Suasana hiruk pikuk kebisingan manusia mulai memekakkan telingaku,warna-warni lampu kota semakin memperindah malam, tapi semua itu hanyalah kehidupan duniawi semata. Â Ya begitulah kehidupan sekarang yang jauh dari rasa kedamaian dan ketentraman. Â Yang terjadi hanya pertikaian, perkelahian dan pembunuhan.
Aku masih termenung memandang langit  dari balik jendela yang begitu pekat warna hitamnya, hanya sedikit bintang yang menemaninya, mataku menerawang jauh sangat jauh tapi lagi-lagi yang kutemukan hanyalah kegelapan. Kutengok berkali-kali jam tanganku  sudah menunjukkan pukul 10 malam. Semakin sulit kupejamkan mata. Jakarta makin malam makin ramai. Kehidupan ibukota yang sungguh menyesakkan dada, kerjaan yang semakin mendekati deadline.
"Rindu"lirihku pelan mataku tertuju foto yang ada di sebelah laptopku. Keriput di wajah dan rambut putih yang sudah terlihat tersenyum lebar. Â Tampak terlihat jelas, foto ibu setahun yang lalu.
"Bu, sini foto dulu kata orang kota ini kamera mahal lo" sahutku setengah memaksa sambil tersenyum nakal memaksa beliau yang sedang mengeringkan  pakaian.
"Sabar nduk kamera mahal opo toh?" jawabnya berjalan ke arahku
"Itu loh Bu  yang kalau kita foto langsung bisa muncul hasilnya
"Walah, yang benar nduk jamane semakin canggih"rasa penasaran terlihat di wajah Ibu
"1 2 3 senyum Bu" cekrek suara kamera terdengar begitulah memori setahun yang lalu.
Tak terasa air mata pun mengalir, kuketik nama di handphone dan segera menekan tombol panggilan.
Telepon pun tak lama terangkat,
 "Assalamualaikum. Bu, sampun sare ?" tanya ku agak khawatir karena biasanya Ibu sudah istirahat.
"Waalaikumsalam, sehat nduk? Ibu lagi gawe kue apem  kanggo acara kulawarga pa Mukhti''
"loh Bu ojo ngoyo suruh orang buat bikin kue apem atau beli aja'' aku sedikit menggerutu dan khawatir
''Ora kesel Bi Ningsih mbantu iki, udah makan nduk? Jawabnya begitu lembut dan mencoba untuk meyakinkanku
"Sudah Bu sudah malem pastinya tos dahar, Ibu sudah makan kan? aku kangen besok aku pulang ya Bu" kataku sambil menahan tangis
Ibu terdiam sejenak, sepertinya tanpa berkata sedikitpun beliau tahu aku sedang dalam masalah entah itu kecil atau besar Ibu selalu tahu anak-anaknya saat sedang bersedih.
 "Pulang saja nduk, pintu rumah selalu terbuka untukmu, kalau capek ya istirahat jangan dipaksakan, gak baik lo nduk memaksakan kehendak kita, badanmu itu bukan robot'' nada bicaranya sungguh menenangkan. Itulah yang sedang kubutuhkan saat ini, tanpa perlu di hakimi hanya perlu didengarkan dan diperhatikan.
''Inggih Bu, aku pulang besok Ibu istirahat ya udah malam Assalamualaikum" kataku sambil tersenyum
"Waalaikumsalam nduk jangan lupa sarapan dulu besok" jawabnya sambil menutup panggilan
Telepon pun terputus percakapan kami berakhir malam ini
 Hari ini memang begitu melelahkan, presentasi yang di tiru, pegawai baru yang masuk melalui jalur dari orang dalam, di tambah ketinggalan kereta serta laptop yang rusak. Serta tak perlu lagi kusebutkan namanya.  Lelaki brengsek yang pernah mengisi hatiku. Rasanya ingin sebentar saja menghilang dari segala aktivitas ini, rasa kantuk mulai menyerang mataku mulai terpejam notif pesan muncul di layar handphone
 Â
 Esti, maaf dia bukan siapa-siapa hanya sebatas teman saja. kamu ga marah kan?
 Keadilan dunia memang suatu hal yang sulit kita dapatkan, terkadang keegoisan mengalahkan semuanya.  Sebenarnya  bukan dunia yang tidak adil, bukan dunia yang kejam, bukan dunia yang egois.  Tetapi orang-orang yang ada di dalamnya yang menyebabkan itu semua, menjadikan warna pelangi tak seindah biasanya, membuat cahya rembulan menjadi gelap, menjadikan sinar matahari padam.
Itu semua membuat menjadikan dunia penuh hiruk pikuk dan penuh kebisingan. Namun ada seseorang yang selalu membuatku nyaman dan aman.
Sosok tanpa pamrih, Ibu, begitu panggilannya beliau sering seperti lilin yang rela membakar habis dirinya untuk kebahagian orang sekitar, kebohongan-kebohongan kecil yang aku tahu sebenarnya itu demi keluarganya. Â Masih teringat jelas seringkali Ibu rela berbohong sudah makan kepada aku dan masku. Sepeninggal bapak, hidup kami pernah di satu titik sungguh sulit sampai pada akhirnya aku mendapatkan beasiswa kuliah dan merantau ke Jakarta. Mas Priyo yang sudah berkeluarga dan Ibu sekarang tinggal sendiri di kampung. Berulang kali kuajak dan selalu menolak. Mas juga sudah sering menawarkan, katanya ga enak nanti merepotkan. Begitulah Ibu yang selalu mendahulukan kepentingan anak-anaknya.
Tekadku sudah bulat besok aku akan mengambil cuti, rasa rindu yang membuncah dan juga aku butuh untuk beristirahat sejenak.
Coretan
Kasih sayang, cinta, dan senyuman
Terbakar habis tanpa sisa
Untaian doa selalu terucap
Hanya Tuhan yang mampu membalas
Segala kebaikan kan selalu terkenang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H