Selain bersumber dari produk asuransi dan dana pensiun sebagaimana pengalaman diatas, "uang kaget" pada masa sulit juga bisa bersumber dari produk-produk keuangan lainnya, seperti dari produk tabungan dan/atau deposito sebagaimana pengalaman yang diceritakan oleh seorang ibu rumah tangga pada sebuah video yang berjudul "Korban Krisis Moneter 98 Malah Jadi Milyarder (Part 2) - #Deeptalk" di Channel youtube "Mudacumasekali". Â
ibu tersebut menceritakan bagaimana tiba-tiba beliau bisa menikmati keberuntungan yang begitu besar dan tidak diduga sebelumnya akibat peningkatan bunga simpanan bank yang fantastis di tengah-tengah krisis ekonomi tahun 1998 atas tabungan dan/atau deposito yang beliau miliki pada saat itu.
Manfaat tabungan tersebut juga sangat terasa pada masa pandemi Covid-19Â seperti yang terjadi saat ini. Karena walaupun ada pembatasan ruang gerak atau mobilisasi masyarakat selama masa PSBB ataupun new normal, bagi mereka yang memiliki tabungan di perbankan masih bisa beraktivitas dan bertransaksi walaupun hanya di rumah saja.Â
Dengan semakin maraknya platform digital penjualan barang, layanan jasa, penggalangan dana (crowdfunding) dan pelaksanaan pelatihan atau seminar secara online, serta didukung dengan ketersediaan layanan remitansi, sistem pembayaran elektronik atau pun penggunaan dompet digital (e-wallet) maka masyarakat masih bisa bertransaksi kapan dan dimanapun berada.
Begitupula yang dirasakan bagi mereka yang saat ini memiliki investasi, terutama dalam bentuk emas pada lembaga keuangan (baik bank maupun non bank). Disaat investasi lainnya (seperti reksadana/saham) mengalami tekanan, pemilik investasi emas bisa lebih bernafas lega karena harga emas pada masa pandemi Covid-19 ini masih dalam keadaan stabil, bahkan cenderung meningkat (money.kompas.com, 2020).
Pengalaman-pengalaman tersebut menggambarkan betapa pentingnya produk-produk keuangan pada masa sulit. Namun, sangat disayangkan bahwa sampai saat ini masih banyak diantara masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya memahami seluk beluk tentang produk-produk keuangan di Indonesia, sehingga bukannya mendapatkan keuntungan, malah menjadi korban dari maraknya investasi bodong dan lembaga kredit/pembiayaan ilegal di tengah-tengah masyarakat.
Karena tergiur oleh iming-iming imbal hasil yang sangat besar dan mengharapkan kemudahan dalam mengakses kredit/pembiayaan, banyak diantara mereka yang harus menderita kerugian, kehilangan dananya serta terjebak oleh bunga dan denda yang tidak terbatas.
Kejadian-kejadian diatas  mengisyaratkan perlunya digalakkan kembali upaya peningkatan keuangan inklusif, terutama terkait lieterasi dan akses masyarakat terhadap produk keuangan. Karena selain untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat terkait manfaat dari produk keuangan, peningkatan lieterasi dan akses masyarakat juga diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang cerdas serta mampu memilah, memilih dan memanfaatkan produk-produk keuangan secara tepat, terutama dalam keadaan bencana.
Khususnya terkait dengan upaya mitigasi bencana, sejak tahun 2018, sebenarnya Pemerintah telah merancang stategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) dalam rangka mewujudkan bangsa dan masyarakat yang tangguh dalam menghadapi bencana dan terjaminnya keberlangsungan berbagai program pembangunan.Â
Penekanan utama dalam PARB tersebut adalah tersedianya alternatif pembiayaan bencana di luar APBN/APBD, terutama dari asuransi, termasuk mengembangkan asuransi bencana dan asuransi mikro (khusus bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau UMKM). Bahkan, untuk melindungi pemilik polis asuransi dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap produk asuransi pada tahun 2020 ini Pemerintah juga telah merencanakan untuk membentuk lembaga penjaminan polis asuransi (Nasional.kompas.com, 2020). Â
Walaupun strategi-strategi tersebut telah sejalan dengan program-program inisiatif dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) Â yang telah dicanangkan sejak tahun 2016 silam, nampaknya strategi tersebut belum bisa diimplementasikan secara optimal pada saat ini. Oleh karena itu, seiring dengan ditetapkannya pandemi Covid-19 sebagai bencana non alam (melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020), literasi dan akses masyarakat yang sangat mendesak untuk ditingkatkan saat ini adalah khususnya tentang manfaat produk keuangan dalam kondisi bencana, serta keterkaitannya dengan stabilitas sistem keuangan dan makroprudensial.