Selain itu, minimnya infrastruktur pendukung menjadi kendala besar. Banyak wilayah pertanian yang tidak memiliki akses jalan, irigasi, atau teknologi yang memadai untuk meningkatkan produktivitas. Tantangan ini diperparah oleh kurangnya dukungan teknis dan pendanaan bagi petani penerima manfaat. Mereka sering kali kesulitan mengakses pembiayaan, pelatihan, atau teknologi modern, sementara pemerintah lambat dalam menyediakan dukungan pasca-redistribusi lahan. Masalah data dan administrasi turut menghambat reforma agraria. Data agraria yang tidak akurat atau usang sering kali menyulitkan proses redistribusi. Program sertifikasi tanah juga terhambat oleh kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Di sisi lain, perlawanan dari pemegang kekuasaan lama, seperti elite ekonomi dan politik yang diuntungkan oleh ketimpangan agraria, menjadi tantangan besar dalam mendorong perubahan. Tantangan lingkungan juga tidak bisa diabaikan. Sebagian lahan yang dialokasikan dalam reforma agraria berada di kawasan yang rentan, seperti hutan lindung atau area rawan bencana. Kerusakan lingkungan akibat redistribusi ini sering kali menjadi dilema tersendiri. Di samping itu, kurangnya komitmen politik sering kali menjadikan reforma agraria hanya sebatas jargon tanpa implementasi nyata.
Terakhir, tantangan sosial dan budaya juga menjadi hambatan. Tidak semua masyarakat adat atau petani kecil memiliki kemampuan untuk mengelola lahan yang diterima. Perbedaan nilai budaya terkait tanah, terutama di masyarakat adat, juga sering berbenturan dengan kebijakan formal pemerintah. Untuk mengatasi berbagai tantangan ini, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan komunitas lokal. Pendekatan ini mencakup perbaikan regulasi, peningkatan kapasitas petani, penguatan akses terhadap teknologi dan pasar, serta komitmen politik yang konsisten untuk mewujudkan keadilan agraria.
Studi Kasus: Keberhasilan dan Kegagalan Perlindungan Tanah Adat
Keberhasilan: Pengakuan Tanah Adat Masyarakat Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan
Masyarakat Adat Kajang berhasil mendapatkan pengakuan atas tanah adat mereka melalui reforma agraria. Pada tahun 2016, pemerintah menetapkan kawasan hutan adat seluas 313 hektar sebagai hak Masyarakat Kajang. Keberhasilan ini didukung oleh kolaborasi antara masyarakat lokal, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah. Pengakuan ini tidak hanya melindungi hak masyarakat adat atas tanahnya tetapi juga mendukung keberlanjutan lingkungan. Masyarakat Kajang memiliki kearifan lokal dalam mengelola hutan secara tradisional, seperti larangan eksploitasi hutan secara berlebihan melalui aturan adat (Pasang ri Kajang). Pengakuan tanah adat tersebut menjadi contoh bahwa reforma agraria dapat berjalan efektif jika didukung oleh keterlibatan semua pihak dan adanya penghormatan terhadap kearifan lokal.
Kegagalan: Konflik Tanah Adat Suku Anak Dalam, Jambi
Berbeda dengan Kajang, Suku Anak Dalam di Jambi menghadapi kegagalan dalam mempertahankan tanah adat mereka melalui reforma agraria. Sejak tahun 1980-an, kawasan yang mereka klaim sebagai tanah adat telah dikonversi menjadi area perkebunan kelapa sawit melalui pemberian hak guna usaha (HGU) kepada perusahaan besar. Meskipun ada program reforma agraria yang berusaha merelokasi sebagian lahan kepada masyarakat adat, implementasinya terhambat oleh konflik dengan perusahaan pemegang HGU. Selain itu, minimnya bukti administrasi terkait hak atas tanah adat menjadi kendala bagi Suku Anak Dalam untuk mendapatkan pengakuan resmi. Akibatnya, masyarakat adat kehilangan akses ke tanah mereka, yang berdampak buruk pada kelangsungan hidup, identitas budaya, dan kearifan lokal yang mereka miliki.
Kesimpulan
Reforma agraria merupakan instrumen penting dalam menciptakan keadilan sosial dan pemerataan ekonomi, khususnya bagi masyarakat kecil dan adat yang kerap terpinggirkan. Dengan redistribusi tanah yang adil, reforma agraria berpotensi meningkatkan kesejahteraan petani, memperkuat kemandirian pangan, dan mendorong keberlanjutan lingkungan.
Namun, keberhasilan reforma agraria sangat bergantung pada penyelesaian tantangan seperti konflik kepemilikan lahan, ketimpangan struktural, dan regulasi yang tidak sinkron. Dukungan infrastuktur, akses pembiayaan, serta perlindungan hak tanah adat juga menjadi elemen kunci. Oleh karena itu, reforma agraria tidak hanya membutuhkan komitmen politik yang kuat, tetapi juga sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Sebagai instrumen penting, reforma agraria harus dilaksanakan secara holistik untuk mendorong keadilan agraria dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Rekomendasi