Setelah itu mereka saling mengucapkan selamat tinggal.
Selepas kepergian kekasihnya yang bagaikan kereta malam itu. Ketika gadis muda itu menapakkan kaki setelah pintu gerbang dibuka setengah. Dia itu bisa merasakan sebuah perasaan atas segala kekosongan hidup dari dalam rumah tersebut.
Lampu di teras berpiijar terang seperti berlian. Dibawah pijaran tersebut, sebuah meja bundar dikelilingi empat buah kursi busa berwarna hitam kehijauan, yang nampak padu dengan lantai. Gadis muda itu harus berjalan sepuluh langkah untuk mencapainya. Bel terpasang di tembok samping pintu. Angin dingin menyerobot seenaknya dari sela-sela jaket ketika menekan bel. Dua kali hingga tiga kali, namun tak ada sahutan. Karena hal itulah beberapa saat dia celingukan mirip maling. Dari kaca jendela matanya yang bulat mengintip kedalam ruangan. Yang terlihat hanyalah dua buah kursi besar dan meja kaca dengan vas bunga diatas karpet biru. Nampak mewah. Disebelahnya, berdiri sebuah lemari yang dipenuhi dengan piagam penghargaan. Namun, lebih jauh kedalam, dari sisi ruangan tengah, di dekat tangga. Seekor kucing berbulu tebal abu-abu melangkah ke ruangan depan. Langkah kakinya tak mampu menahan tubuhnya yang gemuk. Di bibir gadis muda itu, senyuman mengembang seperti layar perahu. Tangan kanannya menyapa seolah berkata 'halo'.
“Dion… Dion… lihat ada Joker.” Namun Dion hanya diam dan mengunci rapat-rapat mulutnya.
“Hey, nak!”
Tubuh gadis muda itu terhentak. Ketika wajahnya menoleh kebelakang. Dilihatnya wanita paruh baya menggandeng anak kecil dengan matanya melotot. Sedang tangan kanan wanita itu memegang mangkok berisi bakso. Colekan di bahunya dan suara serak dari wanita itu, hampir saja membuat jantungnya berhenti bekerja.
“Mencari Delina?" Gadis itu hanya menganggukkan kepala. "Kurasa dia pergi keluar bersama mama papanya, mungkin mencari makan.”
Nafas gadis muda itu menjadi tak teratur. Dengan sedikit terbata-bata dia berkata.
“Oh, begitu? Terima kasih... Biar saya menunggunya...”
“Tapi kau sudah membuat janji kan?”
“Sudah…”