Mohon tunggu...
Andi Ihsandi
Andi Ihsandi Mohon Tunggu... -

@andiihsandi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Keseimbangan Perspektif Waktu

2 Oktober 2013   05:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:07 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

B. Present-Oriented:

Orang yang memprioritaskan masa kini, biasanya super peduli dengan hasil yang didapetin sekarang. Apa yang harus dikerjain sekarang, maka kerjain sekarang. Apa yang harus dikerjakan besok, maka kerjakan besok. Tipe ini cenderung lalai dalam mengantisipasi resiko. Apa yang dilakukan sekarang adalah untuk momen ini. (Kalo kata remaja labil: live this moment, you only live once, etc.)

C. Future-Oriented:

Tipe perencana. Kebalikan dengan tipe Past & Present-Oriented, tipe ini sangat cinta perubahan, biasanya untuk mengkoreksi hal-hal yang sebelumnya/saat ini masih jauh sempurna. Tipe ini normalnya sangat mengejar kesempurnaan. Selain itu, tipe ini cenderung mengamankan waktu yang akan datang, sehingga dapat meminimalisir resiko yang ada. Apa yang dilakukan sekarang adalah agar dari semua kemungkinan, yang akan datang adalah kemungkinan terbaik. (Kalo kata guru TK: bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.)

Setelah tahu tentang ketiga tipe ini, entah mengapa saya enggak pengen menjadi tipe manapun. Saya pengen jadi tipe yang fleksibel dan bisa merubah-rubah perspektifnya, sesuai dengan kejadian yang “sudah”, “sedang” atau “akan” terjadi. Umumnya saya cenderung memprioritaskan masa kini, dengan mempertimbangkan masa yang sudah lalu. Saya diajarin untuk melakukan apapun, dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang sudah ditetapkan (moral, agama, tradisi, budaya, dll). Saya yakin, banyak orang Indonesia yang orientasi waktu-nya mirip dengan saya, karena memang Indonesia selalu megang tinggi ajaran leluhur, agama, tradisi dan budaya.

Pertama kali saya tertarik sama tipe Future-Oriented itu ketika saya membaca suatu cerpen yang setting waktu-nya sekitar 500 tahun dari sekarang. Kita tahu bahwa mustahil untuk menghasilkan efisiensi energi 100% (Untuk detailnya silahkan baca hukum termodinamika). Sumber energi yang dipakai akan selalu lebih besar daripada energi yang dihasilkan. Ini berarti sumber energi akan selalu habis. (Tidak hilang, tapi berubah ke wujud lain.)

Nah, setelah tahu prinsip itu, coba bayangkan. Sekarang belum terwujud sih, tapi kemungkinan besar 300-500 tahun kedepan, umat manusia bakal bergantung 70% setiap saat pada energi matahari. Kalo anda hidup pada masa itu, apakah akan terpikir oleh anda:

“5 milyar tahun lagi, ketika Matahari akan mati, umat manusia mau bergantung sama sumber energi apa?”

Ini pertanyaan yang sangat menarik, dan jawaban yang umumnya muncul adalah:

“Ah, kita kan udah mati saat itu. Bukan urusan kita.”

Nah, yang ada di pikiran saya adalah hal yang sama selalu terjadi di masyarakat. History repeats itself. Beberapa ratus tahun yang lalu ketika revolusi industri terjadi, tentu orang-orang bertanya, “Apa yang terjadi nanti kalo lingkungan tercemar?”. Dan saya yakin jawabannya adalah, “Ah. Kita kan nanti udah mati. Biar keturunan kita yang urus.”. Dan hasilnya saat ini, entah berapa juta orang yang menyalahkan orang-orang yang hidup di masa itu sebagai penyebab global warming, ketidaksetaraan sosial, dan lain-lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun