Pemetaan Partisipatif, di mana masyarakat adat bersama pemerintah menggambar peta wilayah adat berdasarkan hasil identifikasi di lapangan
Dokumentasi Bukti Adat, yang mencakup hukum adat, keputusan komunitas adat, atau keterangan saksi masyarakat sebagai dasar klaim kepemilikan
Tahap ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi tanah adat sehingga tidak mudah digugat oleh pihak luar.
3) Pengakuan Formal, setelah proses inventarisasi dan pendataan selesai, hasilnya dilaporkan kepada pemerintah daerah atau pusat untuk mendapatkan pengakuan formal. Pengakuan ini mencakup:
Penetapan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) bagi tanah adat yang memenuhi kriteria redistribusi tanah
Penerbitans sertifikasi kolektif hak atas tanah adat, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 10 Tahun 2016 tentang pengakuan hak komunal atas tanah adat.
Pengakuan formal ini memberikan kekuatan hukum bagi masyarakat adat untuk melindungi tanah mereka dari ancaman privatisasi atau konversi lahan.
4) Pengawasan dan Penyelesaian Konflik, proses inventarisasi seringkali memicul konflik, baik antar masyarakat adat maupun dengan pihak lain. Untuk itu, pemerintah menyediakan mekanisme pengawasan dan penyelesaian sengketa melalui mediasi. Langkah ini melibatkan masyarakat adat, pemerintah, dan pihak ketiga untuk mencari solusi damai dan adil.
5) Relevansi Proses Inventarisasi, inventarisasi dan identifikasi tanah adat menjadi fondasi penting dalam reforma agraria yang berkeadilan. Dengan pengakuan formal, tanah adat tidak hanya terlindungi dari ancaman eksternal, tetapi juga dapat dikelola secara kolektif untuk kesejahteraan komunitas adat. Pendataan yang akurat dan melibatkan partisipasi masyarakat adat memastikan abhwa hak-hak mereka dihormati, sekaligus mendukung keberlanjutan lingkungan sesuai prinsip keadilan sosial. Dengan demikian, tanah adat tetap menjadi aset yang melestarikan budaya dan mendukung kehidupan masayarkaat adat di masa depan.
Tantangan Implementasi di Lapangan
Implementasi reforma agraria di Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Salah satu tantangan utama adalah konflik kepemilikan lahan. Tumpang tindih hak atas tanah sering terjadi antara masyarakat adat, petani, perusahaan, dan pemerintah, yang memicul konflik. Selain itu, konsesi besar kepada perusahaan melalui hak guna usaha (HGU) membuat redistribusi lahan kepada petani kecil semakin sulit diwujudkan. Ketimpangan struktur agraria juga menjadi hambatan signifikan. Sebagian besar petani hanya memiliki lahan yang sangat kecil, sementara sebagian kecil elite menguasai lahan luas. Kondisi ini semakin diperburuk oleh regulasi dan kebijakan yang tidak sinkron. Banyak aturan yang saling bertentangan antara sektor kehutanan, agraria, dan perkebunan. Kurangnya harmonisasi kebijakan di tingkat pusat dan daerah juga kerap menghambat pelaksanaan reforma agraria.