Mohon tunggu...
Andi Chairil Furqan
Andi Chairil Furqan Mohon Tunggu... Dosen - Menelusuri Fatamorgana

Mengatasi Masalah Dengan Masalah Baru

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Terima Uang Kaget pada Masa Sulit: Refleksi Peran Produk Keuangan dalam Keadaan Bencana

23 Juli 2020   00:03 Diperbarui: 22 Juli 2020   23:59 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peran Produk Keuangan Dalam Keadaan Bencana, Ilustrasi Pribadi

Bagaimana perasaan anda jika ada suatu masa ketika anda diperhadapkan pada suatu kondisi dimana pendapatan lagi menurun (bahkan hilang), tabungan telah menipis (bahkan habis), dan ada kebutuhan yang mendesak, kemudian pada saat yang bersamaan tiba-tiba anda mendapatkan "uang kaget" yang tidak pernah anda duga sebelumnya?.....  Tentunya anda akan bersyukur, senang dan gembira pada saat menerimanya.

Itulah yang dirasakan oleh Helmy Yahya, seorang presenter terkenal, raja kuis dan inisiator acara reality show TV "Uang Kaget" (terakhir telah berganti nama "Duit Kaget"). Mantan Direktur TVRI, yang juga pernah menjadi pembawa acara "Uang Kaget" ini pada suatu saat, menjelang Idul Fitri, tepatnya tanggal 17 Mei 2020, mengupload sebuah video yang berjudul "Tiba-Tiba Saya Dapat THR Kaget" di Channel Youtubenya. 

Dalam video tersebut, Helmy Yahya bersama istrinya, Febriyani Sjofjan Yahya menceritakan sebuah pengalaman menarik, dimana pada saat dirinya mengalami kehilangan banyak pekerjaan (penurunan pendapatan) sebagai dampak dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akibat pandemi Covid-19, tiba-tiba beliau merasakan sendiri bagaimana rasanya mendapatkan rejeki yang tidak pernah diduga sebelumnya (beliau sebut dengan istilah THR kaget). 

THR kaget yang dimaksud tersebut bersumber dari pencairan polis asuransi yang sudah dimiliki beberapa tahun sebelumnya yang keberadaannya sempat beliau lupakan, sehingga ketika polis asuransi itu ternyata bisa dicairkan maka menjadi "uang kaget" bagi beliau.

Kejadian mendapatkan "uang kaget" yang dialami oleh Helmy Yahya tersebut hampir sama dengan yang pernah saya alami sekitar tahun 2009 dan 2018. Pada suatu kesempatan di tahun 2009, secara tidak sengaja saya bertemu dengan seorang teman yang dulunya merupakan rekan kerja pada sebuah Koperasi (tahun 2004-2007). 

Sebenarnya omset Koperasi tempat kami bekerja masih dalam kategori usaha kecil (dibawah Rp2,5 miliar per tahun), namun salah satu kelebihan bekerja di Koperasi tersebut yang mungkin tidak dinikmati oleh karyawan pada koperasi lain pada saat itu adalah seluruh karyawannya diikutsertakan sebagai peserta asuransi Jamsostek (sekarang disebut BPJS Ketenagakerjaan) dan mengikuti seluruh program yang tersedia, yang terdiri dari: Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) dan Jaminan Hari Tua (JHT).

Pada saat pertemuan itu, kebetulan saya baru saja kembali setelah menyelesaikan studi di luar kota, sehingga kondisi keuangan masih sangat terbatas. Ketika topik pembicaraan menyinggung keterbatasan kondisi keuangan itulah, teman tersebut menginformasikan tentang keberadaan JHT di Jamsostek yang ternyata bisa dicairkan. Atas dasar informasi itulah maka saya bisa mendapatkan "uang kaget" yang sebenarnya tidak pernah saya harapkan lagi akibat ketidakpahaman saya pada saat itu.

Selanjutnya, sedikit berbeda dengan kejadian tahun 2009 sebelumnya, "uang kaget" yang saya terima pada tahun 2018 berawal dari kejadian gempa bumi besar yang melanda kota tempat tinggal kami. Karena pada saat kejadian gempa bumi tersebut saya tidak berada di kota itu maka ketika pertama kali tiba di rumah (beberapa minggu setelah kejadian), hal pertama yang saya pastikan keberadaannya adalah dokumen-dokumen penting. 

Pada saat memeriksa dokumen-dokumen itulah tiba-tiba saya menemukan sebuah perjanjian dengan salah satu bank tentang keikutsertaan pada program tabungan dana pensiun di Bank tersebut. Setelah melihat perjanjian itu, saya baru sadar ternyata sejak beberapa tahun sebelumnya, atas tawaran dari seorang teman yang bekerja di bank itu, saya memiliki sebuah program tabungan dana pensiun, yang mana karena iuran setiap bulannya melalui mekanisme autodebet dan teman saya yang menawarkan informasi tersebut tidak bekerja di Bank itu lagi maka saya pun sudah melupakan keberadaannya. 

Setelah berkonsultasi langsung dengan pihak Bank maka tidak memakan waktu yang lama, akhirnya saat diperhadapkan pada kondisi keterbatasan dana pasca terjadinya gempa bumi, saya pun bisa mendapatkan "uang kaget " dari pencairan program dana pensiun tersebut.

Selain bersumber dari produk asuransi dan dana pensiun sebagaimana pengalaman diatas, "uang kaget" pada masa sulit juga bisa bersumber dari produk-produk keuangan lainnya, seperti dari produk tabungan dan/atau deposito sebagaimana pengalaman yang diceritakan oleh seorang ibu rumah tangga pada sebuah video yang berjudul "Korban Krisis Moneter 98 Malah Jadi Milyarder (Part 2) - #Deeptalk" di Channel youtube "Mudacumasekali".  

ibu tersebut menceritakan bagaimana tiba-tiba beliau bisa menikmati keberuntungan yang begitu besar dan tidak diduga sebelumnya akibat peningkatan bunga simpanan bank yang fantastis di tengah-tengah krisis ekonomi tahun 1998 atas tabungan dan/atau deposito yang beliau miliki pada saat itu.

Manfaat tabungan tersebut juga sangat terasa pada masa pandemi Covid-19 seperti yang terjadi saat ini. Karena walaupun ada pembatasan ruang gerak atau mobilisasi masyarakat selama masa PSBB ataupun new normal, bagi mereka yang memiliki tabungan di perbankan masih bisa beraktivitas dan bertransaksi walaupun hanya di rumah saja. 

Dengan semakin maraknya platform digital penjualan barang, layanan jasa, penggalangan dana (crowdfunding) dan pelaksanaan pelatihan atau seminar secara online, serta didukung dengan ketersediaan layanan remitansi, sistem pembayaran elektronik atau pun penggunaan dompet digital (e-wallet) maka masyarakat masih bisa bertransaksi kapan dan dimanapun berada.

Begitupula yang dirasakan bagi mereka yang saat ini memiliki investasi, terutama dalam bentuk emas pada lembaga keuangan (baik bank maupun non bank). Disaat investasi lainnya (seperti reksadana/saham) mengalami tekanan, pemilik investasi emas bisa lebih bernafas lega karena harga emas pada masa pandemi Covid-19 ini masih dalam keadaan stabil, bahkan cenderung meningkat (money.kompas.com, 2020).

Pengalaman-pengalaman tersebut menggambarkan betapa pentingnya produk-produk keuangan pada masa sulit. Namun, sangat disayangkan bahwa sampai saat ini masih banyak diantara masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya memahami seluk beluk tentang produk-produk keuangan di Indonesia, sehingga bukannya mendapatkan keuntungan, malah menjadi korban dari maraknya investasi bodong dan lembaga kredit/pembiayaan ilegal di tengah-tengah masyarakat.

Karena tergiur oleh iming-iming imbal hasil yang sangat besar dan mengharapkan kemudahan dalam mengakses kredit/pembiayaan, banyak diantara mereka yang harus menderita kerugian, kehilangan dananya serta terjebak oleh bunga dan denda yang tidak terbatas.

Kejadian-kejadian diatas  mengisyaratkan perlunya digalakkan kembali upaya peningkatan keuangan inklusif, terutama terkait lieterasi dan akses masyarakat terhadap produk keuangan. Karena selain untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat terkait manfaat dari produk keuangan, peningkatan lieterasi dan akses masyarakat juga diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang cerdas serta mampu memilah, memilih dan memanfaatkan produk-produk keuangan secara tepat, terutama dalam keadaan bencana.

Khususnya terkait dengan upaya mitigasi bencana, sejak tahun 2018, sebenarnya Pemerintah telah merancang stategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) dalam rangka mewujudkan bangsa dan masyarakat yang tangguh dalam menghadapi bencana dan terjaminnya keberlangsungan berbagai program pembangunan. 

Penekanan utama dalam PARB tersebut adalah tersedianya alternatif pembiayaan bencana di luar APBN/APBD, terutama dari asuransi, termasuk mengembangkan asuransi bencana dan asuransi mikro (khusus bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau UMKM). Bahkan, untuk melindungi pemilik polis asuransi dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap produk asuransi pada tahun 2020 ini Pemerintah juga telah merencanakan untuk membentuk lembaga penjaminan polis asuransi (Nasional.kompas.com, 2020).  

Walaupun strategi-strategi tersebut telah sejalan dengan program-program inisiatif dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI)  yang telah dicanangkan sejak tahun 2016 silam, nampaknya strategi tersebut belum bisa diimplementasikan secara optimal pada saat ini. Oleh karena itu, seiring dengan ditetapkannya pandemi Covid-19 sebagai bencana non alam (melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020), literasi dan akses masyarakat yang sangat mendesak untuk ditingkatkan saat ini adalah khususnya tentang manfaat produk keuangan dalam kondisi bencana, serta keterkaitannya dengan stabilitas sistem keuangan dan makroprudensial.

Pada saat ini, seharusnya masyarakat lebih diberikan pemahaman tentang pentingnya produk-produk keuangan, terutama asuransi, tabungan/deposito dan kredit/pembiayaan dalam kondisi bencana. Selain didorong dan difasilitasi untuk memiliki asuransi dalam rangka mengurangi risiko-risiko yang mungkin terjadi akibat bencana, masyarakat juga seharusnya telah memiliki pemahaman yang memadai tentang peran tabungan/deposito dan bagaimana pengelolaan kredit/pembiayaan dalam kondisi bencana.

Masyarakat harus ditingkatkan kesadarannya untuk menempatkan sebagian pendapatannya ataupun menyisihkan "uang receh" yang dimiliki pada lembaga keuangan yang kredibel sebagai upaya mitigasi bencana, terutama untuk mengurangi risiko (seperti kehilangan pekerjaan/pendapatan dan penurunan omzet usaha) yang dapat terjadi kapan saja akibat adanya bencana. 

Begitupula terkait pengelolaan kredit/pembiayaan, para pelaku UMKM baik formal maupun informal harus ditingkatkan pemahamannya terkait mekanisme dari program-program restrukturisasi ataupun stimulasi kredit/pembiayaan ketika terjadi bencana, termasuk strategi yang perlu dilakukan dalam menyelamatkan usahanya secara tepat dan cepat, tanpa harus menunggu diterbitkannya regulasi ataupun sosialisasi dari Pemerintah terlebih dahulu.

Jika literasi dan akses masyarakat terhadap produk keuangan dalam kondisi bencana ini telah meningkat maka harapannya adalah ketika di kemudian hari terjadi bencana, baik bencana alam maupun non alam, bangsa dan masyarakat Indonesia sudah lebih tangguh dalam menghadapinya. Masyarakat tidak perlu lagi panik dan akan lebih cepat menemukan solusi atas permasalahan keuangan yang dihadapinya, sehingga produk-produk keuangan pun dapat dijadikan sebagai media untuk secepatnya kembali pada kondisi normal (masa bahagia) sebelumnya.

Karena yang perlu diingat adalah walaupun "terima uang kaget pada masa sulit" dapat memberikan berkah tersendiri dalam mengatasi permasalahan keuangan pada saat bencana, namun akan lebih baik jika orientasi masyarakat Indonesia tidak hanya pada mengharapkan uang kaget semata, tetapi telah menjadikan pemanfaatan produk keuangan sebagai upaya mitigasi bencana, sehingga walaupun nantinya dalam kondisi bencana, stabilitas sistem keuangan dan makroprudensial tetap aman terjaga.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun