“Tentu besar artinya. Atau kamu ingin saya panggil ‘Eh’ dan kadang-kadang ‘Hei’?”
Si cantik tertunduk malu dan pura-pura membaca buku. Pada saat saya hendak mengajak dia kencan makan siang, seorang teman yang ke sekian datang mengganggu tanpa diundang. Namanya Agus Suragus, anaknya Dadang Suradang.
“Bagaimana kabar Dadang, Gus? Anakmu itu sudah bisa berdiri?” tanya saya sekedar basa-basi.
“Plakkk!!” Dia menampar saya tiba-tiba. “Saya sudah melihatnya!”
“Siapa???”
“SBY!”
“Kamu…,” saya terbata, “Yakin? Sudah pegang dia?”
“Ya! Saya jabat tangannya. Kenyal berdaging dan keras bertulang. Bukan hantu, boneka, hollogram atau trik kamera seperti yang selama ini kamu bilang!”
Keyakinan saya mulai goyah. Saya melotot dan mencengkram kerah kemejanya. “Kamu tidak sedang mempermainkan saya kan?”
“Dalam masalah ini, saya tidak pernah bercanda. Bahkan, saya mendengar dia berbicara. Suaranya sama dengan suara manusia seperti kita. Hanya berlogat Jawa.”
“Plakkk!” saya tampar dia. “Jangan sembarangan menggunakan kata ‘kita’!!!”