Seperti yang pernah diungkapkan oleh Jimly Asshiddiqie, undang-undang yang baik tidak akan berarti apa-apa tanpa penegakan hukum yang konsisten dan kuat. Pernyataan ini menggarisbawahi kenyataan bahwa kelemahan utama dari sistem Pilkada bukan terletak pada substansi regulasi, melainkan pada lemahnya implementasi. Hukum yang seharusnya berfungsi sebagai instrumen penegakan keadilan malah kehilangan efektivitasnya karena berbagai faktor yang bersifat struktural maupun kultural. Sehingga dalam banyak kasus, pelanggaran seperti politik uang sering kali terjadi secara masif, terutama di daerah-daerah yang kurang berkembang secara ekonomi. Masyarakat yang berada dalam situasi ekonomi sulit cenderung lebih mudah tergoda oleh imbalan materi untuk memberikan suaranya kepada kandidat tertentu.
Sementara itu, meskipun undang-undang telah menetapkan larangan yang tegas terhadap praktik semacam ini, penegakannya di lapangan kerap kali diabaikan. Salah satu alasan utamanya adalah kompleksitas politik lokal dan masyarakat yang menyaksikan atau mengalami langsung praktik politik uang atau kecurangan lainnya sering kali tidak berani melaporkan pelanggaran tersebut karena takut terhadap intimidasi atau ancaman dari pihak-pihak yang terlibat.
Di sisi lain, ada pula masalah kultural yang turut mempersulit penegakan hukum dalam Pilkada. Dalam budaya politik Indonesia, politik uang dan kecurangan lainnya sering kali dipandang sebagai bagian dari "aturan main" yang telah mengakar. Bagi banyak masyarakat, menerima uang atau imbalan materi dari kandidat dianggap sebagai hal yang wajar, bukan sebagai pelanggaran hukum atau moral. Hal ini menunjukkan betapa mendalamnya stunting moral telah mengakar dalam masyarakat, sehingga norma-norma etika dan hukum yang seharusnya dipegang teguh justru mengalami erosi. Tanpa adanya perubahan fundamental dalam kesadaran politik masyarakat, upaya untuk menegakkan hukum yang adil dalam Pilkada akan selalu terbentur pada tembok besar berupa toleransi terhadap pelanggaran moral dan etika.
Dalam konteks filsafat hukum, pemikiran Immanuel Kant melalui konsep "Imperatif Kategoris" dapat digunakan untuk mengkritik fenomena ini. Kant mengajarkan bahwa tindakan moral harus bisa diterima oleh semua orang secara rasional dan universal, yang berarti tindakan tersebut harus berlandaskan pada prinsip kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap hak-hak orang lain. Setiap individu yang terlibat dalam proses politik, termasuk dalam Pilkada, harus bertindak berdasarkan prinsip-prinsip universal ini. Namun, kenyataannya, praktik politik transaksional seperti politik uang dan manipulasi media justru bertentangan dengan prinsip-prinsip Kantian tersebut. Tindakan-tindakan tersebut tidak hanya merugikan individu atau kelompok tertentu, tetapi juga merusak integritas politik secara keseluruhan.
Lebih jauh, Kant juga menekankan bahwa tindakan moral tidak boleh didasarkan pada tujuan pragmatis semata, melainkan harus berlandaskan pada kewajiban moral yang murni. Dalam konteks Pilkada, ini berarti bahwa kandidat, partai politik, dan pemilih harus bertindak bukan demi keuntungan pribadi atau kelompok jangka pendek, tetapi demi menjaga prinsip-prinsip demokrasi yang adil dan beradab. Ketika politik uang, manipulasi suara, dan eksploitasi isu identitas menjadi norma yang diterima, maka proses politik kehilangan dimensi moralnya dan berubah menjadi sekadar arena untuk transaksi kekuasaan yang penuh dengan kalkulasi egoistik.
Kelemahan penegakan hukum dalam Pilkada juga memperlihatkan betapa pentingnya adanya reformasi yang lebih mendalam dalam sistem hukum dan politik di Indonesia. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten memerlukan adanya kemauan politik yang kuat dari para pemimpin serta institusi-institusi yang berwenang. Selain itu, dibutuhkan pula perubahan budaya politik di kalangan masyarakat, di mana mereka harus mulai memahami bahwa pelanggaran etika dan hukum dalam politik bukanlah sesuatu yang dapat ditoleransi. Kesadaran ini hanya bisa dibangun melalui pendidikan politik yang intensif, yang menekankan pentingnya integritas, keadilan, dan tanggung jawab moral dalam proses politik.
Dalam konteks ini, peran institusi seperti KPU dan Bawaslu menjadi sangat krusial. Keduanya memiliki mandat untuk memastikan bahwa setiap proses Pilkada berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang bersih dan adil. Namun, agar bisa menjalankan mandat ini secara efektif, kedua institusi ini harus dibekali dengan sumber daya yang memadai serta independensi yang kuat dari tekanan-tekanan politik. Tanpa itu, regulasi yang sudah dirancang dengan baik akan terus menjadi teks yang tidak memiliki kekuatan di lapangan.
Mewujudkan Politik Beradab: Sinergi Antara Refleksi Filosofis dan Reformasi Hukum
Untuk mewujudkan politik beradab dalam Pilkada, sinergi antara refleksi filosofis dan reformasi hukum yang mendalam sangat diperlukan. Politik yang idealnya menjadi alat untuk mencapai kebaikan bersama sering kali terdistorsi oleh kepentingan pribadi dan kelompok, menjadikan nilai-nilai moral seperti keadilan, kejujuran, dan integritas semakin terkikis. Seperti yang diungkapkan oleh John Rawls dalam konsep "Justice as Fairness", politik harus mampu menciptakan distribusi kekuasaan yang adil, terutama bagi kelompok-kelompok yang lemah dan rentan. Sayangnya, praktik politik uang dan berbagai bentuk kecurangan lainnya justru memperparah ketidakadilan, memperkokoh ketimpangan, dan merusak fondasi demokrasi yang seharusnya berpihak kepada semua warga negara.
Fenomena "stunting moral" ini mencerminkan kemerosotan nilai-nilai etika dalam politik, di mana perilaku transaksional telah menjadi hal yang lazim dalam arena politik, termasuk Pilkada. Budaya politik yang transaksional tidak hanya melemahkan kepercayaan publik, tetapi juga menghalangi demokrasi yang sehat dan adil. Untuk mengatasi masalah ini, pendidikan politik yang berfokus pada etika dan tanggung jawab menjadi kebutuhan mendesak. Masyarakat harus dididik untuk memahami bahwa politik bukan sekadar perebutan kekuasaan, melainkan sarana untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama. Pendidikan ini tidak hanya terbatas pada lembaga formal, tetapi juga harus melibatkan berbagai pihak, termasuk lembaga pendidikan, media, dan tokoh masyarakat, dalam menanamkan nilai-nilai integritas dan moralitas.
Dalam konteks ini, pandangan Nurcholish Madjid, atau yang lebih dikenal sebagai Cak Nur, tentang konsep "Civil Society" menjadi sangat relevan. Menurut Cak Nur, Civil Society adalah masyarakat yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya, serta berperan aktif dalam menjaga dan memelihara nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kebebasan. Cak Nur memandang bahwa masyarakat madani yang kuat adalah pilar utama dalam menciptakan politik yang beradab. Dalam konsep ini, masyarakat tidak hanya menjadi penonton pasif, melainkan aktor utama yang terlibat aktif dalam proses politik, terutama dalam mengawasi dan mengontrol kekuasaan.