0,79%
Total
3.626.616
100,00%
Berdasarkan data tersebut maka dapat dipahamai bahwa kalimantan selatan merepakan daearah agamis, tidak heran jika darerah ini tergolong kota agamis. Hal ini di buktikan dengan banyaknya unlama-ulama besar yang terdapat di wilayahnya, serta banyak terdapat pesantren-pesantren yang tersebar di berbagai wilayahnya. Dia antara beberapa ulama besar yang masyhur yaitu: Muhammad Arsyad al-Banjari, Muhammad Nafis al-Banjari, Muhammad Zaini Abdul Ghani (Guru Sekumpul).
Ulama merupakan figur yang sangat di hormati oleh umat, mereka tunduk dan patuh serta melaksanakan berbagai aktivitas yang di anjurkan oleh para ulama. Berbagai fatwa-fatwa mereka merupakan perintah bagi umat demikian fenomena yang berkembang pada masyarakat kalimantan selatan dalam aktivitas hidup dan kehidupan mereka. Hal tersebut mencakup seruluh aspek kehidupan, tidak terkecuali masalah transaksi tukar menukar (jual beli). Bebagai aktivitas seputar traksaksi tidak luput dari fatwa ulama baik itu caranya, benda yang digunakan maupun fungsi dan manfaatnya akan selalu mentitik beratkan kepada fatwa atau dasar hukum yang ditetapkan oleh ulama sebagai timbangan boleh dan tidaknya traksaksi itu dilakukan.
Beberapa waktu yang lalu terlah di laksanakan sebuah kegiatan sosialisai mengenai transaksi berbasis non tunai. Bertempat di hotel Golden Tulip dengan mengangkat tema “Banjarmasin Jelajah Non Tunai” yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia (BI) dan Kompasiana. Saya satu dari sekian banyak peserta yang ikut dalam kegiatan sosialisasi tersebut. Bagi saya pribadi kegiatan ini sangat positif dan memberi berkesan seru, dimana banyak hal-hal baru yang saya ketahui seputar kegiatan transaksi. Kegiatan pada hari itu dibagi dalam beberapa sesi materi dan tanya jawab atas materi yang disampaikan.
Mencermati kegiatan tersebut saya menemukan beberapa masalah dan hal menarik, yang menurut saya harus diperhatikan dalam rangka mensukseskan rencana penerapan transaksi non tunai di Indonesia. Berawal dari beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peserta, yaitu “masyakat terbiasa menggunakan uang tunai”. Bicara kalimantan dan Kal-Sel pada khususnya problem itu tidak bisa di anggap sepele, sebab memang demikian adanya. Masyarakat Kal-Sel sangat asing dengan istilah transaksi uang non tunai dan mereka meresa transaksi tersebut justru menyulitkan dibandingankan transaksi uang tunai. Problem ini semakin besar dengan terbatasnya fasilitas traksaksi itu sendiri di tengah-tengah masyarakat, hanya tempat-tempat tertentu yang cenderung mewah dan modern saja yang menyediakan sarana transaksi non tunai. Namun berbanding terbalik dengan tempat tradisional sepeti pasar-pasar tradisional yang justru asing dengan fasilitas transaksi tersebut.
Hal menarik yang juga harus diperhatikan adalah tentang acuan berprilaku masyarakat kalimantan selatan. Sebagaiman disinggung diatas bahwa masyarakat Kal-Sel tidak terlepas kecenderungan agama dalam hal ini adalah fatwa ulama, pedoman mereka dalam berperilaku, bersikap serta mengambil keputusan sangat dipengaruhi oleh fatwa tersebut. Demikian pula dengan transaksi non tunai yang gencar di sosialisasikan hendaknya memeperhatikan peluang ini jika ingin berhasil dalam penerapannya. Sebab tidak dapat dipungkiri pendekatan religius sesuai dengan kultur masyrakat kalimantan selatan dan paling realistis akan berhasil.