Saat itu, aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, aku ingin sekali dibelikan sepeda mini oleh Bapak. Di kampungku sepeda mini adalah sebutan untuk sepeda yang biasanya dipakai oleh anak perempuan dan didepannya terdapat keranjang yang cukup besar. Bisa untuk menaruh tas sekolah atau belanjaan dari pasar.
Bapak bukanlah orang yang serta merta langsung memberi apa yang diinginkan oleh anaknya. "Nanti tunggu ada uang." Begitu kalimat yang sering aku dengar, walaupun aku tahu untuk seorang Bapak yang merupakan Pegawai Negeri Sipil, bukankah ia menerima uang banyak setiap bulannya?
Dengan sabar aku menunggu sampai Bapak menyetujui proposal permintaan sepeda mini yang aku inginkan. Untuk mengobati keinginanku itu, aku sering meminjam sepeda temanku dan kami bersepeda bergantian di lapangan besar belakang rumahku.
Akhirnya, setelah sekian bulan berlalu, aku pun lupa, mungkin setahun lebih menunggu, Bapak membelikanku sepeda mini, itupun bukan sepeda baru tapi sepeda bekas yang keadaannya masih bagus dan layak pakai. Sepeda itu dibeli dari teman Bapak yang sekaligus beliau sering mengurus sawah Bapak.
Waktu itu aku sempat bergumam dalam hati, "Bapak sungguh terlalu, sepertinya Bapak mampu membelikanku sepeda yang benar-benar baru, tapi ini aku dikasih yang bekas?"Â
Tapi nggak apa-apalah, itu pun hanya sebuah gumaman seorang anak kecil, yang mana hal itu dalam semenit saja sudah aku lupakan karena aku terlalu senang untuk bersepeda di lapangan. Tak lupa aku pasang balon di belakang sepedaku sehingga ketika aku kayuh sepedaku, balon itu meliuk-liuk tertiup angin.
Sempat juga aku merasa iri, "Kenapa kakakku dibelikan sepeda merk BMX yang benar-benar baru dan dibeli di toko sepeda terkenal di kota kabupaten?" Ah, tapi lagi-lagi hanya dalam semenit, hal itu aku abaikan. Aku kembali bersenang-senang dengan sepeda baruku yang mana itu adalah sepeda bekas.
******
Sekian tahun berlalu, aku memutuskan untuk menimba ilmu di luar kota bahkan luar provinsi. Aku memilih SMA berasrama supaya aman. Itu kata Bapak. Aku tinggalkan sepeda mini kesayanganku. Walaupun sepeda bekas, Bapak rajin servis sepedaku, sehingga jika rantainya sudah kendor atau pedalnya sudah tidak enak dikayuh, Bapak akan perbaiki atau sekadar memberi oli.
Selama aku sekolah berasrama, sepeda mini itu nggak pernah ada yang pakai, sehingga Bapak menggantungnya di tembok dan semakin lama semakin berdebu. Akhirnya sepeda itu dijual Bapak. Ah, aku lupa, apakah memang dijual atau diberikan alakadarnya ke orang yang memerlukan.
Saat libur sekolah tiba, aku teringat sepedaku itu. Ingin mencoba menaikinya lagi, namun saat dicari ke belakang rumah, ternyata sepeda itu sudah tidak berada di tempatnya. Aku sedikit kecewa, "Kenapa Bapak tidak meminta persetujuanku dulu untuk menjual atau memberikan sepeda itu?"Â
Bapak hanya menjawab pendek, "Nanti kalau punya uang, beli lagi yang lebih bagus." Begitulah Bapakku, tidak pernah berkata-kata dengan kalimat yang panjang. Aku sebagai anak pun sering merasa segan.
******
Setelah lulus SMA, aku melanjutkan kuliah ke kota sebelah, berarti masih satu provinsi dengan SMAku. Aku berangkat naik travel yang ditempuh dengan waktu sekitar 1,5 - 2 jam. Nggak tahu aku harus ke mana, aku hanya berbekal alamat kos kakak kelasku waktu SMA.
 Aku terus bertanya ke sopir travel sampai-sampai sopir travel sedikit kesal karena aku terlalu sering bertanya. Aku bertanya karena aku memang nggak tahu alamat itu.
Sopir travel wajahnya semakin terlihat kurang ramah saat ia menyadari jalan yang dimaksud terlewat. Ia turun dari travel dan menurunkan beberapa barangku dengan sedikit bersungut-sungut. Saat itu aku seperti orang yang amat sangat menyusahkan sopir travel itu.Â
Aku pun teringat Bapak, "Kenapa sih Pak, aku terlalu dibiarkan sendirian? Kok nggak seperti teman-teman yang lain ya, mereka dijemput orang tuanya dan diantar cari kampus atau tempat kos. Tapi lagi-lagi, perasaan itu nggak sampe semenit, sebentar saja sudah berlalu.Â
Mungkin juga aku yang memaksakan diri agar perasaan itu segera berlalu. Aku selalu ingat kata-kata Bapak, "Kalau belum merasa mau mati, jangan minta tolong Bapak. Ibarat minum obat atau pil pahit, telan saja."
Akhirnya dengan berbekal tanya sana-sini, aku temukan juga kos kakak kelasku itu. Kos yang cukup nyaman dengan penghuninya yang baik dan ramah. Kos khusus perempuan yang super duper alim. Aku tinggal di situ sampai aku dinyatakan diterima kuliah dan pindah kos ke tempat yang lebih dekat dengan kampus.
Sebetulnya aku punya saudara yang sudah lebih dulu kuliah di kota itu, namun aku juga nggak tahu di mana ia tinggal. Nggak tahu juga nomor teleponnya, saat itu sepertinya juga belum ada ponsel, mungkin pager sudah ada, tapi hanya orang kaya kan yang punya pager pada zamannya.Â
Nomor telepon kos saudaraku juga aku nggak tahu. Entah bagaimana ceritanya, akhirnya saudaraku tahu kalau aku sudah satu kota dengannya dan beberapa kali aku pun ditengok olehnya.
******
Kurang lebih saat semester 2, aku mendapat paket dari salah satu ekpedisi. Entah sekarang ekspedisi itu masih ada atau nggak. Paketnya besar dan Bapak ekspedisi itu bilang,Â
"Ini saya antar paket dari Bapak." Aku spontan bertanya, "Wah, apa ya itu? Kok besar dan seperti sebuah sepeda?" Ternyata benar, itu sebuah sepeda tipe Federal yang sangat terkenal pada zamannya. Walaupun bukan asli, tapi aku senang karena aku bisa naik sepeda setiap kali berangkat ke kampus.
Itulah Bapakku, minta sepeda barunya kapan, eh dikasihnya sekian tahun kemudian. Sepeda itu menemaniku ke kampus, ke kos teman saat mengerjakan tugas kelompok atau saat beli makan di kala perut ini lapar.
Lulus kuliah, aku balas apa yang dilakukan Bapakku dulu, berhubung repot paketin sepeda, akhirnya aku jual sepeda itu dengan harga yang lumayan. Saat Bapak bertanya, "Sepedanya mana?" Aku jawab asal saja, "Dijual, terus duitnya dipakai jajan." Haha, terima kasih Bapak yang sudah belikan aku sepeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H