Mohon tunggu...
Andi Firmansyah
Andi Firmansyah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang pendidik yang bertugas di Tanjung Balai Karimun Prov. Kepri Aktif menulis di beberapa forum yang berkaitan dengan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jalan Menuju Dunia Baru

1 April 2016   20:10 Diperbarui: 1 April 2016   20:18 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun 2006 Wakil Presiden Amerika Serikat, Al Gore muncul dengan filem dokumenternya yang berjudul “An Incovenient Truth” berbicara tentang bahayanya pemanasan global akibat dari efek rumah kaca yang diakibatkan oleh meningkatnya CO2 dari aktifitas manusia. Disamping menyebabkan perubahan cuaca yang ekstrim, pemanasan global juga menyebabkan mencairnya es di kutub utara sehingga mampu meningkatkan permukaan air laut di seluruh dunia yang sudah pasti mengancam banyak Negara-negara kepulauan kehilangan masa depannya.

Filemnya sendiri sukses membuat dunia menyadari akan bahayanya pemanasan global dan bahkan memenangkan piala Oscar tahun 2007. JUga pada tahun yang sama, Al Gore bersama dengan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) mendapat Nobel Perdamaian atas usahanya membangun kesadaran bangsa-bangsa di dunia akan bahayanya pemanasan global dan perubahan cuaca ekstrim.

Namun sayangnya isu tentang pemanasan global dan perubahan cuaca sekarang sudah tidak populer lagi. Orang-orang sudah tahu bahwa itu cuma kecapnya Mr. Al Gore saja untuk menaikkan popularitasnya agar dapat maju ke pemilihan presiden berikutnya. Saat ini banyak orang di seluruh dunia sudah tahu bahwa tidak selamanya bumi mengalami pemanasan. Adakalanya bumi mengalami pendinginan secara alamiah.

Hanya yang bertahan saat ini adalah isu perubahan cuaca sebab masih banyak bagian di dunia ini yang memang mengalami fenomena perubahan cuaca ekstrim tersebut. Para pendukung isu ini kerap mengajak warga dunia untuk bertindak dan berusaha untuk menghentikan fenomena ini. Meskipun dari pihak yang kontra dengan isu ini menolak mentah-mentah ide mereka. 

Pihak yang kontra mengganggap bahwa fenomena perubahan cuaca itu biasa. Perubahan cuaca itu bisa saja dipengaruhi oleh kejadian-kejadian alam yang biasa seperti aktifitas gunung berapi ataupun pengaruh matahari. Mereka berpendapat bahwa tidak ada yang aneh dengan peristiwa alam saat ini. Semuanya itu adalah bagian dari siklus yang dialami alam seperti biasanya. Sehingga sangat naïf apabila menimpakan semuanya itu pada ulah dan perbuatan manusia.

 

Sementara bagi kita secara ekonomi dan politik isu ini sangat mengganggu sekali karena menghambat kita untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Isu-isu lingkungan seperti ini tentunya akan bertabrakan dengan kepentingan ekonomi seperti pembukaan perkebunan kelapa sawit, industry kertas, industry perkayuan dan pertambangan. Sedangkan bagi Negara maju isu ini menjadi makanan empuk bagi politisi sayap kanan untuk menggantikan sistem saat ini yang mereka anggap gagal dengan sistem lain. Bahkan ada juga yang berpikiran untuk menyatukan seluruh Negara-negara di dunia ini dalam sebuah TATANAN DUNIA BARU.

Sebenarnya jauh sebelum isu perubahan iklim, tepatnya tahun 1972 ada peringatan penting tentang masalah yang akan dihadapi oleh peradaban manusia. Peringatan ini datang dari The Club of Rome, yaitu suatu NGO yang bergerak dibidang isu-isu lingkungan hidup lewat sebuah buku yang berjudul “The Limit To Grow” ditulis oleh para saintis MIT yaitu Dennis Meadows, Jorgen Randers, Donella Meadows, and William Behrens.

Meskipun buku itu ditulis oleh Dennis Meadow dan kawan-kawan namun idenya datang dari Aurielo Peccei, salah sseorang industrialis eksentrik berkebangsaan Italia, yang memperingatkan tentang dampak industry, polusi dan populasi manusia terhadap kelangsungan hidup manusia. Kemudian atas bantuan dana dari Volkswagen Foundation, Club of Rome akhirnya membiayai sebuah studi yang diprakarsai oleh seoarng professor MIT bernama Jay Forrester. Jadi sistem yang dibuat dari hasil studi ini mencoba untuk mengobservasi perilaku dari sebuah sistem yang sangat kompleks berdasarkan variable input yang beragam. Oleh karena itu maka sang professor meminta Dennis Meadow untuk membantunya dalam riset tentang efek pertumbuhan ekonomi pada kondisi lingkungan.  Hasilnya adalah buku tersebut.

Dalam melakukan risetnya mereka merancang sebuah software untuk melihat efek jejak ekologis manusia pada bumi ini. Jejak ekologis manusia sendiri adalah dampak yang diakibatkan oleh aktifitas manusia pada alam, termasuk juga eksplorasi sumber daya alam untuk berbagai tujuan.

 

Buku itu lantas menjadi Best Seller. Terjual hampir 12 juta kopi dan diterjemahkan kedalam 30 bahasa. Namun sayangnya buku itu hanya jadi bahan literature saja tapi tak menghasilkan apapun. Meskipun banyak media mendukung buku tersebut karena mereka menganggap buku tersebut mampu memprediksi kehancuran yang akan dialami oleh manusia pada akhir abad ke dua puluh karena kerusakan alam. Padahal sebenarnya buku tersebut bukan hanya memprediksi, tapi juga memaparkan scenario alternative  yang bisa saja terjadi tergantung kepada beragam faktor dan kondisi saat itu.

 

Ada 12 skenario yang didiskusikan pada buku ini. Tujuh diantaranya mengisahkan tentang hancurnya peradaban manusia. Hanya empat scenario yang yang mengisahkan tentang peradaban yang sstabil dan dapat bertahan. Jadi di buku itu mereka tidak hanya memprediksi tapi juga memberikan solusi alternative untuk menghindari hancurnya sebuah peradaban. Kuncinya manusia harus berubah.

 

Meskipun media mendukung, namun tidak ada satupun usaha untuk mengaplikasikan pesan-pesan penting yang ada di buku itu. Terlalu banyaknya kritk dan debat menjadi salah satu penyebab tidak adanya usaha untuk melakukan perubahan tersebut.

 

Kembali lagi ke riset yang digagas oleh Professor Jay Forrester, sistem berbasis komputerisasi itu gunanya adalah untuk memahami perilaku dari sistem yang kompleks. Dengan sistem tersebut diharapkan kita mengetahui perubahan apa yang dibutuhkan agar mendapatkan output yang lebih baik.

 

Ada dua sistem yang diterapkan yaitu Buka dan Tutup. Di sistem Buka, output yang dihasilkan tidak berdampak pada input. Contohnya sistem pemrosesan makanan. Dalam hal ini yang menjadi contoh adalah Bumbu makanan (Input) terhadap makanan siap saji (output). Sistem Tutup malah lebih komplks lagi. Hasil output berpengaruh pada Inputnya. Misalnya, Jika efek yang timbul memperkuat Input maka disebut efek positif sedangkan bila sebaliknya maka disebut Efek Negatif. Salah satu contohnya adalah ekosistem yang ada di bumi.

 

Faktor-faktor yang menjadi penentu dalam sistem ini diantaranya adalah populasi manusia, produksi makanan, produk-produk industry, sumber daya alam dan polusi. Kondisi yang diharapkan dari sistem ini adalah kestabilan ekosistem dalam jangka panjang. Sedangkan kondisi yang tidak diinginkan dan membuat sistem jadi kolaps disebut Overshoot.

 

Untuk lebih jelasnya kita mengenal sistem tersebut marilah ikuti ilustrasi berikut ini :

“ Orang yang minum bir segelas sehari masih bisa dikatakan memiliki kondisi stabil sebab metabolism didalam tubuhnya masih mampu menyerap bir tersebut tanpa masalah. Nah yang menjadi masalah adalah saat dia sudah mulai mengkonsumsi bir tiga gelas sehari. Kondisinya akan menjadi tidak stabil sebab kadar alcohol dalam tubuhnya tidak mampu lagi diserap oleh metabolism tubuhnya sehingga orang tersebut dikatakan Overshoot alias Mabok. Kondisi Mabok ini juga dapat terjadi kalau kita mengemudikan mobil terlalu kencang atau melakukan tikungan tajam dalam kecepatan tinggi.”

 

Kondisi yang diinginkan atas ekosistem yang ada di bumi ini tentulah stabil. Namun pada kenyataannya, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh para saintis ini menunjukkan trend bahwa bumi sedang dalam keadaaan mabok berat. Kondisi ini terjadi karena ada dua faktor yang pertumbuhannya melampaui batas yang telah ditentukan oleh sistem tersebut.

 

Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

1. Populasi Manusia.

Logikanya untuk menjamin kelangsungan sebuah spesies maka spesies tersebut harus memiliki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan spesies tersebut. Masalah terjadi apabila angka kelahiran justru melebihi angka kematian. Maka timbullah yang disebut Pertumbuhan Populasi. Tahun 1650 jumlah manusia sekitar 500 juta dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 0.3 persen. Dengan hitungan sederhana 70/persen Pertumbuhan Populasi harusnya angka ini akan menjadi 1 Milyar setelah 230 tahun kemudian. Namun kenyataannya pada tahun 1900 penduduk dunia sudah 1,6 Milyar dengan tingkat rata-rata pertumbuhan 0.7 persen. Tahun 1965 penduduk dunia jadi 3,3 Milyar dengan tingkat populasi sekitar 2 persen per tahun. Meskipun setelah tahun 1965 tingkat populasi penduduk dunia menurun sekitar 1,5 persen namun apabila dikalkulasikan kembali maka penduduk dunia itu bertumbuh dalam jangka waktu hanya 50 tahun. Sekarang saja penduduk dunia sudah 7 Milyar.

 

2. Pertumbuhan Ekonomi.

Pada masa-masa awal revolusi industry, kombinasi antara mesin dan minyak bumi telah membuat manusia mampu menghasilkan produk yang lebih baik dan kerja yang lebih efisien tentunya. Alhasil, mesin menjadi hal yang pokok dalam sebuah industry dan terus tumbuh. Pada waktu itu polusi belumlah menjadi persoalan karena masih mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Makin lama manusia semakin banyak maunya maka semakin banyak mesin diciptakan untuk esmua kebutuhan itu. Pada akhirnya produk hasil industry menjadi ukuran kesejahteraan suatu masyarakat. Pertumbuhan ekonomi menjadi bagian integral bagi peradaban manusia. Maka tak salah apabila seluruh Negara di dunia ini selalu mengejar pertumbuhan ekonomi yang positif.

 

Dari semua pertumbuhan itu, dunia masih di hantui pula oleh serba keterbatasan. Keterbatasan-keterbatasan itu antara lain :

1. Keterbatasan Minyak, gas dan batu bara.

Sejak revolusi industry sumber daya yang satu ini sangat berperan sekali terutama minyak bumi. Minyak bumi selain digunakan sebagai bahan bakar juga digunakan untuk industtri kimia. Meskipun saat ini gas dan batu bara masih tersedia dalam jumlah besar, namun apabila melihat trend kebutuhan akan energi saat ini bisa jadi ke depan kita akan sulit sekali menemukan sumber daya yang satu ini.

 

2. Keterbatasan Sumber daya tambang.

Saat ini ada beberapa sumber daya tambang yang tersedia dalam jumlah besar walau sebagian mungkin sudah mendekati titik nadir. Ada kekhawatiran yang menyelimuti dunia saat ini apabila eksplorasi terhadap sumber daya yang satu ini masih terus berlanjut.      

 

3. Keterbatasan Kemampuan produksi dari sumber daya yang dapat diperbaharui.

Salah satu contohnya adalah tanah pertanian, perkebunan dan hutan. Semuanya ini tergantung kepada kemampuan tanah dalam mengembalikan tingkat kesuburannya lagi. Kalau manusia hanya fokus dalam mengejar target produksi maka sudah bisa dipastikan kesuburan tanah akan semakin menurun dan sekaligus akan menurunkan produksi. Untuk mengatasi semua itu manusia kemudian menciptakan bahan kimia penyubur tanah dan pestisida buatan yang dalam jangka waktu lama justru malah merusak ekosistem itu sendiri.

Hutan yang dijadkan sebagai paru-paru dunia semakin lama akan semakin kehilangan fungsinya apabila Illegal Logging masih belum ada penyelesaiannya sampai saat ini.

Laut yang menjadi penghasil utama beragam jenis ikan pun akan semakin terkuras habis apabila manusia masih terus rakus menikmatinya tanpa pernah memikirkan proses regenerasi dari ikan-ikan tersebut.

4. Keterbatasan Kemampuan Ekosistem dalam Menyerap Limbah dan Polutan secara Alamiah.

Ekosistem di planet ini diciptakan oleh Yang Maha Kuasa memiliki kemampuan menyerap limbah dan Polutan secara alamiah. Contohnya bagaimana pepohonan secara alamiah mampu mengubah CO2 menjadi O2. Begitu pula limbah industry dan limbah rumah tangga sebenarnya dalam jumlah tertentu masih bisa diurai secara alamiah oleh beragam mikroorganisme maupun melalui proses oksidasi. Namun yang menjadi permasalahan adalah apabila limbah maupun polutan itu sudah melampaui ambang batas yang dapat diurai sehingga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan.

Pada masa-masa awal Revolusi Industri tentu hal ini tidak pernah dipikirkan sebelumnya sebab waktu itu segala keterbatasan diatas belum dijumpai. Semuanya masih tersedia dengan berlimpah ruah. Sehingga industry dibiarkan tumbuh dengan cepat. Mesin-mesin diciptakan untuk memenuhi pertumbuhan ekonomi. Para pemilik modal dibiarkan berlaku sesuka hatinya untuk memperbesar pundi-pundi uangnya. Kondisi ini terus berlanjut bahkan sampai saat ini.

Keinginan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi tentu berakibat penggunaan sumber daya alam dan sumber energi untuk industry. Perkembangan sains dan teknologi tak pelak juga ikut mempercepat perkembangan industry. Meningkatnya kemakmuran suatu Negara ditambah penemuan-penemuan baru dibidang kesehatan membuat pertumbuhan penduduk semakin menjadi-jadi karena secara tidak langsung mengurangi angka kematian penduduk. Semakin meningkatnya populasi maka secara otomatis pasar akan semakin luas. Sehingga tingkat populasi dijadikan tolak ukur peningkatan pertumbuhan ekonomi. Saat masih ada ruang untuk dua komponen ini maka pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi adalah simbiosis mutualisme yang salling memberikan umpan balik positif satu sama lain.

Saat dua komponen ini bergerak maka sudah pasti ada 4 hal yang ikut bergerak naik yaitu eksploitasi sumberdaya alam yang tidak dapat di perbaharui dan dapat diperbaharui, eksploitasi sumber daya mineral dan juga polusi. Dulu saat Revolusi Industri semuanya bukan masalah karena masih dapat ditolerir oleh alam apalagi ruang yang tersedia masih sangat luas. Maka pertumbuhan ekonomi benar-benar menjadi lokomotif tanpa memikirkan konsekuansinya di masa datang. Konsekuensi yang harus dibayar oleh generasi selanjutnya.

 

Bak melihat rumput tetangga yang semakin menghijau akibat pertumbuhan ekonomi ini maka banyak Negara kemudian mulai memacu pertumbuhan ekonominya juga agar dapat menyamai hijaunya rumput tetangga. Cara yang paling cepat dan instan untuk memenuhi semua itu apalagi kalau dengan berhutang. Maka berbondong-bondonglah mereka mengajukan proposal ke lembaga-lembaga keuangan dunia untuk membangun Negara masing-masing. Berhutang artinya yang ambil kakek yang bayar cucu. Praktek ini secara moral memang sangat tidak dapat dipertanggungjawabkan. Namun itulah yang terjadi di banyak Negara saat ini.

 

Selanjutnya pertumbuhan ekonomi juga membuat aktifitas perdagangan meningkat drastis dan menuntut perubahan fundamental dalam sistem keuangan. Sistem keuangan yang biasanya disokong oleh cadangan emas, dengan meningkatnya aktifitas perdagangan maka sistem ini menjadi tidak relevan lagi. Itulah mengapa pada tahun 1970 Presiden Nixon memutuskan untuk tidak lagi menyandarkan Dolar Amerika dengan cadangan emas Negara. Sejak saat itulah sistem keuangan dunia tidak lagi dikaitkan dengan cadangan emas Negara tapi berdasarkan kepercayaan dan dinamisasi pasar bebas. Sistem keuangan yang pada akhirnya hanya mengantarkan manusia kepada kehancuran.

 

Berikut ini akan saya sajikan sebuah ilustrasi untuk menggambarkan permasalahan yang terjadi apabila pertumbuhan penduduk tidak dibatasi :

“Pada suatu hari tibalah 4 orang keluarga di sebuah pulau tak berpenghuni. Keempatnya kemudian bersepakat untuk membuat koloni di pulau itu. Mereka bersepakat untuk membagi pulau tersebut menjadi dua bagian. Setengah untuk perkampungan, sawah dan perkebunan sementara setengahnya lagi sebagai tanah ulayat atau bisa juga sebagai tempat berburu apabila mereka butuh daging. Tiga keluarga memutuskan untuk tinggal di perkampungan sementara yang satu lagi ditasbihkan sebagai Kepala atau pemangku adat dan sebagai haknya diberikan setengah dari tanah ulayat. Seiring waktu berlalu perkampungan menjadi semakin padat karena disamping tiga orang tadi ternyata mereka juga pada akhirnya mengajak sanak saudaranya untuk menetap di pulau tersebut. Salah satunya merasa khawatir. Mereka akhirnya membuat kesepakatan lagi untuk berunding dengan pemangku adat agar bersedia melepaskan seperempat bagian dari tanah ulayat. Pemangku adat setuju. Lima tahun kemudian tanah itupun menjadi padat lagi oleh pertumbuhan penduduk. Selanjutnya pemangku adat merelakan lagi seperempat tanah ulayat untuk dijadikan perkampungan sampai yang tersisa hanya bagian dari Kepala Adat. Mereka bingung lagi. Akhirnya diputuskan para pemuda dipaksa untuk berlayar menemukan tanah yang baru agar bisa dibuat perkampungan. Ketemulah mereka dengan tiga pulau – pulau kecil yang bisa mereka diami. Lima tahun berlalu satu pulau penuh. Lima tahun kemudian pulau satu lagi penuh dan pada akhirnya keempat pulau itupun penuh semua.”

 

Coba anda bayangkan! Setelah menemukan tiga pulau pun ternyata bukan sebuah solusi dalam mengatasi meningkatnya jumlah penduduk. Semuanya itu hanya memberi kita kesempatan untuk bernafas sebentar saja untuk kemudian menghadapi masalah yang sama kembali. Meskipun saat ini pertumbuhan penduduk dapat diatasi namun yang sulit diatasi adalah pertumbuhan ekonomi. Para ahli ekonomi dan politisi masih menganggap penting pertumbuhan ekonomi dalam mensejahterakan masyarakat. Padahal pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan jurang antara si kaya dan si miskin.

 

Untuk mengatasi semua persoalan diatas maka ada tiga solusi yang bisa kita ambil berdasarkan saran dari buku tersebut.

 

Solusi Pertama.

Jika trend pertumbuhan baik penduduk maupun ekonomi masih berlanjut maka sudah dapat dipastikan bumi mengalami kondisi Overshoot alias Mabok. Perubahan harus diupayakan kalau peradaban manusia tidak mau musnah.

 

Solusi Kedua.

JIka kita memilih untuk menjaga menjaga ekologi tetap stabil maka langkah yang harus diambil adalah mengendalikan laju pertumbuhan penduduk dan laju pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan penduduk sudah bisa diatasi tapi laju pertumbuhan ekonomi? Ini yang menjadi pertanyaan. Seakan-akan semua pemangku kebijakan dan kepala negara di seluruh dunia lumpuh saat berhadapan dengan yang satu ini. Semuanya jadi bego sehingga tak mampu lagi memikirkan model ekonomi alternative untuk menggantikan yang sudah ada. Apalagi ditunjang sistem demokrasi yang menuntut setiap politisi untuk terus berjanji mensejahterakan rakyatnya dengan menggunakan senjata pertumbuhan ekonomi agar bisa dipilih kembali.

 

Jika pilihannya menjaga keberlangsungan peradaban manusia maka jalan satu-satunya adalah merubah paradigma tentang pertumbuhan ekonomi. Kita sudah selayaknya mulai memikirkan sebuah sistem ekonomi yang lebih aman dan layak sebagai alternative di masa depan.

 

Solusi Ketiga.

Melaksanakan Solusi Kedua. Makin cepat makin bagus. Hanya saja masalahnya perubahan itu biasanya sulit karena akan ada banyak konflik kepentingan yang mewarnai debat dan protes yang tak ada juntrungannya dan selalu tak menghasilkan apa-apa. Semua ini tidak bisa didiamkan terlalu lama. Semakin lama masalah akan menjadi semakin kompleks dan perbaikannya pasti akan sangat sulit sekali. Kita juga tidak bisa melimpahkan masalah ini pada kaum elit dan para politisi yang lebih suka berdebat ketimbang menyelesaikan masalah. Perubahan ini harus datang dari akar rumput. Dari kita yang disebut Rakyat Jelata.

 

SEKARANG PILIHAN ADA DITANGAN KITA…         

 

SEBARKANLAH KEPADA ORANG LAIN SEBAGAI AMAL IBADAH ANDA AGAR BERMANFAAT JUGA BAGI YANG MEMBACANYA 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun