Mohon tunggu...
ANDI FIRMANSYAH
ANDI FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Guru - Guru yang Belum Tentu Digugu dan Ditiru

Hanya Seorang Marhaen yang menyenangi bidang Geopolitik, Sejarah dan Ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hegemoni Super Power di Asia Selatan

7 November 2023   20:05 Diperbarui: 7 November 2023   20:15 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kekuasaan Inggris atas negara-negara bagian India tidak ada lagi sejak tanggal 15 Agustus 1947. Saat Undang-undang Kemerdekaan India mulai berlaku yang membebaskan negara-negara bagian dari kewajiban dan menjadikannya independen secara teknis dan hukum.  

Pakistan kemudian mengorganisir invasi ke Negara Bagian Jammu dan Kashmir dan merebut tiga puluh enam persen negara bagian tersebut. Hingga akhirnya pada bulan Oktober 1947 dan dalam situasi yang sangat sulit yang diciptakan oleh Pakistan, Maharaja negara tersebut memutuskan untuk menyetujui persatuan India.  

Lord Mountbatten, Gubernur Jenderal India saat itu, menulis surat terpisah kepada Maharaja yang menyatakan bahwa hal tersebut konsisten dengan kebijakan Pemerintah India di mana pertanyaan tentang aksesi telah menjadi subjeknya. Perselisihan harus diputuskan sesuai dengan keinginan rakyat.  

Segera setelah hukum dan ketertiban dipulihkan di Kashmir dan tanahnya dibersihkan dari penjajah, pertanyaan tentang aksesi negara harus diselesaikan dengan daulat harus ada pada rakyat.

Bila dicermati, faktanya menunjukkan bahwa politik plebisit merupakan salah satu bentuk imperial design.  

Pemerintah Inggris ketika menentukan kerangka hukum untuk status politik masa depan negara-negara di India berharap bahwa negara-negara yang lebih besar akan tetap independen sehingga kerajaan subkontinental akan terdiri dari dua wilayah kekuasaan saja yaitu India dan Pakistan.  

Negara-negara bagian akan menjadi unsur geopolitik ketiga di anak benua Asia Selatan. Harapan mereka agar negara-negara bagian dan Pakistan ini tetap mempertahankan hubungan yang erat dengan Pemerintah Inggris.  

Ketika mayoritas negara bagian menyetujui India, rencana Inggris menjadi kacau.  

Aspirasi maharaja Hari Singh dari Jammu dan Kashmir untuk mengubah negaranya menjadi negara merdeka merupakan peluang terakhir yang ingin dimanfaatkan oleh Pemerintah Inggris untuk memperkuat pengaruhnya dan menciptakan persamaan strategis dengan Pakistan untuk mencapai tujuan ini.  

Baik Lord Mountbatten maupun Perdana Menteri Inggris saat itu Clement Atlee tidak senang dengan masuknya Jammu dan Kashmir ke India. Maka atas saran mereka yang jelas bertentangan dengan nalurinya sendiri, Jawaharlal Nehru membawa masalah ini ke PBB dan menawarkan referendum di negara bagian tersebut.  

Di PBB, para negara-negara imperialis kemudian mengubahnya menjadi 'sengketa teritorial' antara India dan Pakistan. Hal ini membuat isu pemungutan suara menjadi rumit dan meletakkan dasar bagi keterlibatan pihak ketiga dalam isu tersebut.

Permasalahan menjadi semakin rumit saat adanya keterlibatan negara-negara besar khususnya Amerika Serikat.  Alasan utama keterlibatan mereka adalah tingginya signifikansi strategis Kashmir.  

Terletak di utara anak benua di persimpangan lima negara berdaulat yaitu India, Pakistan, Tiongkok, Uni Soviet, dan Afghanistan, Kashmir mempunyai arti strategis bagi mereka semua.  

Daerah ini memiliki hulu sungai dari tiga sungai penting di bagian barat anak benua ini yaitu sungai Indus, Jhelum dan Chenab serta memiliki sumber daya hutan dan mineral yang sangat besar.  

Bahkan Presiden Dewan Keamanan, Gunnar Jarring ketika mengunjungi lembah Kashmir pada bulan Maret -- April 1957 menulis dalam laporan yang diserahkannya kepada Dewan bahwa ia selalu memperhatikan perubahan faktor politik, ekonomi dan strategis di seluruh Kashmir. Hal itu seiring dengan perubahan pola hubungan kekuasaan di Asia Barat dan Selatan.

Tahun-tahun awal lima puluhan memberi semangat bagi Pakistan terutama karena semakin berkembangnya pemahaman mereka dengan AS mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan keamanan.  

Perkembangan yang berdampak buruk pada hubungan Indo-Pak termasuk bantuan militer AS ke Pakistan dan keanggotaannya dalam pakta militer Barat yaitu South East Asia Treaty Organization (SEATO) pada bulan September 1954 dan Pakta Bagdad yang kemudian dikenal sebagai Central Treaty Organization (CENTO) pada bulan Juli  1955.

India akhirnya menyadari fakta tersebut dan secara konsisten mengkritik hubungan militer Pakistan dengan AS.  Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, dalam suratnya kepada mitranya dari Pakistan pada tanggal 9 Desember 1953, mengeluh bahwa bantuan militer AS ke Pakistan akan 'sepenuhnya' mengubah aspek masalah Kashmir.  

Pertama, politik bantuan dan aliansi mewajibkan AS untuk mendukung Pakistan dalam hal Kashmir dan akibatnya menarik dukungan Soviet ke India mengenai Jammu dan Kashmir sehingga menjadikannya sebuah isu dalam periode perang dingin.

Kedua, hal ini membuat Pakistan ambisius dan mendorong hal tersebut untuk menekan India agar memberikan konsesi.  

Pakistan kini memiliki sekutu yang bersedia mendukungnya jika terjadi krisis yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang.  

Berkali-kali dan secara konsisten beberapa anggota Dewan Keamanan dengan tegas mendukung pendirian sah Pakistan mengenai Kashmir selama diskusi.  

Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa Eisenhower, yang saat itu menjabat sebagai Presiden Amerika telah secara pribadi meyakinkan Nehru pada bulan Maret 1954 bahwa Amerika Serikat menganggap India sebagai pilar 'dunia bebas', tidak bermaksud untuk mempromosikan Pakistan dengan mengorbankan India dan dengan senang hati menawarkan bantuan kepada India jika Nehru menginginkannya.

Menanggapi keanggotaan Pakistan di SEATO dan CENTO, Uni Soviet mengambil tindakan sendiri dalam kebijakan Kashmir dan menyebut Kashmir mempertanyakan urusan dalam negeri India tetapi mengecam upaya imperialis AS untuk mengubah lembah tersebut menjadi jembatan strategis melawan Uni Soviet.  

Pendirian India yang tidak kenal kompromi terhadap Kashmir mendapat dorongan yang signifikan dari para pemimpin Soviet yang mengunjungi India dan menyatakan bahwa Kashmir adalah bagian tak terpisahkan dari India dan menambahkan lebih lanjut bahwa persoalan Kashmir sebagai salah satu negara bagian India telah diputuskan oleh orang Kashmir sendiri.  

Pada bulan Februari 1957, Uni Soviet menggunakan veto pertamanya untuk mendukung India atas resolusi Barat mengenai Kashmir yang diajukan di Dewan Keamanan. Hal serupa juga terjadi pada tahun 1962 dan tahun-tahun berikutnya.  

Nehru merasa sedih dengan politik kelompok Anglo-Amerika mengenai Kashmir di PBB. Dia bereaksi tajam dengan mengatakan bahwa merupakan sebuah kemalangan bagi India jika dua negara besar, Amerika Serikat dan Inggris selalu menentangnya dalam hal-hal yang menjadi perhatian besarnya.  

Banyak resolusi telah diadopsi dan banyak rekomendasi telah dibuat untuk India dan Pakistan. Namun permasalahan ini masih belum terselesaikan sejauh menyangkut Dewan Keamanan.  

Dewan Keamanan telah gagal menemukan solusi apa pun yang bisa diterapkan terutama karena tarik-menarik antara dua negara besar dan sekutunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun