Wanita glamor itu meletakkan cangkir teh ke meja dengan kasar lalu menatap anaknya.
"Ibu tidak sudi punya menantu gembel seperti dia. Cepat suruh dia pergi atau Ibu akan marah padamu."
"Kubilang dia hanya teman, Bu."
"Kau pikir Ibu akan percaya?"
Winter tak bisa berbuat banyak. Dijelaskan sampai mulut berbuih pun Ibunya pasti hanya akan percaya pada apa yang ingin dia percayai. Meski merasa tak enak pada Aya, dia memilih mematuhi ucapan Ibunya.
Lelaki itu berjalan lesu ke kamar adiknya. Begitu membuka pintu, dia mendapati Aya sedang mencoba berbicara dengan adiknya yang masih berbaring di kasur.
"Aya."
Aya menoleh ke pintu begitu mendengar Winter memanggil.
"Iya?"
Winter menggaruk tengkuk. Tak tahu harus bilang apa. Dia takut salah bicara dan membuat Aya tersinggung.
"Haruskah kita jalan-jalan di luar?" tanyanya pada akhirnya.
Aya mengangguk. Sebelum pergi, dia kembali mengajak adik Winter bicara.
"Lusi ingat, 'kan pesan Kakak? Pegang yang sakit lalu?"
"Baca Bismillah tiga kali," jawab Lusi dengan suara yang terdengar lemah.
Aya mengelus rambut anak itu pelan lalu mengangkat jempol.
"Anak pintar. Maa Syaa Allah."
Winter tak mengerti apa yang mereka bicarakan, apalagi saat dua orang itu menyebutkan kata-kata asing. Namun, dia memutuskan untuk menahan rasa penasarannya dan mengajak Aya pergi sebelum Ibunya yang mengusir Aya.