Aya mengangguk ragu.
"Aku akan membawamu ke sana, tapi sebelum itu, kau harus jadi pelayan di rumahku selama satu bulan."
"Kenapa begitu lama? Kau hanya perlu mengantarku. Atau setidaknya berikan saja aku peta atau semacamnya."
Albiru menatap Aya dengan pandangan rumit, lalu menggeleng pelan.
"Sebulan atau tidak sama sekali?"
"Tidak bisa kah kau mengantarku hari ini? Aku ini perempuan, bagaimana bisa kau berencana menahan anak perawan orang--"
"Perawan?" Albiru menyela ucapan Aya, lalu tersenyum meremehkan. Lelaki itu maju selangkah, berdiri lebih dekat di depan Aya lalu mencondongkan tubuhnya. Aya gugup setengah mati dibuatnya, terlebih saat dirinya tak sengaja menghidu aroma tubuh Albiru yang maskulin.
"Aku bahkan tahu kau telah menyerahkan diri secara sukarela pada seorang laki-laki di luar ikatan pernikahan. Berhenti bersikap seolah-olah kau adalah gadis yang polos," bisik Albiru tepat di samping telinga Aya. Setelah itu berdiri tegak seperti semua.
Jantung Aya seolah ditusuk ribuan pedang begitu mendengar sederet kalimat yang baru saja dibisikkan Albiru. Tangannya secara refleks melayang ke wajah Albiru hingga lelaki itu tertoleh ke samping.
"Aku emang butuh bantuanmu, tapi kamu nggak punya hak untuk memfitnahku seperti itu. Kamu nggak tau apa-apa tentangku. Kamu hanya laki-laki brengsek yang hobi menyakiti hati perempuan!" Aya berteriak sembari menunjuk wajah Albiru. Hal itu sukses mengundang sesuatu dalam diri Albiru.
Ada rasa tak nyaman saat mendengar perkataan Aya, apalagi begitu melihat Air mata yang seolah membanjiri wajah Aya. Namun, Albiru mengabaikan segala rasa itu.
"Aku adalah orang nomor dua yang tahu segalanya tentangmu setelah lelaki itu. Kau tak perlu berpura--" Albiru tak melanjutkan ucapannya karena Aya tiba-tiba menginjak kakinya sekuat tenaga.
"Tutup mulut jahanammu, bajingaan!" Untuk ke sekian kalinya, Aya berteriak di depan wajah Albiru. Gadis itu merebut bungkusan yang sedari tadi dipegang Albiru dan berlari pergi menjauh.