Mohon tunggu...
Anand Krishna
Anand Krishna Mohon Tunggu... Penulis - Humanis Spiritual, Penulis

Bangga dengan akar budayanya dari peradaban Sunda-Sindhu-Saraswati - Shintu, Indus, Indies, atau Hindia, dimana Kepulauan Nusantara adalah bagian darinya - Anand Krishna lahir di Solo, Jawa-Tengah (Indonesia), yang oleh Śukā Nādi - lontar-lontar kuno yang sudah berusia ribuan tahun - telah diramalkan sebagai Karma-Bhūminya atau Bumi di mana ia mesti Berkarya. Dr. Rajendra Prasad, Presiden India yang pertama ketika melihat Krishna kecil menyatakan, “Anak ini bukan anak biasa.” Ramalan itu telah menjadi kenyataan. Tinggi menjulang bagaikan Gunung Meru yang legendaris, Anand Krishna seinchi pun tak bergeming dari jalan yang ditempuhnya, terlepas dari berbagai cobaan dan guncangan yang dihadapinya. Selain Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB) sebagai organisasi induk, Anand Krishna juga telah menginspirasi beberapa lembaga sosial dan pendidikan lainnya. Presiden Indonesia keempat, K.H. Abdurrahman Wahid, mengakui kontribusinya dan berkata, “Bila kita menginginkan kedamaian, maka kita harus mendengar apa yang dikatakan Anand Krishna.” Hingga kini dia telah memiliki warisan adiluhung hampir 170 judul buku yang sudah tersebar lebih dari 1.5 juta eksemplar dalam 18 tahun terakhir. Banyaknya orang dari berbagai latar kepercayaan yang menghadiri ceramah-ceramahnya adalah salah satu bukti nyata perwujudan visinya tentang “Satu Bumi, Satu Langit, Satu Kemanusiaan.” (Saat diperkenalan di Konvensi Guru Sangamam, Pertemuan para Pemandu Spiritual di New Delhi - India, 12 April 2012)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mulat Sarira Hangrasa Wani

18 Januari 2021   16:05 Diperbarui: 18 Januari 2021   17:54 2474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kita sudah Sering Sekali Mendengar bahwa kritik yang membangun mesti diterima. Menolaknya berarti menolak perbaikan, perkembangan dan pertumbuhan. 

Sementara itu, Guru saya selalu mengingatkan bahwa semua kritik baik adanya. Tidak ada kritik yang menjatuhkan, semuanya membangun. Kritik apapun mesti diterima sebagai sarana untuk melakukan atma-chintan, self-introspection atau introspeksi diri. 

Dalam tradisi Jawa kita memiliki petuah yang luar biasa: Mulat Sarira Hangrasa Wani, Rumangsa Melu Handarbeni, Wajib Melu Angrungkebi. 

Untuk memahami kearifan yang terkandung dalam petuah ini, kita tidak bisa menyingkat-nyingkatkan artinya, atau memenggalnya sesuka kita, kemudian memilih penggalam yang lebih convenient, lebih nyaman dan mudah bagi kita.

Kita perlu Memahami Pitutur ini secara utuh. Teringat penjelasan yang pernah diberikan oleh Pangeran Hadiwijoyo, Pendiri Universitas Saraswati di kota kelahiran saya, Surakarta, kepada ayah saya, yang kemudian Beliau terjemahkan dalam bahasa Sindhi dan menulisnya dalam buku harian beliau.

Terjemahan ulang ini dari bahasa Sindhi: "Keberanian untuk Melihat baik kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan, maupun kekuatan-kekuatan dan kebaikan-kebaikan di dalam diri; kemudian, Ikut Bertanggung Jawab atas penemuan itu; terakhir, Kewajiban untuk Menjaga Kebaikan dan Memperbaiki Kesalahan."

Banyak di antara kita saat ini yang hanya menggunakan penggalan Mulat Sarira untuk membenarkan kemauan kita, ego kita, keakuan kita, dan keengganan kita untuk memperbaiki diri.

Jika Kita mau Belajar dari Sejarah, peradaban-peradaban yang hanya berpegang pada konsep puratana - "yang lama itu selalu baik" atau sebaliknya, "yang lama sudah kadaluarsa semua dan mesti di tinggalkan" - telah punah tanpa bekas.

Peradaban-peradaban tua yang masih eksis hanyalah yang berani menoleh ke dalam diri, membebaskan diri dari beban kebiasaan-kebiasaan di masa lalu yang tidak berguna, namun tetap melestarikan nilai-nilai luhur yang masih relevan. 

Demikian, peradaban-peradaban tersebut meremajakan dirinya dari waktu ke waktu dan menjadi nita-nutana, selalu segar, selalu baru. Dan, sekaligus sanatana, eternal, abadi. 

Seperti yang dikatakan oleh Begawan Patanjali dalam Yoga Sutra, bahwasanya ada nilai-nilai luhur yang mesti selalu dijunjung tinggi tanpa kompromi. Nilai-nilai tersebut berlaku sepanjang masa. Misalnya: Kebenaran, Kejujuran, Keberanian yang Bertanggung Jawab, Kedamaian, Kasih Sayang dan sebagainya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun