Sejak awal perjalanan ekonomi Indonesia, fenomena twin deficit yang merujuk pada defisit anggaran dan defisit transaksi berjalan, telah menjadi masalah yang terus membayangi perekonomian Indonesia. Berdasarkan pengalaman sejarah, kita bisa melihat bahwa kondisi ini bukanlah hal yang baru, dan tantangan ini kembali muncul dengan kompleksitas yang bervariasi dari era ke era. Dari era Orde Baru yang penuh pertumbuhan cepat hingga masa reformasi dan berlanjut ke era modern, kita bisa mengamati pola, perubahan, dan tantangan yang dihadapi dalam mengelola twin deficit ini.
Kepemimpinan Soeharto: Dinamika Ekonomi dan Ancaman Risiko
Di bawah kepemimpinan Soeharto, yang berkuasa dari tahun 1966 hingga 1998, Indonesia berhasil mencatat pertumbuhan ekonomi yang pesat. Kebijakan pembangunan yang berorientasi pada industri, pengembangan infrastruktur, dan eksploitasi sumber daya alam berhasil menciptakan stabilitas yang diperlukan untuk menarik investasi. Namun, pertumbuhan yang mengesankan ini tidak terjadi dalam kondisi yang sempurna, justru di balik kemajuan tersebut, terdapat risiko besar yang mengintai.
Selama periode ini, Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi yang rata-rata di atas 7% per tahun pada tahun 1990-an. Namun, dalam hitungan waktu, strategi pertumbuhan yang cepat dan cenderung tidak berimbang menciptakan masalah yang mendalam. Pada tahun 1998, ketika krisis moneter melanda Asia, situasi defisit anggaran menunjukkan gambaran yang mengkhawatirkan. Defisit anggaran tercatat mencapai 2,5% dari PDB, menandakan bahwa pengeluaran pemerintah melebihi penerimaan. Hal ini berarti bahwa untuk mendanai program-program pembangunan dan compensating pengeluaran sosial, pemerintah terpaksa mengambil utang.
Ketergantungan ini menjadi masalah karena tidak ada evaluasi yang tepat mengenai keberlanjutan pembiayaan. Anggaran yang terus membengkak tanpa didukung oleh pendapatan yang memadai berisiko menciptakan kesenjangan yang semakin lebar. Dalam konteks ini, pengeluaran disebabkan oleh dorongan untuk menunjukkan pertumbuhan yang positif, tetapi tanpa disertai perencanaan strategis yang ketat.
Selain defisit anggaran, utang luar negeri juga menjadi sorotan yang tidak bisa diabaikan. Pada tahun yang sama, utang luar negeri Indonesia telah mencatat angka $150,9 miliar, dan rasio pembayaran utang terhadap pendapatan (DSR) mencapai 12,84%. Ketergantungan yang tinggi pada utang ini ditujukan untuk memfasilitasi proyek-proyek infrastruktur besar, seperti pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya. Sayangnya, utang yang digunakan untuk mendanai proyek infrastruktur sering kali tidak diimbangi oleh dasar ekonomi yang kuat. Akibatnya, ketika krisis datang, banyak proyek yang tidak memberikan pengembalian investasi yang diharapkan, dan utang yang ada menjadi beban berat bagi perekonomian.
Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998 mengguncang semua sendi ekonomi. Ketika nilai tukar rupiah mulai jatuh, investor kehilangan kepercayaan dan menarik investasinya, menyebabkan arus modal keluar yang masif. Hasilnya, depresiasi nilai tukar rupiah memperburuk beban utang luar negeri yang denan lebih banyak utang menjadi mahal. Inflasi juga meroket, menghancurkan daya beli masyarakat dan memicu ketidakpuasan sosial yang meluas.
Era Jokowi: Meningkatnya Beban Utang di Tengah Pandemi
Memasuki era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari tahun 2015 hingga 2020, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan ekonomi, terutama ketika pandemi COVID-19 melanda di tahun 2020. Pandemi ini tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga memaksa pemerintah untuk bereaksi cepat dalam merespons efek ekonomi yang ditimbulkan.
Pada tahun 2020, defisit anggaran Indonesia mengalami lonjakan signifikan, tercatat pada angka 2,5% dari PDB (Kemenkeu, 2020). Peningkatan ini merupakan hasil dari kebijakan ekspansif yang diterapkan pemerintah untuk meningkatkan belanja guna menghadapi pandemi dan melindungi kesehatan masyarakat. Dalam kondisi darurat, pemerintah mengambil langkah-langkah untuk mendukung sektor kesehatan, memberikan bantuan sosial, serta menjalankan program pemulihan ekonomi yang terfokus pada pemulihan masyarakat dan dunia usaha.