Norma-norma hukum yang terkait dengan kasus sengketa merek dagang:
1. Prinsip keadilan. Hukum syariah menekankan keadilan bagi semua pihak. Tindakan plagiat merugikan pemilik merek asli dan menciptakan ketidakadilan di pasar karena dapat memicu kerugian terhadap pemilik merek dagang yang asli.
2. Larangan Dzalim. Melanggar hak orang lain dengan meniru merek dagang adalah tindakan yang dzalim, bertentangan dengan prinsip etika dalam ekonomi syariah yakni kejujuran, dalam berbisnis kejujuran sangat ditekankan. Plagiat merek dagang merupakan bentuk ketidakjujuran yang merusak reputasi dan kepercayaan.
3. Tanggung Jawab Sosial. Pelaku bisnis diharapkan menjalankan usaha dengan cara yang baik dan bertanggung jawab, termasuk menghormati hak kekayaan intelektual. Hukum syariah mendukung perlindungan terhadap hak-hak individu, termasuk hak atas merek dagang.
Norma-norma tersebut di atas menjelaskan bagaimana pentingnya etika bisnis terhadap hak orang lain dalam konteks ekonomi syariah.
Aturan hukum yang terkait dengan kasus sengketa merek dagang:
Terdapat dalam Undang-Undang Merek Di Indonesia yakni, Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis mengatur perlindungan terhadap merek dagang. Merek yang terdaftar berhak atas perlindungan hukum dari penggunaan pihak lain tanpa izin. Penggunaan merek yang serupa atau identik tanpa izin pemilik akan dianggap sebagai pelanggaran, yang dapat ditindak secara hukum. Pemilik merek yang dirugikan oleh plagiat dapat mengajukan tuntutan ganti rugi atas kerugian yang dialami akibat pelanggaran tersebut.Â
Demi menghindari perampasan merek dagang atau plagiat merek dagang tersebut maka sangat penting untuk mendaftarkan merek dagang guna mendapatkan perlindungan hukum. Pelanggaran terhadap ketentuan merek dapat dikenakan sanksi administratif, dan dalam beberapa kasus bagi pelanggar dapat dikenai sanksi pidana. Aturan-aturan ini dirancang untuk melindungi pemilik merek dan memastikan keadilan dalam praktik bisnis.
Pandangan aliran hukum positivisme dan sociological jurisprudence dalam menganalisis kasus sengketa merek dagang:
Hukum Positivisme berfokus pada Hukum yang tertulis. Aliran ini menekankan pentingnya hukum yang faktual dan berlaku secara formal. Dalam konteks plagiat merek dagang, hukum yang relevan adalah Undang-Undang Merek yang mengatur hak dan kewajiban pemilik merek. Perihal sanksi dan penegakan hukum pada Hukum Positivisme berdasarkan ketentuan hukum yang ada. Jika terjadi pelanggaran, hukum positif memberikan sanksi yang jelas bagi pelanggar, seperti denda atau ganti rugi. Penilaian kasus dilakukan secara objektif, berdasarkan fakta dan bukti yang ada tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral atau etika.
Sociological Jurisprudence menilai hukum sebagai produk sosial. Aliran ini memandang hukum sebagai refleksi dari norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Dalam kasus plagiat merek dagang, penting untuk memahami dampak sosial dari tindakan tersebut. Sociological jurisprudence menganalisis bagaimana plagiat dapat merugikan masyarakat, termasuk mengganggu keadilan pasar dan merusak kepercayaan konsumen. Pendukung aliran ini berargumen bahwa hukum harus berkembang mengikuti dinamika sosial. Dalam konteks merek dagang, perlu ada penyesuaian hukum untuk melindungi pemilik merek dari praktik tidak etis.