Mohon tunggu...
Andhita Nur Jaya Oktaviana
Andhita Nur Jaya Oktaviana Mohon Tunggu... Jember University

Mahasiswa Jurusan Ekonomi Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menelusuri Jejak Twin Defisit: Dari Orde Baru ke Era Jokowi

3 November 2024   22:16 Diperbarui: 3 November 2024   23:01 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.stock.adobe.com

Sejak awal perjalanan ekonomi Indonesia, fenomena twin deficit yang merujuk pada defisit anggaran dan defisit transaksi berjalan, telah menjadi masalah yang terus membayangi perekonomian Indonesia. Berdasarkan pengalaman sejarah, kita bisa melihat bahwa kondisi ini bukanlah hal yang baru, dan tantangan ini kembali muncul dengan kompleksitas yang bervariasi dari era ke era. Dari era Orde Baru yang penuh pertumbuhan cepat hingga masa reformasi dan berlanjut ke era modern, kita bisa mengamati pola, perubahan, dan tantangan yang dihadapi dalam mengelola twin deficit ini.

Kepemimpinan Soeharto: Dinamika Ekonomi dan Ancaman Risiko

Di bawah kepemimpinan Soeharto, yang berkuasa dari tahun 1966 hingga 1998, Indonesia berhasil mencatat pertumbuhan ekonomi yang pesat. Kebijakan pembangunan yang berorientasi pada industri, pengembangan infrastruktur, dan eksploitasi sumber daya alam berhasil menciptakan stabilitas yang diperlukan untuk menarik investasi. Namun, pertumbuhan yang mengesankan ini tidak terjadi dalam kondisi yang sempurna, justru di balik kemajuan tersebut, terdapat risiko besar yang mengintai.

Selama periode ini, Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi yang rata-rata di atas 7% per tahun pada tahun 1990-an. Namun, dalam hitungan waktu, strategi pertumbuhan yang cepat dan cenderung tidak berimbang menciptakan masalah yang mendalam. Pada tahun 1998, ketika krisis moneter melanda Asia, situasi defisit anggaran menunjukkan gambaran yang mengkhawatirkan. Defisit anggaran tercatat mencapai 2,5% dari PDB, menandakan bahwa pengeluaran pemerintah melebihi penerimaan. Hal ini berarti bahwa untuk mendanai program-program pembangunan dan compensating pengeluaran sosial, pemerintah terpaksa mengambil utang.

Ketergantungan ini menjadi masalah karena tidak ada evaluasi yang tepat mengenai keberlanjutan pembiayaan. Anggaran yang terus membengkak tanpa didukung oleh pendapatan yang memadai berisiko menciptakan kesenjangan yang semakin lebar. Dalam konteks ini, pengeluaran disebabkan oleh dorongan untuk menunjukkan pertumbuhan yang positif, tetapi tanpa disertai perencanaan strategis yang ketat.

Selain defisit anggaran, utang luar negeri juga menjadi sorotan yang tidak bisa diabaikan. Pada tahun yang sama, utang luar negeri Indonesia telah mencatat angka $150,9 miliar, dan rasio pembayaran utang terhadap pendapatan (DSR) mencapai 12,84%. Ketergantungan yang tinggi pada utang ini ditujukan untuk memfasilitasi proyek-proyek infrastruktur besar, seperti pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya. Sayangnya, utang yang digunakan untuk mendanai proyek infrastruktur sering kali tidak diimbangi oleh dasar ekonomi yang kuat. Akibatnya, ketika krisis datang, banyak proyek yang tidak memberikan pengembalian investasi yang diharapkan, dan utang yang ada menjadi beban berat bagi perekonomian.

Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998 mengguncang semua sendi ekonomi. Ketika nilai tukar rupiah mulai jatuh, investor kehilangan kepercayaan dan menarik investasinya, menyebabkan arus modal keluar yang masif. Hasilnya, depresiasi nilai tukar rupiah memperburuk beban utang luar negeri yang denan lebih banyak utang menjadi mahal. Inflasi juga meroket, menghancurkan daya beli masyarakat dan memicu ketidakpuasan sosial yang meluas.

Era Jokowi: Meningkatnya Beban Utang di Tengah Pandemi

Memasuki era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari tahun 2015 hingga 2020, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan ekonomi, terutama ketika pandemi COVID-19 melanda di tahun 2020. Pandemi ini tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga memaksa pemerintah untuk bereaksi cepat dalam merespons efek ekonomi yang ditimbulkan.

Pada tahun 2020, defisit anggaran Indonesia mengalami lonjakan signifikan, tercatat pada angka 2,5% dari PDB (Kemenkeu, 2020). Peningkatan ini merupakan hasil dari kebijakan ekspansif yang diterapkan pemerintah untuk meningkatkan belanja guna menghadapi pandemi dan melindungi kesehatan masyarakat. Dalam kondisi darurat, pemerintah mengambil langkah-langkah untuk mendukung sektor kesehatan, memberikan bantuan sosial, serta menjalankan program pemulihan ekonomi yang terfokus pada pemulihan masyarakat dan dunia usaha.

Beban akuntabilitas ini bukanlah hal yang sederhana. Keputusan untuk meningkatkan pengeluaran dalam situasi yang penuh ketidakpastian menimbulkan tantangan dalam penyusunan anggaran yang berkelanjutan. Di tengah keadaan ini, sumber pendanaan untuk menutupi defisit anggaran menjadi sumber perhatian yang krusial. Ketergantungan pada utang untuk membiayai pengeluaran yang meningkat dapat mengarah pada masalah yang lebih besar di masa depan.

Pada saat yang sama, utang luar negeri Indonesia melonjak menjadi $398 miliar, dengan rasio pembayaran utang (DSR) meningkat menjadi 15% (Bank Indonesia, 2021). Kenaikan ini menimbulkan kekhawatiran terkait keberlanjutan fiskal. Ketika sebagian besar anggaran digunakan untuk menanggulangi dampak pandemi, utang yang terus meningkat akan membebani anggaran di masa mendatang. Hal ini menciptakan dilema---bagaimana mempertahankan pertumbuhan ekonomi sambil mengelola utang yang semakin tinggi?

Bahkan, ada risiko jangka panjang yang perlu diantisipasi, di mana pemenuhan kewajiban utang semakin sulit untuk dipenuhi jika kondisi ekonomi tidak membaik. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk membuat langkah-langkah strategis dalam pengelolaan utang.

Di tengah keadaan darurat kesehatan ini, tantangan yang dihadapi Indonesia menjadi sangat krusial, mengingat dampak jangka panjang yang dapat ditimbulkan terhadap ekonomi nasional. Tanpa strategi yang solid, peningkatan utang dan defisit anggaran dapat menjadi bumerang bagi stabilitas perekonomian Indonesia. Sekalipun situasi saat ini menuntut kebijakan fiskal yang lebih proaktif, tetap penting untuk melihat ke depan dan menghindari ketergantungan pada utang sebagai satu-satunya solusi.

Tantangan ke Depan: Strategi Pengelolaan Utang dan Defisit

Dalam menghadapi tantangan ini, sangat penting bagi pemerintah untuk menerapkan strategi pengelolaan utang yang solid. Pemerintah perlu memastikan bahwa utang digunakan untuk investasi produktif yang dapat menghasilkan pertumbuhan jangka panjang dan bukan hanya untuk membiayai pengeluaran rutin. Selain itu, program pendidikan dan literasi keuangan di masyarakat perlu ditingkatkan untuk membekali individu dengan pengetahuan yang memadai tentang pengelolaan finansial.

Dari pengalaman sejarah hingga saat ini, jelas bahwa pengelolaan twin deficit tidak boleh menjadi hal yang sepele. Kita harus mengingat bahwa perekonomian yang kuat dan berkelanjutan adalah tanggung jawab bersama pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Sebuah sinergi antara kebijakan fiskal yang bijaksana dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dapat mengantisipasi tantangan twin deficit agar tidak menjadi beban bagi generasi mendatang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun