Mohon tunggu...
andhin ravika
andhin ravika Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Seorang mahasiswa yang banyak sukanya, suka menulis, suka menonton film, suka membaca, suka jalan-jalan, suka tiba-tiba nangis kalau liat video hewan yang terlalu lucu, dan yang terakhir suka namjoon.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sengketa merek dagang antara MS Glow dan PS Glow bila dilihat dari perspektif Hukum Ekonomi Syariah

1 Oktober 2024   18:16 Diperbarui: 1 Oktober 2024   18:25 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kasus sengketa yang melibatkan owner MS Glow dan PS Glow tengah ramai menjadi perbincangan netizen, kasus ini melibatkan Shandy Purnamasari dan Gilang Widya Pramana yang sering dikenal sebagai Juragan99 melawan Putra Siregar dan Septia Siregar selaku pemilik PS Glow.

Kasus ini berlanjut di Pengadilan Niaga Surabaya. PS Glow berhasil memenangkan sengketa merek dagangnya di Pengadilan Niaga Surabaya. Dalam putusannya, hakim memutuskan agar MS Glow membayar ganti rugi sebesar Rp 37,9 miliar kepada PS Glow. Selain itu, MS Glow diperintahkan untuk menghentikan produksi dan penjualan, serta menarik semua produk MS Glow yang telah beredar di Indonesia.

Setelah MS Glow dinyatakan kalah dalam putusan Pengadilan Niaga Surabaya, Shandy Purnamasari mengajukan kasasi dengan dalil bahwa merek MS Glow terdaftar lebih dahulu di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual pada tahun 2016, sedangkan PS Glow baru terdaftar tahun 2021.

Akhir dari kasus ini bahwa Shandy Purnamasari selaku owner dari MS Glow lolos dari hukuman Rp 37,9 miliar di kasasi. Dan juga sub bisnis PS Glow resmi ditutup pada 21 Juli 2022.

Kaidah-kaidah hukum yang terkait dengan kasus sengketa merek dagang:

1. Kejujuran (Amanah). Pengusaha harus bertindak jujur dalam semua transaksi. Plagiat atau memberi nama menyerupai merek yang sudah lebih dulu ada merupakan bentuk ketidakjujuran yang merugikan pihak lain.

2. Larangan Ghulul. Ghulul berarti mengambil hak orang lain secara tidak sah. Plagiat merek dagang termasuk dalam kategori ini, karena merampas hak pemilik merek yang sah.

3. Perlindungan Hak Milik. Syariah menghargai hak milik, termasuk hak atas merek dagang. Melindungi merek adalah bentuk menghormati hak milik intelektual.

4. Tidak Menyebabkan Kerugian (Dharar). Prinsip ini menekankan bahwa tindakan bisnis tidak boleh merugikan orang lain. Plagiat dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi pemilik merek yang sah.

5. Keberlanjutan Bisnis (Istiqamah). Praktik bisnis harus beretika dan tidak merugikan pihak lain, mendukung keberlanjutan dalam perdagangan yang baik.

Dengan menerapkan kaidah-kaidah ini, praktik plagiat merek dagang dapat dianalisis dari perspektif ekonomi syariah, yang menekankan keadilan dan etika dalam berbisnis.

Norma-norma hukum yang terkait dengan kasus sengketa merek dagang:

1. Prinsip keadilan. Hukum syariah menekankan keadilan bagi semua pihak. Tindakan plagiat merugikan pemilik merek asli dan menciptakan ketidakadilan di pasar karena dapat memicu kerugian terhadap pemilik merek dagang yang asli.

2. Larangan Dzalim. Melanggar hak orang lain dengan meniru merek dagang adalah tindakan yang dzalim, bertentangan dengan prinsip etika dalam ekonomi syariah yakni kejujuran, dalam berbisnis kejujuran sangat ditekankan. Plagiat merek dagang merupakan bentuk ketidakjujuran yang merusak reputasi dan kepercayaan.

3. Tanggung Jawab Sosial. Pelaku bisnis diharapkan menjalankan usaha dengan cara yang baik dan bertanggung jawab, termasuk menghormati hak kekayaan intelektual. Hukum syariah mendukung perlindungan terhadap hak-hak individu, termasuk hak atas merek dagang.

Norma-norma tersebut di atas menjelaskan bagaimana pentingnya etika bisnis terhadap hak orang lain dalam konteks ekonomi syariah.

Aturan hukum yang terkait dengan kasus sengketa merek dagang:

Terdapat dalam Undang-Undang Merek Di Indonesia yakni, Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis mengatur perlindungan terhadap merek dagang. Merek yang terdaftar berhak atas perlindungan hukum dari penggunaan pihak lain tanpa izin. Penggunaan merek yang serupa atau identik tanpa izin pemilik akan dianggap sebagai pelanggaran, yang dapat ditindak secara hukum. Pemilik merek yang dirugikan oleh plagiat dapat mengajukan tuntutan ganti rugi atas kerugian yang dialami akibat pelanggaran tersebut. 

Demi menghindari perampasan merek dagang atau plagiat merek dagang tersebut maka sangat penting untuk mendaftarkan merek dagang guna mendapatkan perlindungan hukum. Pelanggaran terhadap ketentuan merek dapat dikenakan sanksi administratif, dan dalam beberapa kasus bagi pelanggar dapat dikenai sanksi pidana. Aturan-aturan ini dirancang untuk melindungi pemilik merek dan memastikan keadilan dalam praktik bisnis.

Pandangan aliran hukum positivisme dan sociological jurisprudence dalam menganalisis kasus sengketa merek dagang:

Hukum Positivisme berfokus pada Hukum yang tertulis. Aliran ini menekankan pentingnya hukum yang faktual dan berlaku secara formal. Dalam konteks plagiat merek dagang, hukum yang relevan adalah Undang-Undang Merek yang mengatur hak dan kewajiban pemilik merek. Perihal sanksi dan penegakan hukum pada Hukum Positivisme berdasarkan ketentuan hukum yang ada. Jika terjadi pelanggaran, hukum positif memberikan sanksi yang jelas bagi pelanggar, seperti denda atau ganti rugi. Penilaian kasus dilakukan secara objektif, berdasarkan fakta dan bukti yang ada tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral atau etika.

Sociological Jurisprudence menilai hukum sebagai produk sosial. Aliran ini memandang hukum sebagai refleksi dari norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Dalam kasus plagiat merek dagang, penting untuk memahami dampak sosial dari tindakan tersebut. Sociological jurisprudence menganalisis bagaimana plagiat dapat merugikan masyarakat, termasuk mengganggu keadilan pasar dan merusak kepercayaan konsumen. Pendukung aliran ini berargumen bahwa hukum harus berkembang mengikuti dinamika sosial. Dalam konteks merek dagang, perlu ada penyesuaian hukum untuk melindungi pemilik merek dari praktik tidak etis.

Kesimpulan:

Hukum Positivisme: Memberikan kerangka hukum yang tegas dan jelas untuk menegakkan hak pemilik merek.

Sociological Jurisprudence: Mendorong pemahaman yang lebih luas tentang dampak sosial dari plagiat, serta perlunya adaptasi hukum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Keduanya memberikan perspektif yang saling melengkapi dalam menganalisis kasus plagiat merek dagang.

Nama : Andhin Ravika Damayanti 

NIM : 222111143 (5D / HES)

Mata Kuliah : Sosiologi Hukum

Dosen Pengampu : Muhammad Julijanto, S.Ag., M.Ag.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun