****
"Hm ... Winter, aku ingin jalan-jalan sendiri saja. Kau boleh pulang dan menemani Lusi."
"Kenapa tiba-tiba?"
Aya menggeleng pelan, tapi senyumnya tetap dibiarkan awet.
"Ingin saja. Boleh, ya?"
"Baik, lah. Semoga jalan-jalanmu menyenangkan." Winter mengangguk terpaksa. Sebenarnya dia ingin bertanya tentang apa yang Aya bicarakan dengan Lusi, tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat.
Aya tak mengatakan apa-apa lagi. Senyumnya luntur begitu Winter berbalik pergi. Jauh di dalam hatinya, Aya merasa begitu terluka. Winter tidak tahu kalau tadi, Ibunya masuk ke kamar tamu dan menghampiri Aya. Mengatakan banyak hal dan merendahkan Aya karena mengira Aya adalah kekasih Winter.
Aya tak tahu kalau menjadi miskin dan kekurangan membuatnya sangat rendah. Di mana pun, dan kapan pun. Di dunia ini maupun di dunia asalnya.
Aya menangis tanpa suara. Satu-satunya hal yang ada di pikirannya saat ini adalah Albiru. Ketimbang luntang-lantung tidak jelas, dia memutuskan akan bersedia menjadi pelayan selama sebulan asal lelaki itu mau menunjukkan di mana letak sungai itu berada. Tak mengapa jika dia harus terus dihina oleh lelaki yang bahkan tidak dia kenal itu. Aya hanya harus bersabar selama sebulan, 'kan?
****
Aya mengetuk pintu rumah Albiru. Sebenarnya agak ragu jika Albiru mau membantunya menemukan sungai itu mengingat Albiru sangat kejam padanya. Namun, Aya masih ingin berharap. Dia masih ingin berusaha.
Begitu pintu terbuka dan Albiru muncul dari dalam, Aya mendadak tak tahu harus bicara apa. Apalagi melihat ekspresi wajah Albiru yang seolah memiliki dendam padanya. Aya takut, tapi juga marah pada lelaki itu.