Mohon tunggu...
Anastasia Bernardina
Anastasia Bernardina Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka Aksara

Berbagi energi positif dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sepeda Mini dari Bapak

21 Juni 2022   22:00 Diperbarui: 21 Juni 2022   22:09 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diunduh dari pixabay.com

Selama aku sekolah berasrama, sepeda mini itu nggak pernah ada yang pakai, sehingga Bapak menggantungnya di tembok dan semakin lama semakin berdebu. Akhirnya sepeda itu dijual Bapak. Ah, aku lupa, apakah memang dijual atau diberikan alakadarnya ke orang yang memerlukan.

Saat libur sekolah tiba, aku teringat sepedaku itu. Ingin mencoba menaikinya lagi, namun saat dicari ke belakang rumah, ternyata sepeda itu sudah tidak berada di tempatnya. Aku sedikit kecewa, "Kenapa Bapak tidak meminta persetujuanku dulu untuk menjual atau memberikan sepeda itu?" 

Bapak hanya menjawab pendek, "Nanti kalau punya uang, beli lagi yang lebih bagus." Begitulah Bapakku, tidak pernah berkata-kata dengan kalimat yang panjang. Aku sebagai anak pun sering merasa segan.

******

Setelah lulus SMA, aku melanjutkan kuliah ke kota sebelah, berarti masih satu provinsi dengan SMAku. Aku berangkat naik travel yang ditempuh dengan waktu sekitar 1,5 - 2 jam. Nggak tahu aku harus ke mana, aku hanya berbekal alamat kos kakak kelasku waktu SMA.

 Aku terus bertanya ke sopir travel sampai-sampai sopir travel sedikit kesal karena aku terlalu sering bertanya. Aku bertanya karena aku memang nggak tahu alamat itu.

Sopir travel wajahnya semakin terlihat kurang ramah saat ia menyadari jalan yang dimaksud terlewat. Ia turun dari travel dan menurunkan beberapa barangku dengan sedikit bersungut-sungut. Saat itu aku seperti orang yang amat sangat menyusahkan sopir travel itu. 

Aku pun teringat Bapak, "Kenapa sih Pak, aku terlalu dibiarkan sendirian? Kok nggak seperti teman-teman yang lain ya, mereka dijemput orang tuanya dan diantar cari kampus atau tempat kos. Tapi lagi-lagi, perasaan itu nggak sampe semenit, sebentar saja sudah berlalu. 

Mungkin juga aku yang memaksakan diri agar perasaan itu segera berlalu. Aku selalu ingat kata-kata Bapak, "Kalau belum merasa mau mati, jangan minta tolong Bapak. Ibarat minum obat atau pil pahit, telan saja."

Akhirnya dengan berbekal tanya sana-sini, aku temukan juga kos kakak kelasku itu. Kos yang cukup nyaman dengan penghuninya yang baik dan ramah. Kos khusus perempuan yang super duper alim. Aku tinggal di situ sampai aku dinyatakan diterima kuliah dan pindah kos ke tempat yang lebih dekat dengan kampus.

Sebetulnya aku punya saudara yang sudah lebih dulu kuliah di kota itu, namun aku juga nggak tahu di mana ia tinggal. Nggak tahu juga nomor teleponnya, saat itu sepertinya juga belum ada ponsel, mungkin pager sudah ada, tapi hanya orang kaya kan yang punya pager pada zamannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun