Mohon tunggu...
Anastasia Bernardina
Anastasia Bernardina Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka Aksara

Berbagi energi positif dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tamu Baik Hati (Petualangan Rahasia Part 6)

8 Februari 2023   19:00 Diperbarui: 8 Februari 2023   19:00 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Almeida from Pixabay

Belum habis rasa terkejut tamu itu, secepat kilat Adit bertanya kepadanya, "Lho, kok Ayah ada di sini? Ayah sudah sering ke rumah ini?" Adit tidak sabar ingin tahu jawaban dari ayahnya.

"Boleh ayah masuk terlebih dahulu?" Ayah Adit tersenyum hangat dengan sedikit membungkukkan badannya agar sejajar dengan Adit.

"Ayo, Yah! Mbah Broto ada di dalam. Beliau sedang bercerita kepada kami." Dengan riang Adit masuk kembali ke dalam rumah Mbah Broto.

"Oh, di sini ada Rio, Wira dan Sekar juga?" Ayah Adit menyapa mereka dengan penuh hangat. "Iya, Om." Mereka dengan senang hati menghampiri Ayah Adit kemudian bersalaman dan mencium tangan beliau penuh hormat. Anak-anak di desa itu sudah terbiasa melakukan hal tersebut kepada orang yang lebih tua sebagai perwujudan rasa hormat, sopan, dan santun.

"Ada apa kau kemari, Suryo?" Mbah Broto bertanya kepada Ayah Adit.

"Saya hanya mau menyampaikan satu hal, Mbah. Benda pusaka pemberian Mbah itu, hilang. Mungkin ketika saya pulang dari rumah Mbah, benda pusaka itu jatuh di tengah jalan. Saya sudah menyusuri jalan yang dilewati berkali-kali, namun tidak ditemukan juga."

Adit langsung teringat dengan keris kecil yang ditemukannya di ladang penduduk, namun Adit masih terdiam karena dia ingin tahu terlebih dahulu hubungan antara Mbah Broto dengan ayahnya.

Mbah Broto menanggapi dengan santai, "Ya, sudah. Mungkin memang sudah hilang di jalan, namun Mbah yakin seseorang telah menemukannya dan benda pusaka itu masih dalam keadaan baik."

Adit bertanya kepada ayahnya, "Ayah, sudah sering datang ke sini, ya? Sejak kapan Ayah mengenal Mbah Broto? Kok nggak pernah cerita pada Adit?"

Mbah yang akan menceritakannya pada kalian. Tolong ambilkan dulu segelas air minum untuk Mbah. Rio dengan cekatan bangkit dari tempat duduknya, "Saya saja, Mbah."

Tidak membutuhkan waktu lama, Rio sudah kembali ke ruang tamu dengan segelas air di tangan kanannya. "Ini, Mbah. Silakan diminum dulu sebelum melanjutkan cerita. Berarti sekarang kita mau berpetualang lagi ya, Mbah?" Rio bertanya penuh girang.

"Iya, benar. Menurut Mbah, berpetualang itu tidak harus selalu datang secara langsung ke tempat yang kita inginkan, namun bisa juga dengan cara membaca, mendengarkan cerita, dan menonton film. Tujuannya tetap sama yaitu untuk menambah pengetahuan kita atau untuk mengetahui sesuatu yang membuat kita penasaran."

"Iya, Mbah. Setuju!"

Semuanya kembali duduk dan tidak sabar mendengarkan cerita dari Mbah Broto, terutama cerita mengenai Ayah Adit yang tiba-tiba ada di rumah Mbah Broto dan seperti sudah mengenal Mbah Broto cukup lama.

"Mbah bersahabat baik dengan ayahnya Suryo." Belum selesai Mbah Broto bercerita, Adit sudah memotongnya. "Berarti Mbah bersahabat dengan Kakek Wiryo, kakeknya Adit, Mbah?"

"Adit, biarkan Mbah Broto cerita dulu, Nak!" Sebagai ayah yang baik, Pak Suryo lekas mengingatkan Adit.

"Iya, Ayah." Adit pun menuruti ayahnya dengan sangat manis.

Mbah Broto mulai melanjutkan ceritanya lagi. "Dulu Mbah satu kampung dengan Kakek Wiryo. Seperti yang telah mbah ceritakan sebelumnya, selain menjadi petani, Mbah meracik obat herbal dan menolong orang-orang di sana tanpa pamrih. Tidak perlu mbah ceritakan lagi alasan mbah pindah dari desa tersebut. Kalian kan sudah mendengar cerita mbah sebelumnya."

Sebelum menceritakan kisah selanjutnya, Mbah Broto menarik napas panjang. "Kakek Wiryo kemudian menghubungi Suryo, ayahmu ini Dit. Akhirnya Mbah bisa tinggal di sini. Di tempat yang sepi dan jauh dari perkampungan. Di sini Mbah tetap bisa meracik obat-obat herbal. Coba lihat! Di rak itu ada berbagai macam bahan-bahan obat herbal yang bisa Mbah racik. Mbah menanam tanaman herbal di depan dan belakang rumah ini."

"Ayahmu sering datang ke rumah Mbah, biasanya karena ada pesanan obat herbal dari teman-temannya atau dari orang-orang di perkampunganmu. Sebagian besar penduduk menganggap Mbah sebagai dukun yang tinggal mengasingkan diri, padahal Mbah bukanlah seorang dukun."

"Mungkin suatu saat, beberapa tahun kemudian, daerah yang Mbah tempati ini akan menjadi ramai oleh rumah-rumah penduduk. Bisa juga dijadikan daerah perladangan karena tanah di sini sangat subur."

"Ayahmu tidak menceritakan kejadian ini kepadamu untuk menjaga dan menghargai Mbah yang ingin hidup menyendiri di sini namun tetap berguna bagi banyak orang. Di sini Mbah bisa lebih fokus untuk selalu dekat dengan Tuhan dan berguna bagi sesama."

Lalu, selain Ayah Adit, apakah ada orang lain lagi yang mengetahui kalau Mbah tinggal di sini dan bukan seorang dukun?" Sekar bertanya pelan dan matanya terus memerhatikan wajah Mbah Broto yang menyejukkan.

"Ya, ada beberapa orang yang datang kemari, mereka adalah orang kepercayaan Mbah dan mereka juga seringkali membawakan apa yang Mbah perlukan karena tidak ada di sini."

Oh, begitu ya, Mbah. Sekar mengangguk-anggukan kepala setelah mendengar jawaban Mbah Broto.

"Mengapa Mbah menyimpan keris-keris itu? Dari mana Mbah mendapatkannya?" Wira yang sedari tadi hanya terdiam mendengarkan, akhirnya membuka suara."

"Itu Mbah dapatkan dari berbagai tempat yang Mbah kunjungi di sekitar tanah Jawa. Itu hanya koleksi saja. Mbah menghargai tradisi dan juga budaya Jawa. Leluhur Mbah yang mengajarkannya. Keris-keris itu disebut juga benda pusaka dan biasanya Mbah akan mencucinya saat bulan Suro.

Bulan Suro adalah nama bulan pertama dalam penanggalan Jawa dan diambil dari salah satu perayaan keagaaman pada bulan pertama penanggalan Islam."

"Bagaimana dengan hiasan-hiasan yang menyerupai kepala manusia itu, Mbah? Apakah itu termasuk benda pusaka?" Rio kembali bertanya kepada Mbah Broto dengan raut wajah yang semakin antusias.

"Oh, itu hanya sekadar kesenangan Mbah saja, itu karya orang-orang yang sangat menghargai seni dan dengan terampil membuatnya dari tanah liat. Mbah dapatkan hiasan-hiasan itu dari industri gerabah di Kasongan Yogyakarta. Mereka memproduksi kendi, celengan, anglo, periuk, dan lainnya. Namun, Mbah memesan khusus pada salah satu pekerja di sana untuk dibuatkan hiasan berbentuk kepala manusia seperti yang tergantung di dinding anyaman gubuk rumah ini, kemudian ditambah ijuk panjang agar terkesan seram. Itu juga termasuk ke dalam seni budaya." Mbah Broto terkekeh-kekeh seraya melihat wajah anak-anak satu per satu.

Wira pun bersuara lagi. "Mbah, tadi Mbah menyebutkan tentang kendi, anglo, dan periuk. Itu apa sih, Mbah? Wira baru mendengar istilah itu."

"Nah, sebelum Mbah menjawabnya, apakah Adit, Rio, dan Sekar tahu? Coba dijawab pertanyaan temanmu itu. Mbah Broto memberi kesempatan kepada teman lainnya untuk berani berpendapat dari apa yang mereka ketahui.

"Adit coba ya, Mbah. Kendi berfungsi sebagai tempat menyimpan air minum, sama seperti teko. Anglo berfungsi sebagai alat untuk memasak, sama seperti kompor. Adit pernah melihat anglo di warung bakmi Jawa, Mbah." Adit terkekeh merasa puas dan yakin bahwa jawabannya itu benar.

"Lalu, periuk itu apa?" Sekar juga baru mendengar istilah itu.

"Oh, iya. Kita kan bisa mencari jawabannya di internet, ya. Iya kan, Dit?" Rio meminta persetujuan Adit atas pendapatnya itu.

Adit hanya mengacungkan jempolnya dan berkata, "Betul, betul, betul."

Pak Suryo yang sedari tadi hanya tersenyum dan menyimak tingkah laku keempat anak itu pun angkat bicara. "Periuk itu alat untuk memasak nasi."

"Berarti sama seperti dandang ya, Om?" Sekar bertanya dengan mata berbinar. Pak Suryo menjawab dengan penuh antusias sambil mengangkat dua jempol tangan untuk Sekar. "Iya, betul sekali anak cantik."

"Sekarang lebih modern lagi ya, Om. Sudah banyak orang-orang yang menggunakan rice cooker untuk menanak nasi." Wira menimpali dengan cerdas.

"Oh, iya. Benar sekali! Kalian memang anak-anak hebat!" Pak Suryo memuji tulus dari dalam hati dan selalu berusaha membesarkan hati keempat anak itu sehingga semakin percaya diri.

"Iya, anak-anakmu ini memang hebat, Yo. Beruntung kamu mempunyai anak seperti Adit dan ketiga temannya ini. Anggap saja semua anak ini adalah anakmu, Yo. Mbah menitipkan mereka padamu agar mereka bisa menjadi anak-anak yang membanggakan orang tua, bangsa, dan negara."

"Iya, Mbah." Pak Suryo mengangguk dengan penuh hormat menandakan bahwa ia menyetujui dan menyanggupinya.

"Mbah, ada yang ingin Adit sampaikan pada Mbah dan Ayah. Sebetulnya Adit menemukan ini di ladang penduduk. Waktu Adit bermain sendirian, Adit melihatnya, lalu Adit mengambilnya dan selama dua hari berturut-turut, Adit menyimpannya di dalam tas selempang ini."

Akhirnya Adit mengeluarkan benda kecil yang selama ini dia yakini sebagai keris dan selalu dia simpan di tasnya itu.

 (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun