"Ayahmu tidak menceritakan kejadian ini kepadamu untuk menjaga dan menghargai Mbah yang ingin hidup menyendiri di sini namun tetap berguna bagi banyak orang. Di sini Mbah bisa lebih fokus untuk selalu dekat dengan Tuhan dan berguna bagi sesama."
Lalu, selain Ayah Adit, apakah ada orang lain lagi yang mengetahui kalau Mbah tinggal di sini dan bukan seorang dukun?" Sekar bertanya pelan dan matanya terus memerhatikan wajah Mbah Broto yang menyejukkan.
"Ya, ada beberapa orang yang datang kemari, mereka adalah orang kepercayaan Mbah dan mereka juga seringkali membawakan apa yang Mbah perlukan karena tidak ada di sini."
Oh, begitu ya, Mbah. Sekar mengangguk-anggukan kepala setelah mendengar jawaban Mbah Broto.
"Mengapa Mbah menyimpan keris-keris itu? Dari mana Mbah mendapatkannya?" Wira yang sedari tadi hanya terdiam mendengarkan, akhirnya membuka suara."
"Itu Mbah dapatkan dari berbagai tempat yang Mbah kunjungi di sekitar tanah Jawa. Itu hanya koleksi saja. Mbah menghargai tradisi dan juga budaya Jawa. Leluhur Mbah yang mengajarkannya. Keris-keris itu disebut juga benda pusaka dan biasanya Mbah akan mencucinya saat bulan Suro.
Bulan Suro adalah nama bulan pertama dalam penanggalan Jawa dan diambil dari salah satu perayaan keagaaman pada bulan pertama penanggalan Islam."
"Bagaimana dengan hiasan-hiasan yang menyerupai kepala manusia itu, Mbah? Apakah itu termasuk benda pusaka?" Rio kembali bertanya kepada Mbah Broto dengan raut wajah yang semakin antusias.
"Oh, itu hanya sekadar kesenangan Mbah saja, itu karya orang-orang yang sangat menghargai seni dan dengan terampil membuatnya dari tanah liat. Mbah dapatkan hiasan-hiasan itu dari industri gerabah di Kasongan Yogyakarta. Mereka memproduksi kendi, celengan, anglo, periuk, dan lainnya. Namun, Mbah memesan khusus pada salah satu pekerja di sana untuk dibuatkan hiasan berbentuk kepala manusia seperti yang tergantung di dinding anyaman gubuk rumah ini, kemudian ditambah ijuk panjang agar terkesan seram. Itu juga termasuk ke dalam seni budaya." Mbah Broto terkekeh-kekeh seraya melihat wajah anak-anak satu per satu.
Wira pun bersuara lagi. "Mbah, tadi Mbah menyebutkan tentang kendi, anglo, dan periuk. Itu apa sih, Mbah? Wira baru mendengar istilah itu."
"Nah, sebelum Mbah menjawabnya, apakah Adit, Rio, dan Sekar tahu? Coba dijawab pertanyaan temanmu itu. Mbah Broto memberi kesempatan kepada teman lainnya untuk berani berpendapat dari apa yang mereka ketahui.