"Hanya menghargai orang lain yang berbeda," katanya singkat.
Ucapan itu sepertinya menegaskan tentang sikap penghargaan dan kepedulian sosial. Misalkan, tradisi di kedai Ie Leubeu dengan menyediakan air putih gratis dalam cerek besar.
Cerek itu diletakkan di atas meja, lengkap dengan beberapa gelas. Tukang parkir, pedagang kecil, pengemis dan siapa pun boleh melepas dahaga di kedai kopi Ie Leubeu.
***
Tradisi yang diperlihatkan itu merupakan jawaban kecil, bagaimana toleransi menjadi sketsa sosial sebagai bentuk human interest di antara sesama masyarakat di Pidie.
Memang dalam berbagai literatur sejarah, toleransi masyarakat Pidie terbentuk oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah pergaulan di antara pluralisme kebudayaan dan perdagangan internasional.
Ini terjadi jauh sebelum Indonesia dijajah oleh kolonialis. Transaksi perdagangan internasional mengalami kemajuan pesat. Ekspor impor terjadi dalam globalisasi hukum ekonomi dunia.
Penulis Inggris, Prof DGE Hall, bahkan melukiskan dalam bukunya, "History of South East Asia" berdasarkan catatan pelaut Portugal, Ludovico di Varthema.
Pedir (Pidie) merupakan wilayah yang maju pada abad ke-15. Pada saat itu, tak kurang 18 hingga 20 kapal asing mendarat setiap tahunnya. Peningkatan ekonomi di pelabuhan meningkat.
Berbagai komoditi diekspor oleh pengusaha dan masyarakat Pidie. Lada, kemenyan, dan sutra menjadi andalan kerajaan Pidie untuk dikirim ke negara Tiongkok. Hubungan inilah yang membuat Pidie kemudian kerap dilabelkan sebagai "China Hitam".
Korelasi pergaulan dagang internasional inilah salah satu penyebab, hingga masyarakat Pidie terbentuk karakter menemukan cara menghargai perbedaan, termasuk pada keyakinan.