mati. Biar keturunan kita yang urus.”. Dan hasilnya saat ini, entah berapa juta orang yang menyalahkan orang-orang yang hidup di masa itu sebagai penyebab global warming, ketidaksetaraan sosial, dan lain-lain.

Disini saya sadar pentingnya untuk punya perspektif masa depan. Selain meminimalisir resiko yang akan menimpa diri sendiri, saya rasa penting banget untuk meminimalisir resiko yang nanti bisa menimpa orang-orang yang terpengaruh oleh tindakan kita sekarang. Kesalahan yang pernah terjadi juga seharusnya tidak terjadi lagi di masa depan. Good history should repeat itself, bad history can go to Hell.

Saya juga sadar bahwa buat melakukan itu, ada dua hal yang penting banget, yaitu untuk nengok ke belakang, ke masa lalu, untuk mengambil contoh dan mengaplikasikan nilai-nilai yang udah kita miliki. Yang satu lagi adalah untuk melakukan suatu tindakan pada saat ini, agar hasil di masa depan adalah hasil yang paling bagus. Kesimpulannya, saya rasa tipe yang terbaik adalah orang yang melihat sesuatu dari ketiga perspektif waktu secara bersamaan dalam proporsi yang sama banyak pada ketiga perspektif itu. Masa lalu, masa kini dan masa depan.

Kira-kira demikian aja tulisan kali ini, kritik dan saran sangat diterima. Anda bisa mengomentari tulisan ini disini, atau menghubungi saya. Sekian dan terimasih banyak.

Email: andiihsandi@gmail.com

Twitter: @andiihsandi

Saya juga punya blog pribadi yang berisi cerita-cerita pribadi kehidupan saya, isinya lebih condong ke lucu-lucuan aja sih. Yang mau berkunjung, silahkan buka: Jurnal Dodol-Catatan Pelajar Ingusan di Negeri Orang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun