Mohon tunggu...
Andi Geerhand
Andi Geerhand Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

Listen with courisity. Speak with honesty. Act with integrity. Because different is not wrong, so do it.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Stunting Moral dan Upaya Mewujudkan Politik Beradab dalam Pilkada: Tinjauan Filosofis dan Regulatif

20 September 2024   16:55 Diperbarui: 23 September 2024   14:45 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik seharusnya menjadi instrumen untuk mencapai tatanan sosial yang lebih baik, dengan keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan sebagai tujuan utamanya. Namun, realitas politik di banyak negara, termasuk Indonesia, kerap kali menyimpang dari idealisasi ini. Politik tidak lagi dipahami sebagai ruang untuk merumuskan dan menjalankan kebijakan yang membawa manfaat bagi masyarakat luas, melainkan menjadi arena perebutan kekuasaan yang didorong oleh ambisi pribadi dan kelompok. Di tengah situasi seperti ini, muncul fenomena yang dapat disebut sebagai "stunting moral", di mana nilai-nilai moral yang seharusnya menjadi fondasi dalam setiap tindakan politik justru mengalami degradasi yang signifikan.

Stunting moral dalam politik mencerminkan kondisi di mana etika publik seperti kejujuran, integritas, keadilan, dan tanggung jawab terkikis, sehingga mempengaruhi perilaku politik aktor-aktor yang terlibat dalam proses tersebut. Kondisi ini dapat dianalogikan dengan fenomena stunting dalam dunia kesehatan, di mana kekurangan asupan gizi mengakibatkan keterhambatan dalam perkembangan fisik anak. Dalam konteks moralitas, stunting ini terjadi karena masyarakat---baik politisi, penyelenggara pemilihan, maupun pemilih---kehilangan akses terhadap nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi "gizi" bagi pembentukan karakter moral yang baik. Akibatnya, tercipta masyarakat yang cenderung permisif terhadap pelanggaran moral dalam politik, seperti korupsi, politik uang, penyebaran hoaks, dan eksploitasi identitas, yang semuanya menjadi ciri dari stunting moral ini.

Fenomena ini bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Berbagai aspek dalam politik Indonesia, terutama dalam Pilkada, turut menjadi penyebab terjadinya stunting moral. Praktik politik transaksional, penggunaan uang sebagai alat untuk mempengaruhi pilihan politik, dan manipulasi media serta informasi, semakin memperparah kondisi ini. Banyak politisi yang rela mengesampingkan nilai-nilai moral demi meraih kemenangan, dengan mengorbankan kepercayaan publik terhadap integritas politik itu sendiri. Situasi ini menimbulkan dampak negatif yang meluas, tidak hanya dalam hal kualitas pemimpin yang dihasilkan, tetapi juga dalam pembentukan kultur politik yang beradab dan demokratis.

Dari sudut pandang filosofis, stunting moral ini mengindikasikan adanya krisis eksistensial dalam cara kita memandang politik. Ketika politik tidak lagi diorientasikan untuk mencapai kebaikan bersama, tetapi lebih pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, maka moralitas terpinggirkan. Aristoteles, dalam karya besarnya "Politika", menekankan bahwa politik seharusnya bertujuan untuk mencapai "eudaimonia", yaitu kebahagiaan atau kesejahteraan tertinggi bagi seluruh masyarakat. Politik yang kehilangan aspek moralitasnya, baik melalui korupsi, manipulasi, maupun pelanggaran etika lainnya, berarti telah melenceng jauh dari prinsip tersebut. Sebaliknya, politik menjadi sekadar alat untuk mencapai kekuasaan, tanpa memedulikan dampak etis dari tindakan-tindakan tersebut.

Pemikiran Hannah Arendt tentang "banalitas kejahatan" juga memberikan pandangan yang mendalam tentang fenomena stunting moral ini. Arendt menggambarkan bagaimana kejahatan dalam konteks tertentu, tidak selalu dilakukan oleh orang yang secara sadar berniat jahat, melainkan terjadi karena adanya proses normalisasi atas tindakan-tindakan amoral dalam masyarakat. Dalam politik Pilkada, misalnya, praktik politik uang dan eksploitasi isu identitas seringkali tidak lagi dianggap sebagai kejahatan serius, tetapi sebagai bagian dari "strategi" yang umum dilakukan untuk memenangkan pertarungan politik. Fenomena ini memperlihatkan betapa dalamnya moralitas telah tersingkir dari arena politik, sehingga apa yang seharusnya menjadi pelanggaran besar justru diterima sebagai praktik yang wajar.

Namun, stunting moral ini bukan hanya masalah yang berakar pada elite politik, melainkan juga mencerminkan kondisi masyarakat secara keseluruhan. Ketika masyarakat sebagai pemilih mulai permisif terhadap praktik-praktik amoral dalam politik, seperti menerima uang untuk memilih, maka fenomena stunting moral ini menjadi masalah yang lebih sistemik. Demokrasi yang seharusnya menjadi sistem yang menjamin adanya partisipasi politik yang etis dan bertanggung jawab, justru terdistorsi oleh kepentingan-kepentingan pragmatis yang mengorbankan nilai-nilai moral.

Dengan demikian, fenomena stunting moral dalam politik, khususnya dalam Pilkada di Indonesia, bukan sekadar masalah teknis tentang pelanggaran aturan dalam pemilihan, melainkan sebuah krisis moral yang jauh lebih mendalam. Ini adalah sebuah cerminan dari betapa jauhnya politik telah terlepas dari akar moralitas yang seharusnya menjadi panduan utama dalam setiap tindakan politik. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan pendekatan yang tidak hanya bersifat teknis-regulatif, tetapi juga filosofis dan kultural, di mana masyarakat secara kolektif perlu mengembalikan politik kepada tujuannya yang luhur: untuk mencapai kebaikan bersama.

Dimensi Regulatif : Kelemahan Implementasi Hukum dalam Pilkada

Secara normatif, Indonesia telah membangun kerangka hukum yang cukup komprehensif untuk menjaga integritas proses demokrasi, termasuk dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Salah satu fondasi hukum yang berperan penting dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Regulasi ini secara eksplisit menegaskan larangan terhadap berbagai bentuk kecurangan, seperti politik uang, manipulasi suara, dan segala upaya yang bertujuan merusak prinsip-prinsip kejujuran, keterbukaan, dan akuntabilitas dalam proses pemilihan. Pasal 73 Ayat (4) secara khusus mengatur mengenai larangan bagi calon atau pasangan calon, anggota partai politik, tim kampanye, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk melakukan tindakan melawan hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara memberikan uang atau materi lain sebagai imbalan untuk mempengaruhi pilihan politik masyarakat.

Regulasi ini sudah dirancang untuk memastikan agar proses Pilkada berjalan bersih, jujur, dan adil, di mana setiap kandidat dapat bersaing secara sehat berdasarkan kualitas kepemimpinan dan visi politiknya, bukan melalui kekuatan finansial atau taktik manipulatif. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan bahwa undang-undang tersebut gagal dijalankan secara efektif. Banyak kasus pelanggaran dalam Pilkada yang berakhir tanpa penindakan serius, atau bahkan dibiarkan tanpa penyelesaian, menandakan adanya kesenjangan besar antara regulasi yang sudah baik secara teks dan implementasi yang masih lemah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun