Hal yang keliru tercermin pada lain sisi yaitu tidak dilibatkannnya budaya yang ada dan hal yang mungkin diperlukan pada kawasan yang diberikan kebijakan. Hasilnya adalah pada kurangnya konsistensi dan koherensi (keterpaduan makna) terhadap practice based inquiry (praktek mengajar berbasis penyelidikan atau investigasi) dan teaching for understanding (mengajar sampai tingkat memahami). Â
Guru juga bisa salah menafsirkan suatu perubahan dan mengubah fitur di permukaannya yang mana akan berakibat lebih buruk lagi. Misalnya menyertakan secara berlebihan pada pekerjaan kelompok siswa, atau menggunakan sesuatu yang sifatnya manipulatif untuk menghadapi suatu permasalahan di dunia nyata.
Oakes et al (1999: 242) dalam Fullan (2005: 22) mengamati bahwa pendidik yang seringkali terburu-buru dalam mengadopsi strategi baru tanpa mempertimbangkan implikasi yang lebih mendalam. Perubahan program dan kebijakan yang tidak berbobot dan sifatnya musiman pun dengan mudah lolos karena beberapa hal, yaitu diantaranya.
- Kurangnya kritik terhadap guru
- Banyak masalah yang diperkenalkan dalam perubahan
- Kurangnya kesempatan bagi guru untuk mempertanyakan lebih dalam dan mempelajarinya lebih dalam
Secara singkat tidak ada alasan bagi guru untuk mempercayai nilai perubahan yang diusulkan dan beberapa inisiatif untuk mencari tahu apakah perubahan yang diberikan itu memiliki dampak perubahan yang berharga atau bermakna. Maka dari itu perubahan (inovasi) menjadi suatu tindakan kepercayaan. Untuk mengurangi ketidakberhasilan dalam suatu inovasi adalah meluangkan energi dan waktu untuk mempelajari keterampilan baru. Kesalahan lain juga pada mengabaikannya budaya sekolah (Sarason, 1982 dalam Fullan, 2005: 23).
Dua hal yang paling populer (tetapi dalam diri mereka sering kurang) yiatu:
- penggunaan tujuan umum (asumsinya adalah bahwa guru harus menentukan perubahan sesuai dengan situasi mereka sendiri).
- memperjelas dan memperdetail standar persyaratan dari suatu perubahan
Gross & Associates (1971) Â dan Hiberman & Miles (1984) dalam Fullan (2005: 24) menemukan bahwa tujuan yang tidak jelas yang dikombinasikan dengan perintah langsung kepada guru untuk mengoprasionalkannya mengakibatkan kebingungan, frustasi, kecemasan, dan pengabaian upaya dari guru tersebut. Kejelasan yang palsu dan keliru terjadi ketika orang mulai berpikir mereka telah berubah, tetapi nyatanya hanya berasimilasi dengan praktik baru yang rendah dan tidak berbobot. Ketidakjelasan yang menyakitkan terjadi ketika inovasi atau perubahan tidak jelas dipaksakan untuk dicoba pada kondisi yang tidak mendukung guru untuk menerapkannya.
Kesimpulan mendasar dari arti subyektif dari perubahan adalah 1) perubahan akan selalu gagal samapi kita menemukan beberapa cara untuk mengembangkan infrastuktur dan sarana yang ada, serta adanya proses yang melibatkan guru dalam mengembangkan pemahaman baru. 2) dalam perubahan kita tidak membahasnya dalam hal yang sifatnya formalitas atau hanya sampai pada makna permukaan saja, tetapi lebih pada makna mendalam tentang pendekatan baru untuk mengajar dan belajar.
Perubahan seringkali tidak dipahami sebagai suatu multidimensi, sehingga ha tersebut memunculkan fenomena menarik, yaitu 1) mengapa beberapa orang menerima sebuah inovasi yang mereka tidak mengerti; 2) mengapa beberapa aspek perubahan diterapkan dan yang lainnya tidak; 3) mengapa strategi perubahan, mengabaikan komponen tertentu yang penting.
Dalam pelaksanaan perubahan perubahan pendidikan melibatkan perubahan dalam praktik. Perubahan dalam praktik bisa terjadi pada beberapa level, seperti dalam level di kelas oleh guru, sekolah oleh guru-guru dan staff, dan kabupaten dalam sekolah oleh para pemegang kebijakan di daerah setempat.
Terdapat tiga komponen/dimensi yang dipertaruhkan dalam menerapkan suatu program atau kebijakan baru, yaitu sebagai berikut.
- Kemungkinan perubahan materi baru seperti kurikulum atau teknologi
- Kemungkinan penggunaan pengajaran baru seperti strategi atau kegiatan pengajaran yang baru
- Kemungkinan perubahan paham, misalnya asumsi dan teori pedagogis yang mendasari kebijakan atau program baru.
Ketiganya menjadi tiga aspek perubahan yang diperlukan, mewakili sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Atau bisa dibilang tiga komponen tersebut menjadi kunci dalam perubahan yang terjadi dalam pendidikan. Pertanyaan yang muncul yaitu, "Apakah tercapai atau tidak?" Jawabannya tergantung pada kualitas dan kesesuaian perubahan untuk permasalahan atau tugas yang sedang dihadapi. Â tetapi pada dasarnya 1) seorang guru bisa menggunakan materi kurikulum atau teknologi baru (1) tanpa mengubah pendekatan pengajaran yang diterapkan (2); atau 2) guru dapat mengguanakn materi dan mengubah beberapa pendekatan pengajaran (2) tanpa mengubah paham yang mendasari suatu perubahan (3).Â